Tiba-tiba muncul lagi perasaan aneh itu... Kangen ayah... Tiba-tiba aja...
Rasa kangen sama ayah menyeruak gitu aja waktu dapet sms dari Ditmawa yang isinya kalo ga salah:Weekend ini Ebiet G. Ade mau silaturrahim ke IPB.
Dan hari ini rasa itu memuncak!
Ayah, maaf ya putri kecilmu belum bisa jadi sekuat yang ayah harapkan... Sepertinya akan selamanya jadi putri kecil yang manja yah...
Kangen ayah... Kangen kekhawatiran ayah yang selalu cemas waktu aku ingin mencoba hal-hal baru.
Kadang aku merasa, posisi ayah dan mama terbalik. Pertama kali tau anaknya manjat pohon mangga buat ngambil shuttlecock yang nyangkut pas maen badminton, ayah langsung khawatir, cemas... Tapi mama bilang, "Biarkan aja, biar ga ngrepotin orang lain." Waktu pertama kali latihan naik sepeda, nyetir motor, bahkan nyetir mobil, ayah selalu lebih khawatir. Mama bilang anaknya jagoan jadi pasti bisa mandiri. Waktu tau diam-diam anaknya belajar berenang di Bogor, wajah ayah merah karena khawatir. Ayah bilang, "Dulu harusnya ayah aja yang ngajarin kamu." Mama bilang, "Yah, mbak kan belajarnya di kolam renang satu meter, insya Allah aman kok."
Dan kekhawatiran-kekhawatiran ayah yang lainnya...
Waktu SMA, aku pernah sakit lumayan parah, tapi tetep ga mau bolos sekolah, padahal kata dokter harusnya aku rawat inap dan diinfus. Hff... Aku takut jarum, aku ga mau diinfus. Akhirnya mama minta resep aja buat ditebus. Di rumah, aku ga bisa makan obatnya. Ah, segala sesuatu yang berhubungan dengan dunia medis selalu membuatku stress berat...
Akhirnya, ayah bilang minum air putih saja yang banyak. Mama nambahin, "Makannya harus bener, mbak, jangan kayak biasanya, makan kalo inget, itu pun ga tau ingetnya kapan..."
Dan resmi, selama satu minggu itu aku pulang-pergi rumah-sekolah tiap hari, padahal waktu SMA aku ngekost di kosan yang jaraknya ga lebih dari 300 meter dari depan gerbang sekolah. Itu berarti, tiap hari ayah antar-jemput aku dari rumah ke sekolah yang jaraknya berpuluh kilometer.
Ayah selalu jadi orang yang paling khawatir melihat mukaku lemes karena belum makan. Padahal bukan karena kehabisan uang saku, tapi memang nafsu makanku kelewat buruk. Ayah sering bertanya, "Kapan terakhir beli baju? Kapan terakhir jalan-jalan? Uang sakumu masih berapa? Masih cukup buat ngapain aja? Kapan terakhir kali makan makanan yang kamu suka?"
Tahun lalu, waktu pertama kali aku akan keluar negeri, di telpon mama bilang, "Ayahmu mau berangkat beli tiket ke Jakarta, mau nganter kamu sampe bandara katanya," Tapi kucegah, "Ga usah ma, pesawatku take off subuh-subuh, ntar ayah repot, ayah kan ga tau Jakarta atau Bogor. Nanti ayah berangkat dari mana? Tau pulangnya dari bandara naik apa? Lagian aku bareng temen-temen kok..."
Dan akhirnya, meskipun benar ayah ga jadi nganter, tapi beberapa waktu kemudian setelah aku pulang, dan alhamdulillah... benar-benar bisa pulang ke rumah (bukan ke kosan), ayah menjemputku, dan... Ayah menangis sejadi-jadinya...
Itu bukan pertama kalinya aku melihat ayah menangis, aku sering melihatnya. Dibandingkan mama, ayah lebih sering menangis. Makanya banyak orang bilang karakterku lebih mirip mama daripada ayah.
Ayah selalu bilang bangga padaku, bahwa ayah selalu bersyukur Allah memberinya banyak hal tak terduga yang jauh melebihi harapan. Waktu aku lahir bahkan ayah tak pernah berpikir aku bisa menempati posisi tiga besar terus-menerus selama sekolah, menang olimpiade, juara lomba pidato, debat, esai, apalagi keluar negeri. Ayah tak pernah menuntut.
Dan ayah yang akan selalu rela bekerja jauh lebih keras, jauh lebih lama hingga merelakan malam-malamnya jika tiba saatnya membayar uang semester atau uang kosan. Dulu waktu masih di rumah, ayah begadang semalaman menemani aku kalau musim ujian datang. Begadang sampai berhari-hari tanpa terpejam sedikit pun waktu aku koma selama dua hari, dulu di kelas 3 SD.
Ayah selalu khawatir. Tapi kekhawatiran itu yang selalu membuatku sangat rindu...
Ayah, kadang aku seperti melihat ayah padahal yang kulihat adalah orang lain, padahal cuma kakak tingkat. Tapi yah, aku selalu kehabisan kata-kata waktu ayah nelpon. Entahlah, speechless...
Ayah, terima kasih sudah mengajari anakmu begitu banyak hal. Tentang tepat waktu, tentang terampil, tentang kesopanan, banyak sekali, aku tak ingat semua. Dan sekarang yah, anakmu sangat perlu kemampuan mengaplikasikan ilmu-ilmu kepemimpinan yang ayah ajarkan. Kangen ayah, maaf yah tadi pagi aku speechless waktu ayah nelpon, karena rasa rindu yah, sangat... Teringat waktu pulang lebaran Idul Fitri kemarin, waktu kucium tangan ayah dan mama dengan takzim...
Ayah, tak akan bisa kulupa surat itu, di amplopnya tertulis "Ananda Yolanda Sylvia P." Ayah mengirimiku surat bahkan ketika saat ini berkomunikasi lewat hp begitu mudah, jaringan di internet tanpa batas. Tapi surat itu yang ayah kirimkan sewaktu aku baru masuk tingkat tiga, sungguh manis isinya, manis dikenang, tak terlupakan...
Dalam suasana Idul Adha, kerinduan itu makin terasa. Aku ingin pulang, aku pikir ayah dan mama juga ingin aku pulang. Tapi ayah dan mama pun tau, jadwal akademik tahun ini tidak mengizinkanku sering-sering pulang.
Setidaknya kabar rumah masih selalu meyejukkan hatiku...
Robbighfir lii wa li waalidayya warhamhumaa kamaa robbayaanii shoghiiroo
“Ya Tuhanku! Ampunilah aku, ibu bapakku dan kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.”
Aamiin ...smangaaat :)
BalasHapus