Ingin mengawali tulisan ini dengan sedikit curhat, akhir-akhir ini itp 44 banyak banget tugas yang menyita waktu. Sempet berpikir, ”Ya ampun… gini amat sih tugas-tugas di ITP! Banyak banget kompetensi yang harus kita kuasai within few times! Kadang merasa belum bener-bener ngerti ma yang satu, udah ditambah lagi ma yang laen2. Trus, rasanya sampe ga pernah liat matahari di kosan gara-gara pergi abis subuh, pulang abis isya, leher ma jari-jari tangan makin pegel gara-gara terus-terusan ngetik di depan laptop… (lebay!)”.
Lalu entah bagaimana, tapi akhirnya saya justru senang dengan tugas-tugas itu, mungkin karena merasa bener-bener punya sparing partner pas diskusi ma temen-temem buat beresin tugas. Meskipun sayangnya, akhir-akhir ini jarang ketemu ma temen-temen yang beda kelompok praktikum. Well, belakangan saya sadar, bahwa semua tugas-tugas itu bukan hanya sekadar konsekuensi menjadi mahasiswa ITP, malah hanya bagian kecil dari semua hal integral di dunia pangan.
Di samping serunya diskusi, searching di internet, ribetnya mencari literatur, membolak-balik halaman demi halaman agar sebisa mungkin menghasilkan pembahasan yang komprehensif, ada hal lain yang ingin saya share…
Actually, ini terkait pengalaman ikut Rakernas HMPPI 2009 kemaren. Sebenarnya, waktu rakernas kemaren saya bukan termasuk orang yang berkapasitas untuk memusingkan mekanisme sidang dan sebagainya, makanya saya merasa lebih punya waktu untuk sharing dengan temen-temen dari universitas-universitas lain. Dari hasil sharing ma temen-temen dari universitas lain, saya jadi makin bersyukur bisa kuliah di ITP IPB. Di sini, akses kita buat nyari literatur gampang: PITP lengkap, LSI menunjang, akses internet bisa sewaktu-waktu, plus kita punya dosen-dosen yang oke (pokoknya dosen2 ITP really… really great menurut saya!), peran beliau-beliau dalam membimbing mahasiswanya juga kerasa banget… bener-bener bersyukur deh, malah banyak dosen yang dengan senang hati berbagi dengan mahasiswanya di luar jam akademik, misalnya dalam bentuk ngobrol-ngobrol santai, minjemin buku, dll.
Tapi ternyata fenomena di IPB itu mungkin ga banyak kita temui di universitas lain. Salah seorang kenalan dari Universitas Mulawarman bercerita, ”Sumber pustaka di IPB lengkap ya, mahasiswa dari universitas kami sering ke IPB buat nyari literatur skripsinya.”
Komen pertama saya, ”HAH! Jauh banget harus keluar pulau buat nyari literatur! Pengorbanan buat beresin skripsi mahal banget ya…”
Ada juga seorang kenalan dari salah satu Universitas Riau nanya, ”Cip, kalo beli buku di sini murah nggak ya? Di Riau mahal-mahal dan kami sulit nyari tempat belinya… Kalo cipi ada buku yang sudah nggak dipakai, kirim ke saya ya…”.
Saya balik nanya, ”Butuh buku apa?”
Dia jawab, ”Saya juga ga tau Cip mau nyari buku apa, yang penting tentang pangan.”
Kata saya, ”Oh kalo buku Cipi ga janji bisa kirim, tapi kalo softcopy materi atau buku-buku dalam bentuk pdf ada… Cuma kebetulan ga bawa karena belum dipindah ke laptop ini. Kalo dikirim ke email kamu aja gimana?”
Kata dia, ”Wah, kalo saya jarang buka email, saya sih yang penting punya email, tapi jarang bukanya.”
”Kenapa gitu?”
“Ngenetnya jauh dan nggak bisa sewaktu-waktu, apalagi jarang buka komputer, jadi kalo belajar dari softcopy agak gimana… gitu.”
Saya nanya lagi, ”Biasanya handout dari mana? Dapet dari dosen kan? Nanya dosen aja kira-kira butuh buku apa aja, biasanya sih dipinjemin buku punya dosen itu, atau malah boleh difotocopy.”
“Kalo kamu biasanya make buku apa?” tanya dia lagi.
“Tergantung mata kuliahnya…” Lalu saya menyebutkan beberapa judul buku, ”Bla…bla…bla…bla…bla… ”
Anehnya, dia sepertinya merasa asing terhadap judul buku-buku yang saya sebutkan.
Hening sejenak…
“Biasanya kalo ngerjain tugas pake pustaka apa? Dari mana?” tanya saya lagi.
“Saya juga nggak hafal.”
“Sering make jurnal atau hasil penelitian?”
“Nggak pernah’”
“WHAT!!! Serius nih?” pikir saya.
Saya langsung teringat kepada salah seorang dosen yang pernah berkata begini, ”Untuk karya tulis ini, sebaiknya kalian make literaturnya dari jurnal atau thesis saja. Kalau bisa nggak usah make buku, karena antara buku satu dengan yang lain sering terdapat perbedaan yang justru membingungkan mahasiswa. Lagipula jurnal atau thesis lebih bisa dipertanggungjawabkan hasilnya karena berdasarkan penelitian. Kalau buku kan hasil studi pustaka.”
Waw, ketika kita mulai ribet berkenalan dengan jurnal dan sejenisnya, mereka baru akrab dengan buku! Nggak berniat membandingkan kita dan mereka, hanya ingin berbagi bahwa fakta ini seharusnya bisa menjadi hal yg kita syukuri juga.
Kembali ke dunia nyata…
“Oh, gitu ya? Gini aja deh, karena sekarang mungkin Cipi ga bisa bantu banyak, kita tetep korespondensi aja, ntar kalo kesulitan sesuatu dan butuh bantuan, bilang aja, tapi kamu nyari-nyari dulu di internet, siapa tau ketemu. Trus, mungkin kamu nanti harus sering buka email soalnya paling masuk akal saya ngirimnya lewat email.”
Kemudian saya tuliskan nomor hape dan alamat email saya pada selembar kertas dan menyerahkannya ke dia (bodohnya saya ga minta nomor hape atau alamat email dia, udah ngantuk kaya’nya waktu itu, jadi lupa, hehehe…).
Ada lagi cerita dari teman2 di universitas Andalas yang baru kena gempa. Pasca gempa, kegiatan perkuliahan dan praktikum mereka jadi sangat terhambat, tapi semangat mereka ga terhambat lho! Oh ya, soal praktikum, ternyata masih banyak juga teman2 kita yang belum bisa menikmati capeknya praktikum seharian dan parahnya laporan yang seabrek-abrek! Mereka kekurangan alat dan bahan praktikum lho ternyata… Dan ternyata lagi, semua ini bukan karena permasalahan biaya yang biasanya selalu jadi masalah klasik pendidikan di negara kita, tetapi lebih karena persoalan maintenance, bahwa SDM di sana belum cukup capable untuk me-maintain peralatan dan sejenisnya.
Jadi begitulah beberapa obrolan singkat saya dengan temen-temen dari beberapa universitas lain. Masih banyak cerita sih, tapi kaya’nya kepanjangan kalo dishare di sini.
Intinya sih, saya salut banget ma semangat temen-temen kita dari universitas-universitas lain itu. Apalagi yang (maaf) berasal dari daerah “terpencil”. Mereka bukan orang-orang yang ga punya semangat dan niatan untuk mencari ilmu, bukan juga orang-orang yang ga punya dana, tapi fasilitas di daerah mereka ternyata memang kurang memadai. Sampai-sampai, mereka rela ke luar kota, ke luar propinsi, bahkan ke luar pulau (untung ga perlu sampai ke luar negeri) hanya untuk mencari literatur.
Saya jadi malu pada mereka, dan pada diri sendiri. Setelah dipikir-pikir, terlepas dari kekurangankekurangan yang pasti ada di kampus kita tercinta ini, sebenarnya hampir semua fasilitas memadai dan sangat menunjang kegiatan akademik kita. Jadi malu kalau nggak bersungguh-sungguh memanfaatkan waktu, kesempatan, dan fasilitas yang ada untuk mencari ilmu sebanyak-banyaknya. Simpelnya, kurang apa sih kita?
Inget tugas-tugas… Dengan segala hal yang bisa dimanfaatkan di sekitar kita, rasanya tugas-tugas itu menjadi konsekuensi logis yg justru bermanfaat meningkatkan kompetensi kita saat ini dan esok hari. Capek memang, kurang tidur pasti, belum lagi ditambah aktivitas-aktivitas dan amanah-amanah di luar akademik, tapi tidak seharusnya kita mengeluh akan tugas-tugas itu. Merasa malu sendiri jika terkadang tak bisa mengatur waktu dengan baik dengan dalih tugas yg menumpuk. Padahal, justru tugas-tugas itu yg membuat waktu kita menjadi tidak sia-sia dan lebih teratur.
Perbincangan dengan mereka juga menjadi teguran langsung bagi saya. To be honest, saya merasa belum mampu memanfaatkan setiap potensi diri dan segala sumberdaya yang ada di lingkungan sekitar secara optimal. Jadi, merasa usaha saya tuh gini-gini aja, padahal mungkin di luar sana masih banyak orang-orang, yang kalau memiliki kesempatan dan fasilitas seperti yang kita miliki sekarang, mereka akan bisa memanfaatkannya dengan lebih baik.
So far, yang membedakan kita dengan mereka adalah kesempatan, kita punya banyak kesempatan besar dan kita tahu bahwa kesempatan itu ada di depan mata, tetapi mungkin sebagian dari kita belum bisa memanfaatkannya secara optimal. Di luar sana, mereka mungkin tidak mengetahui adanya kesempatan-kesempatan yang kita ketahui, ketika seharusnya mereka bisa memanfaatkan kesempatan-kesempatan itu.
Belum lagi, kita punya Himitepa dengan berbagai program kerja yang benar-benar bertaraf nasional. Bukan bermaksud narsis, tapi memang himpunan kita ini bisa dibilang himpunan mahasiswa pangan terbesar di Indonesia, untuk tingkat universitas.
Ada banyak teman yang juga sempat bertanya, ”Gimana caranya Himitepa ngadain acara segede-gede itu? Orang2 di dalamnya pasti berjiwa militan ya? Kapan ya himpunan saya bisa jadi seperti Himitepa?”
Menanggapi pertanyaan ini, saya hanya tersenyum ga jelas sambil mikir-mikir. Kalo temen-temen, kira-kira bakalan jawab gimana?
Menurut saya, Himitepa merupakan kesempatan bagi kita untuk benar-benar berkontribusi terhadap sektor pangan di Indonesia. Poin pentingnya adalah, ternyata kita tidak hanya dipandang di kampus ini, tapi juga dipandang oleh seluruh Indonesia. Ayo Himitepa, kita manfaatkan potensi besar yang sudah tampak. Soal caranya bagaimana, atau apa yang perlu kita modifikasi dari yang ada sekarang, didiskusikan aja…
Well, terlepas dari kebanggaan kita sebagai mahasiswa ITP IPB, ternyata ada hal penting yang mungkin masih kita lupakan. Padahal menurut saya, kalau kita memang menginginkan tercapainya kejayaan pangan bangsa, ada satu hal yang tidak boleh terlupakan, yaitu pemerataan. Tidak salah kalau ada yang lebih unggul dan ada yang kurang, sehingga arti kata pemerataan di sini bukan berarti semua menjadi sama, tetapi, setidaknya kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh mahasiswa pangan juga bisa dirasakan teman-teman kita di luar sana, di tanah yang selama ini mungkin kita anggap “tak terjangkau”, sehingga kendala maintenance bisa diperkecil. Lebih jauh lagi, supaya teman2 kita juga bisa memberdayakan sektor pangan di daerah masing2 seoptimal mungkin.
Kita pun harus senatiasa meng-upgrade kompetensi agar benar-benar bisa berkontribusi untuk pangan bangsa tentunya. Hal ini juga menjadi bentuk syukur kita atas kelebihan-kelebihan yang saat ini bisa kita rasakan. Ayo sama-sama kembali meluruskan niat, lalu memanfaatkan potensi yang ada seoptimal mungkin, saling mengingatkan tentang apa yang bisa dan seharusnya bisa kita lakukan untuk kejayaan pangan bangsa ini.Januari 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar