Guru adalah seseorang yang bisa dituruti dan ditiru. Sedari kecil saya diajari hal itu, makanya pengeeen banget jadi guru biar banyak yang niru! Hehe… Hmm saat SD dulu dalam pikiran saya guru adalah seorang yang luar biasa. Pintar, baik, dan selalu berperilaku benar. Setidaknya, harapan saya terhadap sosok seorang guru memang seperti itu. Nyatanya, sekarang nggak semua guru memiliki kualifikasi di atas. Eh, bukan semua bukan berarti nggak ada lho… Banyak kok guru yang masih memegang teguh nilai-nilai pengabdian memberikan pendidikan terbaik bagi siswa-siswi tercinta. Nggak perlu jauh-jauh nyari contohnya, cukup guru-guru saya sendiri, terutama guru-guru SD.
Okay blog, saya pengen cerita nih
ya tentang dua orang guru SD saya. Beliau berdua adalah legenda guru di SD
saya. Bahkan setelah pensiun beberapa tahun yang lalu pun, nama beliau berdua
tetap dikenal semua siswa sampai sekarang. Yup, gajah mati meninggalkan gading,
manusia mati meninggalkan…hmmm…jasa! Seorang guru bernama Pak Sariman adalah
salah satu orang paling berjasa dan paling berkesan dalam hidup saya. Gimana
enggak? SD saya adalah sebuah sekolah kecil di desa kecil di ujung barat Jawa
Timur, di daerah Gunung Lawu, Magetan. Saat saya SD dulu, pendidikan yang baik
masih menjadi barang mahal bagi kami, anak-anak desa. Meskipun demikian, SD
kami masih masuk daftar sekolah beruntung karena mendapat guru-guru terbaik,
salah satunya Pak Sariman, guru IPA kami. Beliau adalah guru paling sabar yang
pernah saya kenal, lembut memperlakukan murid-muridnya, nggak pernah marah. Aksi
yang paling heroik, para siswaa yang kesurupan pun bisa tenang setelah
ditangani beliau. Herannya, justru dengan sikap seperti itu para siswa jadi
lebih segan pada beliau, selalu mendengar nasehat beliau, dan nggak berani
bandel lagi kalo udah ngobrol ma beliau. Karena sikap seperti itu juga, beliau
menjadi teman yang baik bagi kami, para siswa, jadi teman curhat, teman
ngobrol, teman becanda, teman belajar. Padahal secara usia, pasti beda jauh.
Tapi beliau pintar sekali bergaul dengan para murid. Oh ya, yang pasti beliau
pintaaarrr…jadi kami bisa bebas belajar dan tanya-tanya sama beliau. Eh,
kecuali tanya jawaban ulangan lho ya.
Satu hal paling berkesan dari Pak
Sariman adalah karena beliau yang telah membantu saya menemukan cara berpikir
yang visioner. Hmm…dulu saya sama seperti anak kecil umumnya, nggak punya
cita-cita yang jelas, kalo ditanya cita-cita jawab seadanya, dan nggak tau
gimana caranya mewujudkan cita-cita biar jadi nyata. Beliau sebagai guru IPA
nggak cuma mengajarkan teori, tapi juga mengajak berparaktek, dan juga
menceritakan tentang tokoh-tokoh ilmuwan di seluruh dunia, meminjami saya
buku-buku ensiklopedi yang super langka (apalagi di desa), di perpus sekolah
aja nggak ada…
Salah satu tokoh yang sering
beliau ceritakan adalah tokoh yang juga sering diceritakan mama: BJ. Habibie.
Pak Habibie adalah inspirator yang membuat saya serius bercita-cita menjadi
insinyur. Saya ingin Indonesia bangga sama anak yang dibesarkannya sendiri. Pak
Sariman juga memperkenalkan sebuah sekolah yang paling istimewa bagi saya
hingga saat ini: SMA Negeri 2 Madiun. Bagi anak desa seperti saya, Madiun
adalah kota besar. Berani sekolah di kota itu berarti berani bersaing dengan
sekian ribu pelajar pintar, yang punya fasilitas lengkap, yang rajin les kesana-kemari. Dan saya, hanya anak
yang mengandalkan 5 jam belajar di sekolah. Namun Pak Sariman terus mendorong
saya dan mengatakan bahwa saya pasti bisa masuk sekolah terbaik di kawasan
Madiun-Ponorogo-Pacitan-Magetan-Ngawi, yang saat itu menduduki peringkat ketiga
terbaik se-Jawa Timur. Dalam mimpi pun saya nggak pernah berani mikir sekolah
di sana. Tapi saya pengen belajar, pengen kuliah di salah satu PTN terbaik
Indonesia. Aaah….
Saat saya kelas 5 SD, Pak Sariman
pernah berkata, “Kamu yang terbaik di sekolah ini. Kamu boleh melanjutkan SMP
di mana saja, tapi SMA nya harus di SMA 2 Madiun lho ya.”
“Belajar sungguh-sungguh, berdoa
banyak-banyak, tapi jangan terbebani. Bapak yakin kemampuanmu masuk sekolah itu
nggak perlu diragukan, yang penting mau,” lanjut beliau.
Akhirnya, saya turuti saran
beliau. Daaan… dengan menguatkan tekad, selepas mengetahui hasil UAN SMP saya
pun mendaftarkan diri ke SMA 2 Madiun. Alhamdulillah, semuanya lancaaar…
Sekolah ini istimewa. Di sini
saya menemukan jati diri, menemukan cita-cita, menemukan semangat, menemukan
cara bagaimana harus menjalani hidup. Ya, di sinilah saya bertemu sesosok
makhluk tak berwujud, tapi punya pengaruh sangat kuat dalam hidup, namanya
visi. Di sini juga pertama kaliya saya menemukan passion untuk melakukan
community development… di bidang pertanian pangan! Dan ini benar-benar
memotivasi saya untuk menjadi seorang Insinyur di bidang pertanian. Alhamdulillah,
beberapa tahun setelahnya Allah mengizinkan saya menjadi seorang Sarjana Teknologi
Pertanian, lulusan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB. Saat ini saya
bersama beberapa rekan dalam komunitas peduli inovasi pertanian berusaha
membantu petani dengan memperkenalkan inovasi-inovasi di bidang pertanian yang
mudah, murah, dan tepat guna. Semoga ilmu yang saya dapat bisa bermanfaat untuk
masyarakat luas nantinya, seperti cita-cita saya sedari dulu.
Tentu saja pencapaian saya hingga
saat ini tak lepas dari peran pak Sariman, seorang pahlawan tanpa tanda jasa
sejati. Begitu kuat motivasi beliau berikan, dan begitu banyak informasi beliau
sampaikan, membuat saya bisa melakukan apa yang saya kerjakan sekarang.
Guru kedua yang akan
sayaceritakan bernama Bu Marsi. Beliau ini guru Matematika sekalian IPS. Hebat
kan?? Bisa jago ilmu eksak dan sosial sekaligus lho. Beliau adalah guru yang entah
dengan cara bagaimana bisa membuat anak yang paling benci matematika jadi
telaten dan menyukai mata pelajaran itu. Nggak ada cerita siswa bosan menyimak
kelas beliau. Tapi, overall yang
paling berkesan buat saya adalah ketika beliau mengajarkan IPS khususnya
geografi. Lancar betul beliau menceritakan negara-negara di seluruh dunia,
seolah benar-benar pernah ke sana dan melihatnya langsung. Saya pun jadi merasa
seperti melihat langsung kota-kota dan negara-negara yang beliau ceitakan. Beliau
sering berpesan, para siswa harus memahami peta, supaya nggak ragu berpetualang
ke mana saja. Para siswa perlu menginjakkan kaki di berbagai belahan bumi agar
bisa belajar dan mengambil hikmah dari banyak hal di luar sana. Sebab dunia
nggak cuma selebar daun kelor. Sejak saat itu saya jadi bercita-cita keliling
dunia. “Merantaulah anak-anak, siapapun yang kalian temui di rantau adalah
keluarga.”
Sejak SMA, saya hidup merantau.
Tinggal jauh dari orang tua agar bisa belajar di SMA 2 Madiun, lalu melanjutkan
langkah ke tempat yang lebih jauh ke IPB akibat idealisme cinta pertanian,
sejauh 20 jam perjalanan darat dari rumah. Pesan itulah yang selalu menguatkan saya saat
merasa sendiri jauh dari keluarga, dan saya pun merasa jadi punya banyak sekali
keluarga di setiap tempat. Bahkan saat ke luar negeri pun saya jadi tidak
takut, sebab saya mempercayai kebenaran ucapan Bu Marsi, bahwa ke manapun
merantau, masih akan bisa bertemu tempat-tempat yang kita sebut rumah, dan
orang-orang yang kita sebut keluarga. Jujur, saya punya sisi manja yang merasa enggan
jauh dari keluarga, apalagi keluarga besar saya bukan tipe perantau. Tapi saat
teringat pesan ini, muncul keberanian dalam diri saya untuk mencapai sesuatu
yang ‘lebih’, dan berani berpetualang ke banyak tempat meski nggk ada seorang
pun yang dikenal di sana. terima kasih Bu Marsi.
Hmmm… Kalau semua guru yang
pernah menjadi inspirasi bagi saya diceritakan di sini, rasanya nggak akan
cukup. Jadi sementara ceritanya dua orang dulu ya, guru sejati yang bisa
benar-benar dituruti dan ditiru. Ini guruku, gimana gurumu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar