#sekali2 nulis oot
"Ma, kenapa mama mau nikah sama ayah?"
Percaya gak sih seorang Cipi nanyain itu ke mama? Percaya aja deh ya... Toh kadang saya merasa gak banyak tau dan masih perlu banyak tau tentang orang tua saya.
Kenapa saya nanya gitu? Gak tau deh ya... Sejenak terpikir waktu kecil dulu. Kata orang, jaman susah... Tapi mungkin masa itu tidak akan terlalu banyak diceritakan dalam notes ini.
Well, kembali ke cerita orang tua saya. Kakek dari mama saya adalah seorang pegawai swasta tidak tetap dan nenek ibu saya seorang pedagang kecil. Mama hidup sangat sederhana bahkan bisa dibilang kekurangan, apalagi jadi anak ke-5 dari 11 bersaudara... Mungkin saking kekurangannya sampai-sampai kakek-nenek saya berpikir tidak sanggup merawat semua anak mereka. Pada saat bersamaan, kakak perempuan dari nenek saya, yang kebetulan adalah peternak dan pedagang daging sapi terbesar di daerah kami (hidup tidak bersuami dan punya harta melimpah) ingin merawat salah satu anak dari nenek saya. Dan...entah kenapa beliau memilih mama saya sebagai anak angkatnya (meskipun status aslinya keponakan). Akibat dari hal ini, mama tumbuh menjadi gadis remaja yang tidak kekurangan apapun. Cantik, cerdas, lembut, terampil dan yang pasti, tidak kekurangan kebutuhan apapun. Mama seperti tuan putri yang bisa mendapatkan apapun yang tidak bisa didapatkan gadis-gadis lain di daerah kami, bahkan kalau mau, pesta ulang tahun paling meriah di sana pun bisa diselenggarakan nenek angkat saya kalau mama minta.
Sementara itu, ayah adalah anak seorang tuan tanah yang bertemperamen keras dan hampir-hampir tidak mau meninggalkan harta apapun untuk anak-anaknya sepeninggal beliau. Saya tidak pernah bertemu kakek saya yang ini, beliau meninggal sebelum saya lahir. Ayah saya adalah anak kesepuluh dari 10 bersaudara, alias anak terakhir. Saat ayah mulai remaja, kakek bangkrut dan benar-benar tidak meninggalkan apapun kecuali sebuah rumah yang (alhamdulillah) bisa dibilang cukup luas. Rumah itupun diurus oleh istri kakek, nenek saya. Ayah mendapat didikan hidup yang keras dari kakek, tentang kerja keras tentunya. Itulah sebabnya kadang ayah saya bisa bersikap keras juga, meskipun sebenarnya hati beliau sangat lembut. Konon sejak kecil satu-satunya keinginan ayah yang dikabulkan oleh kakek saya adalah minta diantar mencari sebilah kayu untuk ketapel. Saat ayah sakit, seingat beliau tak pernah sekalipun kakek menanyakan kabarnya. Saat ayah butuh belajar menulis, kakek akan menyuruhnya kerja keras dulu, entah mencuci baju seisi rumah, mengecat dinding dan pintu, membersihkan seisi rumah sebesar itu, mengurus ayam sebulan dulu, atau apapun yang kakek mau. Seringkali semua itu membuat ayah tidak bisa memenuhi kebutuhannya tepat waktu, tumbuh dengan prestasi yang biasa-biasa saja tapi mampu dan terampil melakukan banyak hal. Untungnya, ayah saya bukan tipe orang bermental inferor.
Can you get my point? Intinya, saat kedua orang tua saya menikah, status mereka sangat berbeda. Ayah tak punya apa-apa dan mama punya segalanya. Setau saya, rumah kami sekarang pun merupakan kado pernikahan dari nenek angkat saya. Ayah, sampai sekarang tak pernah bisa membuatkan rumah untuk mama saya, begitu yang pernah ayah ceritakan. Saya menangkap ada nada kecewa dalam cerita ayah saya... meskipun saya tidak terlalu mengerti sebesar apa artinya bagi seorang laki-laki membuatkan sebuah istana untuk belahan jiwanya. Mungkin, inilah satu-satunya momen di mana saya melihat ayah saya merasa inferor. Ah, ayah... tak usahlah dipikirkan, kami sayang ayah seperti apapun kondisinya... mama juga pasti begitu...
Yang menarik adalah, ketika saya menanyakan pertanyaan di atas pada mama, tidak serta-merta mama menjawab dengan jawban klise, "Karena mama cinta ayahmu!" Tapi mama menjawab dengan cukup diplomatis (maaf beberapa kalimat beliau cukup saya rahasiakan saja...). Mama menjawab, "Ayahmu adalah laki-laki yang bertanggung jawab dan bijaksana (dan beberapa kalimat pujian setelahnya). Tapi, lebih dari semua itu, ayahmu adalah orang yang setia... Ayahmu tidak melamar mama karena harta atau kecantikan mama, itu mungkin iya, tapi kalaupun mama kehilangan semua itu, ayahmu akan tetap begitu adanya. Mendapatkan laki-laki setia itu nduk, lebih berharga dari semua harta yang mama punya."
"Gimana mama bisa yakin?"
"Ya mama gak bisa jelasin, tapi lihat aja sekarang gimana. Saat kamu umur lima tahun, nenek angkatmu meninggal dan peternakan sapi kita gak ada lagi yang bisa ngurusin. Sedikit demi sedikit harta kita hilang, kecuali rumah mbah dan rumah kita ini. Apa ayah pernah protes sama mama soal ini? Soal mama nggak bisa lagi ngurusin usaha kita? Nggak pernah nduk. Sejak awal menikah juga ayahmu bertanggung jawab sepenuhnya. Gak pernah ayah minta bantuan nenekmu atau siapapun kalo gak terpaksa, kecuali waktu kamu pernah masuk rumah sakit pas umur dua tahun dulu."
Ah, romantisnya mereka...
Saya jadi ingat, memang saat balita saya juga pernah merasakan jadi tuan putri kecil. Semua perhatian orang tua, kakek-nenek, orang-orang sekitar tertuju sama saya. Mungkin semua orang gemas melihat anak kecil lincah, cerewet, dan centil yang mereka hadapi. Tapi setelah nenek meninggal, banyak sekali hal berubah, apalagi setelah adik saya lahir. Wah, tuan putri kecil udah hampir kayak gak keurus. Adik saya bandel dan manja dari kecil. Dan entah kenapa, saya dilahirkan jadi kakak yang pengertian hehehe... Sering saya kelupaan makan, karena adik sering rewel dan mama gak sempat lagi masak. Saya gak doyan jajan dari kecil, jadi kalaupun diberi uang buat beli makanan, akan saya tabung buat beli majalah bobo. Akhirnya, seringkali saya tertdur pulas karena lapar, entah di lantai atau di manapun. Kadang setelah adik bisa tidur dan saya terbangun, saya liat mama menangis di sebelah saya, tapi beliau lalu berhenti nangis dan berkata, "Mbak makan dulu yuk, mama temenin... Pake telur aja gak papa ya mbak. Kamu belum makan seharian" Ya, hampir begitulah hampir setiap hari. Saat itu, kondisi ekonomi keluarga juga sedang sangat sulit. Saya heran bagaimana mama bertahan dengan perubahan kondisi seperti itu. Sekarang, kalau saya tanya lagi, mama cuma jawab, "Mama percaya sama ayahmu sepenuhnya, seumur hidup mama percaya, kalo nggak percaya dari awal mama nggak mau nikah sama ayahmu."
Sekarang, ayah sudah membuktikan bahwa memang benar dirinya dapat dipercaya, oleh mama, anak-anaknya, bahkan masyarakat luas. Perlahan, dengan perjuangan keras yang saya saksikan sendiri, ayah mampu menopang hidup-matinya keluarga kami. Secara ekonomi, setidaknya kebutuhan kami semua tercukupi. Alhamdulillah... Dan ayah, dalam bentuk apapun telah mewujudkan setianya pada keluarga yang dibangunnya, dengan cara yang tak pernah terpikirkan oleh istri dan anak-anaknya: sederhana namun selalu bermakna. Beberapa hari ini pun saya teringat sebuah ungkapan, "A man can love million women, but only a real man can love a woman in million ways."
Well, I think my father is that kind of real man. At this time I realize, mama tauayah bukan orang terbaik yang bisa mendampinginya, tapi orang yang paling tepat mendapat pengabdian sepanjang sisa hidupnya. Karena jiwa yang sebelah tau, jiwa mana yg menjadi pelengkapnya. Seperti enzim dan substrat, semuanya spesifik dengan sistem gembok-kunci. Jadi yang dibutuhkan adalah yang paling tepat.
Rasanya, saya jadi mengerti maksud jawaban mama. Meskipun... Saya pun yakin bahwa jawaban itu sama sekali belum mencerminkan seluruh isi hatinya, seluruh rasa yang melimpah ruah. Dan saya... selamanya putri kecil mereka!
NB: beberapa redaksi menyesuaikan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar