Guru… Sebuah kata yang sangat
membekas di dalam hatiku.
Ya, sebab aku punya cerita yang
tidak semua orang tahu. Kalau bukan karena jasa seorang guru, mungkin sekarang
aku tidak bisa menjadi seorang sarjana. Hal yang paling kuingat dari seorang
guru adalah sosok pendidik bukan sekadar pengajar, seorang pembentuk karakter
bukan sekadar seorang penyampai teori. Aku, bukti hidup “korban” seorang guru…
Awalnya aku
nggak pernah mikir akan bisa kuliah. Tapi sejak SD memang dari dulu tekadku
satu: harus bisa kuliah di salah satu PTN 5 besar di Indonesia lewat jalur
SPMB! Hff meskipun nggak mudah belajar untuk SPMB. Tapi karena keputusanku sudah bulat,
bagaimanapun aku harus belajar. Pertimbangan utamaku kuliah di salah satu PTN 5
besar nasional tentu saja karena kualitasnya masih menjadi yang terbaik di
Indonesia. Jadi aku pikir, jurusan apapun yang kuambil, insya Allah akan bisa
mendapatkan ilmu yang baik di sana, dan dapat memanfaatkannya untuk kebaikan
bangsa kita. Hahaha, sepertinya cita-citaku tinggi sekali ya, bahkan kadang
kurang ngerti juga bagaimana mewujudkannya, tapi aku optimis aja. Alasan kedua
yang membuatku sangat tertantang untuk mengejar PTN tentu saja karena biaya
pendidikannya yang relatif murah.
Namun,
bagaimanapun murahnya biaya pendidikan, tetap saja aku harus mengeluarkan uang
dalam satuan juta. Nggak enak sebenarnya minta ke orang tua. Karena selain
memang sudah berniat belajar mandiri sejak SMA, aku juga ingin orang tuaku lebih
memfokuskan pembiayaan untuk pendidikan kedua adik yang masih kecil. Nah
masalahnya, di kota kecil tempat asalku, nggak banyak kerja sampingan yang bisa
dilakukan oleh seorang siswa. Hff…
Satu-satunya
yang terpikirkan olehku adalah menabung. Sayangnya, aku benar-benar bukan orang
yang memiliki motivasi tinggi untuk melakukan sesuatu secara teratur, seperti
menabung. Namun ternyata seorang guru bisa merubah karakter burukku ini.
Beliau bernama
Pak Rohman, guruku di SMP. Seorang yang dikenal sangat selektif menilai
siswanya, sehingga tidak bisa dekat dengan semua siswa. Tapi ternyata, di balik
selektivitas beliau ada hati yang peka terhadap permasalahan siswanya. Setelah
pengumuman kelulusan SMP, beliau memanggilku. Awalnya aku bertanya-tanya,
“Emang salah apa ya kok dipanggil? Kan udah lulus juga, ada apa sih?”. Lalu,
karena nggak merasa bersalah aku pun menemui beliau, dan ternyata… beliau
mengucapkan selamat atas kelulusanku dan memberiku uang! Ya, uang…besarnya
hanya 250.000 rupiah.
“Ini hadiah
kelulusan, Pak?”, tanyaku polos waktu itu.
“Bisa dianggap
begitu, bisa juga bukan”, jawab beliau.
“Maksudnya
apa, Pak?”, tanyaku lagi.
“Kalau kamu
oportunis, maka uang itu jadi hadiah kelulusan. Tapi kalo kamu visioner, uang
itu jadi biaya kuliah.”
Aku setengah nggak
ngerti maksud guruku itu. Oportunis? Visioner? Apa pula itu? Ah tapi tadi aku
dengar soal biaya kuliah. Tapi…tapi…tapi… kan cuma 250.000? Mana mungkin
cukup???
“Gimana
caranya bisa jadi biaya kuliah, Pak?”, akhirnya pertanyaan itu meluncur juga
dari mulutku.
“Sedikit-sedikit,
lama-lama jadi bukit”, jawab beliau sambil berlalu, meninggalkanku berpikir
sendirian.
“Apa maksud
Pak Rohman?”, pikirku seharian. Entah kenapa otakku jadi agak lemot saat itu.
Sampai sore aku baru sadar kalau perkataan beliau itu adalah peribahasa yang
berkaitan dengan: menabung!
Hah? Nabung?
Aku kan agak kurang konsisten melakukan usaha rutinan begini? Ah, Pak Rohman
ada-ada aja… Dan saat itu juga aku baru
sadar maksud dari oportunis dan visioner, dasar anak baru lulus SMP.
Tapi mau
gimana lagi, uang 250.000 itu sudah aku pegang, nggak mungkin aku kembalikan.
Dan itu artinya beliau sedang menantangku. Ya, menantang untuk membuktikan
bahwa aku bisa kuliah sekaligus bisa menabung! Membuktikan bahwa anak kampung juga
bisa visioner!
Akhirnya,
kemalasanku luluh juga, berganti tekad yang kuat. Aku temui ayah, menanyakan kesiapan
dana untuk sekolah SMA. Kata ayah, “Tenang aja, ada insya Allah.”
Lalu aku
tanyakan juga tentang biaya kuliah. Ayah menjawab dengan gamang, “Nanti ya,
mungkin kalau ada rejeki.”
Aku tidak
puas. Kutanyakan pada ayah berapa uang sakuku saat SMA nanti. Aku mau mulai
mengatur keuangan. Memang sih selama ini aku nggak doyan jajan, tapi uang
sakuku jadi habis juga buat beli majalah Bobo. Kalau gini terus sih, aku nggak
akan bisa nabung, jadi aku harus merencanakan anggaran finansial sejak saat ini
juga!
Kata ayahku, “Kamu
kan mau lanjut sekolah di Madiun, ngekost aja biar hemat. Ayah sudah carikan
tempat kost, sewa per bulannya 75.000. Uang sekolahmu per bulannya 75.000. Nanti
sebulannya ayah kasih 350.000 buat uang sekolah, bayar kost, sama uang saku ya.”
Hff… “Iya, yah”,
kataku pasrah. Dan aku memang nggak berniat menuntut lebih, tanggungan ayahku
masih banyak dengan gaji pegawai pabrik gula waktu itu hanya 1,2 juta. Ibuku
juga tidak punya penghasilan. Anggota keluarga kami ada 5 orang. Jadi sebenarnya, proporsi gaji ayah
paling besar digunakan untuk biaya sekolahku, padahal adik-adikku juga butuh
biaya sekolah.
Lalu aku pun
memikirkan bagaimana caranya menabung dari uang saku segitu. Yup, untuk
kebutuhan hidup per hari aku hanya boleh mengeluarkan total biaya kira-kira 6-7
ribu per hari. Mau makan apa? Kalau tiba-tiba pengen pulang atau perlu pergi
agak jauh dari sekolah mau naik apa? Kalau butuh alat tulis? Fotokopi? Aaarrrggghhh…
Malangnya, di
rumah kostku nggak ada tempat masak, jadi aku harus beli makanan. Mau minta
dibelikan alat masak sama orang tua? Nggak ah, akunya juga nggak telaten masak.
Akhirnya kuputuskan untuk nyari tempat makan termurah! Alhamdulillah… ternyata
ada J
Warung makan
ini buka tiap pagi, menjual nasi ditambah tahu dan tempe bumbu balado, harganya
1.500 rupiah. Nasinya agak keras dan kurang bagus, kadang agak apek tapi
porsinya banyak. Aku bagi nasinya jadi dua bagian: untuk sarapan dan makan
siang. Lauk sarapannya sepotong tempe, makan siangnya sepotong tahu, tanpa
sayur. Baru malamnya aku nggak makan nasi lagi, hanya makan pecel sayur dan sepotong
tempe goreng kecil seharga seribu rupiah. Aku pun jadi rajin puasa. Semua
kebutuhan seperti sabun, pasta gigi, shampoo, dan lain-lain aku gunakan sehemat
mungkin, aku beli alat tulis paling murah dan fotokopi dengan kertas buram. Aku
nggak pernah ikut les apapun, semua mata pelajaran aku pelajari sendiri,
buku-buku pun jarang beli karena sebenarnya di perpustakaan pun ada. Lalu
dengan pasang muka tembok aku rajin jadi pengunjung perpustakaan untuk
memperpanjang pinjaman. Haha… Pada akhirnya aku sadar hal-hal kecil seperti memperpanjang
peminjaman buku pun membentuk kepribadianku menjadi seorang yang lebih telaten.
Aku senang, dengan cara begitu setidaknya jatah uang untuk membeli buku-bukuku
bisa dialihkan menjadi jatah untuk buku adik-adikku. Hahaha… Jujur aku cukup
bangga karena ini. Maklum anak SMA, tetap punya sisi narsis. Alhamdulillah, badanku cukup kuat menanggung
gaya hidup semacam itu. Semasa SMA aku hanya pernah sekali sakit, itu pun demam
dan radang tenggorokan saja.
Akhirnya aku
bisa menabung sekitar 100.000 rupiah per bulan, kadang lebih, seringnya kurang.
Aku lakukan rutin hingga lulus SMA. Alhamdulillah, prestasi belajarku di
sekolah baik sehingga aku makin semangat ikut SPMB. Karena prestasi juga, aku
tidak perlu mengeluarkan uang untuk tes SPMB. Sekolah memberikan banyak
bantuan, mulai dari uang untuk membeli formulir, transportasi ke tempat ujian,
akomodasi, semuanya... Alhamdulillah, aku semakin yakin memang ditakdirkan
untuk ikut SPMB. Dan alasan memperjuangkan SPMB juga lah yang membuatku sama
sekali tidak mendaftarkan diri ikut PMDK dari universitas manapun.
Alhamdulillah,
pengumuman SPMB menyatakan aku lulus, masuk Departemen Ilmu & Teknologi
Pangan IPB. Kabarnya, ini departemen paling bagu dan paling susah ditembus di
IPB. Saat itu uang tabunganku sekitar tiga juta lebih sedikit. Aku lupa
tepatnya. Biaya masuk kuliahku total sebesar 6,5 juta untuk setahun ke depan. Setelah
setahun itu, aku hanya akan membayar uang SPP dan biaya SKS sekitar 1,2-1,4
juta per semester. Orang tuaku menyanggupi untuk membayar kekurangan
tabunganku. Tapi aku melakukan hal lain: bernegosiasi dengan panitia
registrasi, meminta keringanan untuk bisa membayar uang masuk dengan cara
mencicil. Mereka pun setuju. Alhamdulillah, kekurangan biaya itu pun aku bayar
dengan tabunganku.
Sejak resmi
menjadi mahasiswa, hidupku nggak se-prihatin semasa SMA. Ekonomi keluarga mulai
membaik karena ayah memutuskan keluar dari pabrik dan mengelola sawah sendiri.
Hasil sawah kami cukup baik, alhamdulillah… Tapi aku tetap rajin menabung. Aku
punya banyak celengan kaleng, dan aku juga mulai memanfaatkan rekening bank
syariah, tidak hanya celengan. Semasa kuliah aku rajin mengikuti perlombaan,
sebagian perlombaan menghasilkan uang dalam jumlah lumayan. Aku tabung juga
untuk biaya kuliah. Meskipun demikian, aku masih sering minta orang tua untuk
biaya hidup. Tapi setidaknya, aku jadi punya kebiasaan baik: telaten dan suka
menabung. Orang tua pun senang hidupku ada perkembangan. Saat lulus, aku masih punya
sisa tabungan beberapa ratus ribu yang kugunakan untuk membantu orang tua membiayai
pernikahanku. Memang sedikit, tapi bagiku dan kedua orang tuaku ada nilai usaha
yang besar J
Mungkin, kalau
tidak pernah mengenal guru seperti Pak Rohman, aku tidak akan pernah punya
kebiasaan menabung, mungkin aku akan tetap menjadi orang yang kurang konsisten
dan malas. Mungkin, kalau bukan karena motivasi seharga 250.000, aku nggak akan
terlalu menderita sewaktu SMA dulu, dan mungkin aku bukan sarjana sekarang, nggak
pernah punya pengalaman manis pahitnya mengukir prestasi di kampus, nggak
pernah ikut kompetisi, nggak pernah ngerti rasanya menang, rasanya kalah, nggak
pernah bergabung dengan organisasi kemahasiswaan di berbagai level, nggak
pernah ikut training dan seminar ini-itu, bahkan mungkin nggak punya kesempatan
memanfaatkan ilmu untuk menjalankan berbagai program pemberdayaan masyarakat
seperti sekarang.
Guruku hebat!
Guruku pendidik sejati. Mei lalu, saat aku bertemu lagi dengan beliau, gayanya
tetap sama. Tidak hangat, tetapi penuh pengertian, penuh bangga. Dan yang aku
tahu, bukan cuma aku yang mendapat perlakuan serupa dari beliau. Beberapa kakak
kelas dan adik kelas pun, benar-benar merasakan manfaat dari guru kami itu.
Guru, izinkan
kami meneladanimu…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar