Nggak cuma soal energi listrik
ternyata, ayah juga concern soal
bahan bakar. Sewaktu SD, sewaktu isu minyak merupakan non-renewable energi belum santer, ayah sudah mengingatkan. Beliau
sering bilang, “Ke sekolahnya jalan kaki aja, nggak usah dianter pake motor”,
atau, “Naik sepeda aja, lebih sehat, nggak bikin tetanggamu terganggu asap knalpot
atau suara bising.”
Kebiasaan yang diterapkan ayah
pada anak-anaknya sedari kecil ini membentuk karakter saya sehingga saya sangat
berusaha efisien energi. Gaya hidup yang diajarkan ayah saya terapkan hngga
sekarang, saya tularkan ke teman-teman, terutama di rumah kost. Setelah
menikah, suami saya pun tertular. Dia yang nggak masalah tidur dengan lampu
menyala, sekarang mulai aware soal
ini, dan sebagainya.
Tahun 2009 lalu, saya berhasil
mengkampanyekan konservasi energi di kampus, bahkan berhasil melakukan advokasi
sehingga untuk pertama kalinya IPB berpartisipasi dalam Earth Hour, yang kemudian berjalan setiap tahun. Saat kuliah di
Bogor, saat bepergian dalam kota saya lebih suka menggunakan Trans Pakuan yang
berbahan bakar biodiesel dibandingkan angkot. Di Jakarta, saya lebih suka naik
Trans Jakarta yang memanfaatkan bahan bakar gas dibandingkan naik kendaraan
sendiri meskipun seringkali harus berdiri. Saat naik mobil pun saya selalu
berusaha beramai-ramai supaya lebih hemat bahan bakar.
Kebayang, memang di kota-kota
besar sepertinya penjualan dan pembelian mobil tidak dapat dibendung. Iya lah,
mobil kan bermanfaat banget biar tetep nyaman di jalan, nggak kehujanan pas
hujan turun, dan nggak kepanasan di siang bolong nan terik. Sayangnya, masih
sering pengguna mobil-mobil ini berkendara sendiri atau hanya berdua di dalam
mobil yang kapasitasnya bisa delapan orang. Macet jadi salah satu akibat dari
hal ini. And, what’s next? Macet
secara langsung mengakibatkan energi terbuang percuma lho, bro and sist! Saya
bermimpi, suatu saat ada mobil yang dirancang memang bukan sebagai mobil
keluarga, tapi mobil individu atau mobil untuk couple J.
Setidaknya ukuran mobil-mobil ini bisa lebih mungil dan jika digunakan secara massal,
akan berdampak signifikan untuk mengurangi waktu yang dibutuhkan di jalan
akibat macet. Apalagi kalau mobil-mobil ini menggunakan bahan bakar energi alternatif.
Ah, pada siapa saya bisa bicara soal ide ini ya?
Kembali bicara soal energi alternatif,
saya pun aktif mengkaji suber-sumber energi alternatif, dari biodiesel,
bioetanol, gas, mikro hidro, hingga angin dan tenaga surya, meskipun bukan
termasuk bidang keilmuan saya. Beberapa kajian dalam optimasi proses produksi
bioetanol bahkan sempat menjadi paper yang diapresiasi para ilmuwan
internasional. Saat ini pun saya masih menjadi kontributor rubrik Energi Baru
Terbarukan di Majalah Global Energi, salah satu majalah yang fokus terhadap
perkembangan berita seputar energi di Indonesia dan di dunia. Berita yang saya
tulis meliputi inovasi EBT di seluruh dunia, dan itu membuat saya semakin
terinspirasi. Kapan ya Indonesia punya fokus untuk pengembangan salah satu moda
energi bersih? Lalu saya mulai berbicara pada orang-orang yang lebih
berkapasitas di bidang itu, di BUMN, di lembaga-lembaga penelitian (kampus,
balitbang, puspiptek), dsb. Dan dari beberapa hasil diskusi saya menyadari
bahwa kita, Indonesia, tidak jalan di tempat, tapi sedang berproses dalam
bidang energi bersih. Profesi ini pun semakin menggugah ketertarikan saya untuk
belajar tentang ketahanan energi (energi
security) di kampus pertahanan Indonesia. Saya memang bercita-cita, suatu
hari akan mendirikan NGO di bidang ketahanan pangan berbasis pangan lokal dan
ketahanan energi berbasis energi bersih.
Sembari menulis, saya pun menyempatkan
diri untuk mengembangkan inovasi berbasis sampah organik. Sejak tahun 2009,
saya aktif memperkenalkan inovasi bernama eco-enzyme ini di Indonesia. Sejak awal
diperkenalkan, produk ini baru dikenal sebagai produk daur ulang sampah organik
yang memiliki manfaat sebagai pupuk cair yang secara spesifik mampu
meningkatkan hormon pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Sekitar setahun
belakangan, saya mulai menyadari potensi lain dari eco-enzyme ini yaitu sebagai
sumber alternatif biogas yang terbentuk selama proses fermentasinya. Bahkan
melihat banyaknya sampah organik di dunia, boleh kan kita menyatakan bahwa
sangat mungkin menjadikan sampah organik sebagai sumber utama biogas dunia?
Soal pengelolaannya dan lain-lain, ayo mulai kita pikirkan! Kalau yang ada di benak saya sih, awalnya program ini bergerak dari skala komunitas sebagai pilot project. Mulai dari satu komunitas yang bergerak di spot-spot strategis atau bahkan kompleks perumahan (konsep komunitasnya sudah pernah saya rumuskan lho di sebuah tulisan yang masih tersimpan di dalam folder pribadi), lalu berekspansi ke satu kelurahan, satu kecamatan, satu kota, hingga berhasil membuat wajah Indonesia menjadi lebih ceria. Asal konsisten dan nggak gampang putus asa, dalam jangka panjang kita bisa kok...
Eh, btw, kok dari tadi ceritanya
soal saya terus ya? Nggak maksud nyombong kok, cuma kepikir aja kalo perubahan
positif untuk “kita” dan “dunia” memang sangat logis jika diawala dari “saya”
dan “anda”. Hidup adalah pilihan, bukan? Dunia global sedang berlomba-lomba
dalam proyek energi bersih masing-masing. Di mana posisi kita dalam perlombaan
itu? Sebagai orang yang apatis, sekadar penonton, atau ikut berperan entah
sebagai pengamat, komentator, sponsor, coach, tim manajemen, supporter, atau
bahkan pemain? “Saya” berusaha ambil bagian yang bisa diambil dalam perlombaan
ini. Saya bercita-cita menjadi pemain inti sekaligus coach suatu saat nanti, meskipun
saat ini posisi saya baru sekadar pengamat dan supporter.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar