Minggu, 30 September 2012

Guru iku Digugu lan Ditiru



Guru adalah seseorang yang bisa dituruti dan ditiru. Sedari kecil saya diajari hal itu, makanya pengeeen banget jadi guru biar banyak yang niru! Hehe… Hmm saat SD dulu dalam pikiran saya guru adalah seorang yang luar biasa. Pintar, baik, dan selalu berperilaku benar. Setidaknya, harapan saya terhadap sosok seorang guru memang seperti itu. Nyatanya, sekarang nggak semua guru memiliki kualifikasi di atas. Eh, bukan semua bukan berarti nggak ada lho… Banyak kok guru yang masih memegang teguh nilai-nilai pengabdian memberikan pendidikan terbaik bagi siswa-siswi tercinta. Nggak perlu jauh-jauh nyari contohnya, cukup guru-guru  saya sendiri, terutama guru-guru SD.

Okay blog, saya pengen cerita nih ya tentang dua orang guru SD saya. Beliau berdua adalah legenda guru di SD saya. Bahkan setelah pensiun beberapa tahun yang lalu pun, nama beliau berdua tetap dikenal semua siswa sampai sekarang. Yup, gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan…hmmm…jasa! Seorang guru bernama Pak Sariman adalah salah satu orang paling berjasa dan paling berkesan dalam hidup saya. Gimana enggak? SD saya adalah sebuah sekolah kecil di desa kecil di ujung barat Jawa Timur, di daerah Gunung Lawu, Magetan. Saat saya SD dulu, pendidikan yang baik masih menjadi barang mahal bagi kami, anak-anak desa. Meskipun demikian, SD kami masih masuk daftar sekolah beruntung karena mendapat guru-guru terbaik, salah satunya Pak Sariman, guru IPA kami. Beliau adalah guru paling sabar yang pernah saya kenal, lembut memperlakukan murid-muridnya, nggak pernah marah. Aksi yang paling heroik, para siswaa yang kesurupan pun bisa tenang setelah ditangani beliau. Herannya, justru dengan sikap seperti itu para siswa jadi lebih segan pada beliau, selalu mendengar nasehat beliau, dan nggak berani bandel lagi kalo udah ngobrol ma beliau. Karena sikap seperti itu juga, beliau menjadi teman yang baik bagi kami, para siswa, jadi teman curhat, teman ngobrol, teman becanda, teman belajar. Padahal secara usia, pasti beda jauh. Tapi beliau pintar sekali bergaul dengan para murid. Oh ya, yang pasti beliau pintaaarrr…jadi kami bisa bebas belajar dan tanya-tanya sama beliau. Eh, kecuali tanya jawaban ulangan lho ya.

Satu hal paling berkesan dari Pak Sariman adalah karena beliau yang telah membantu saya menemukan cara berpikir yang visioner. Hmm…dulu saya sama seperti anak kecil umumnya, nggak punya cita-cita yang jelas, kalo ditanya cita-cita jawab seadanya, dan nggak tau gimana caranya mewujudkan cita-cita biar jadi nyata. Beliau sebagai guru IPA nggak cuma mengajarkan teori, tapi juga mengajak berparaktek, dan juga menceritakan tentang tokoh-tokoh ilmuwan di seluruh dunia, meminjami saya buku-buku ensiklopedi yang super langka (apalagi di desa), di perpus sekolah aja nggak ada…

Salah satu tokoh yang sering beliau ceritakan adalah tokoh yang juga sering diceritakan mama: BJ. Habibie. Pak Habibie adalah inspirator yang membuat saya serius bercita-cita menjadi insinyur. Saya ingin Indonesia bangga sama anak yang dibesarkannya sendiri. Pak Sariman juga memperkenalkan sebuah sekolah yang paling istimewa bagi saya hingga saat ini: SMA Negeri 2 Madiun. Bagi anak desa seperti saya, Madiun adalah kota besar. Berani sekolah di kota itu berarti berani bersaing dengan sekian ribu pelajar pintar, yang punya fasilitas lengkap, yang  rajin les kesana-kemari. Dan saya, hanya anak yang mengandalkan 5 jam belajar di sekolah. Namun Pak Sariman terus mendorong saya dan mengatakan bahwa saya pasti bisa masuk sekolah terbaik di kawasan Madiun-Ponorogo-Pacitan-Magetan-Ngawi, yang saat itu menduduki peringkat ketiga terbaik se-Jawa Timur. Dalam mimpi pun saya nggak pernah berani mikir sekolah di sana. Tapi saya pengen belajar, pengen kuliah di salah satu PTN terbaik Indonesia. Aaah….

Saat saya kelas 5 SD, Pak Sariman pernah berkata, “Kamu yang terbaik di sekolah ini. Kamu boleh melanjutkan SMP di mana saja, tapi SMA nya harus di SMA 2 Madiun lho ya.”

“Belajar sungguh-sungguh, berdoa banyak-banyak, tapi jangan terbebani. Bapak yakin kemampuanmu masuk sekolah itu nggak perlu diragukan, yang penting mau,” lanjut beliau.

Akhirnya, saya turuti saran beliau. Daaan… dengan menguatkan tekad, selepas mengetahui hasil UAN SMP saya pun mendaftarkan diri ke SMA 2 Madiun. Alhamdulillah, semuanya lancaaar…

Sekolah ini istimewa. Di sini saya menemukan jati diri, menemukan cita-cita, menemukan semangat, menemukan cara bagaimana harus menjalani hidup. Ya, di sinilah saya bertemu sesosok makhluk tak berwujud, tapi punya pengaruh sangat kuat dalam hidup, namanya visi. Di sini juga pertama kaliya saya menemukan passion untuk melakukan community development… di bidang pertanian pangan! Dan ini benar-benar memotivasi saya untuk menjadi seorang Insinyur di bidang pertanian. Alhamdulillah, beberapa tahun setelahnya Allah mengizinkan saya menjadi seorang Sarjana Teknologi Pertanian, lulusan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB. Saat ini saya bersama beberapa rekan dalam komunitas peduli inovasi pertanian berusaha membantu petani dengan memperkenalkan inovasi-inovasi di bidang pertanian yang mudah, murah, dan tepat guna. Semoga ilmu yang saya dapat bisa bermanfaat untuk masyarakat luas nantinya, seperti cita-cita saya sedari dulu.

Tentu saja pencapaian saya hingga saat ini tak lepas dari peran pak Sariman, seorang pahlawan tanpa tanda jasa sejati. Begitu kuat motivasi beliau berikan, dan begitu banyak informasi beliau sampaikan, membuat saya bisa melakukan apa yang saya kerjakan sekarang.

Guru kedua yang akan sayaceritakan bernama Bu Marsi. Beliau ini guru Matematika sekalian IPS. Hebat kan?? Bisa jago ilmu eksak dan sosial sekaligus lho. Beliau adalah guru yang entah dengan cara bagaimana bisa membuat anak yang paling benci matematika jadi telaten dan menyukai mata pelajaran itu. Nggak ada cerita siswa bosan menyimak kelas beliau. Tapi, overall yang paling berkesan buat saya adalah ketika beliau mengajarkan IPS khususnya geografi. Lancar betul beliau menceritakan negara-negara di seluruh dunia, seolah benar-benar pernah ke sana dan melihatnya langsung. Saya pun jadi merasa seperti melihat langsung kota-kota dan negara-negara yang beliau ceitakan. Beliau sering berpesan, para siswa harus memahami peta, supaya nggak ragu berpetualang ke mana saja. Para siswa perlu menginjakkan kaki di berbagai belahan bumi agar bisa belajar dan mengambil hikmah dari banyak hal di luar sana. Sebab dunia nggak cuma selebar daun kelor. Sejak saat itu saya jadi bercita-cita keliling dunia. “Merantaulah anak-anak, siapapun yang kalian temui di rantau adalah keluarga.”

Sejak SMA, saya hidup merantau. Tinggal jauh dari orang tua agar bisa belajar di SMA 2 Madiun, lalu melanjutkan langkah ke tempat yang lebih jauh ke IPB akibat idealisme cinta pertanian, sejauh 20 jam perjalanan darat dari rumah.  Pesan itulah yang selalu menguatkan saya saat merasa sendiri jauh dari keluarga, dan saya pun merasa jadi punya banyak sekali keluarga di setiap tempat. Bahkan saat ke luar negeri pun saya jadi tidak takut, sebab saya mempercayai kebenaran ucapan Bu Marsi, bahwa ke manapun merantau, masih akan bisa bertemu tempat-tempat yang kita sebut rumah, dan orang-orang yang kita sebut keluarga. Jujur, saya punya sisi manja yang merasa enggan jauh dari keluarga, apalagi keluarga besar saya bukan tipe perantau. Tapi saat teringat pesan ini, muncul keberanian dalam diri saya untuk mencapai sesuatu yang ‘lebih’, dan berani berpetualang ke banyak tempat meski nggk ada seorang pun yang dikenal di sana. terima kasih Bu Marsi.

Hmmm… Kalau semua guru yang pernah menjadi inspirasi bagi saya diceritakan di sini, rasanya nggak akan cukup. Jadi sementara ceritanya dua orang dulu ya, guru sejati yang bisa benar-benar dituruti dan ditiru. Ini guruku, gimana gurumu?

Jumat, 21 September 2012

A Woman Teacher is A Woman Too

Sabtu kemarin, sekali lagi...ada lagi bapak2 yang bilang, "Seorang bapak atau suami boleh terpuruk, tapi seorang ibu atau istri tidak boleh. Saya makin menyadari, perempuan itu, di balik tampilan fisiknya yang lemah lembut, sebenarnya sangat kuat, jauh lebih kuat daripada laki-laki. Mental laki-laki nggak ada  apa-apanya kalo nggak didukung perempuan, tapi mental perempuan bisa mandiri sendiri. Saya nggak tau gimana jadinya kehidupan manusa berlangsung kalau perempuan nggak dilahirkan memiliki kekuatan kuar bisa. Udah deh nggak usah ngomongin kehidupan semua manusia, kehidupan satu orang saja nggak akan berjalan. Bukan cuma karena perempuan membawa lahir manusia ke dunia, tapi juga dari tangan perempuanlah lahir karakter yang sesungguhnya."

Hmm... Menurut saya, ucapan bapak2 itu bukan cuma berarti, "Perempuan yang kuat adalah perempuan yang kuat mentalnya, mampu bangun setelah jatuh. Nggak sesederhana itu, tapi perempuan yang kuat harus benar orientasinya, juga prioritasnya."
Please, mental sama orientasi itu beda banget.

Nih saya cerita ya satu kisah nyata.
Saya pernah SD (iya dong, masa tiba2 sarjana?). Sewaktu SD saya punya teman. Pasti lah orang sekolahnya di SD negeri bukan home schooling. Mama dari salah satu teman saya adalah seorang guru SD yang karirnya meroket mengejar kursi kepala sekolah, ya...secara di sana masih jarang lho yang sarjana (di sana gak pandang universitasnya mana, yang penting sarjana udah keren, beda anget sama prinsip saya yang penting kampusnya keren, jurusannya juga ok, gelar sih gak penting2 amat euy). Yup, actually saya emang nggak tertarik sama status sosia yang diperoleh dari hasil pendidikan, jabatan, maupun kekayaan. Itu tanggung jawab boi bukan status gaya2an. pokoknya passion saya belajar. Titik. Dan selama belajar, saya harus dapat kualitas terbaik. Sama2 belajar, sama2 invest waktu, tenaga, pikiran, kenapa nggak nyari yang oke? Kuliah buat dapet gelar?  How awful...

Btw, bukan berarti saya bilang mamanya temen saya nggak keren. Oh salah. Beliau keren, ambisinya besar (apapun di luar karir nggak boleh menghambat karir), disiplin luar biasa. Bahkan saking disiplinnya, saya bilang beliau: keras, minus toleransi....sama anak2nya.

Teman saya itu anak ketiga dari 3 bersaudara alias anak terakhir, tapi selama berteman di satu SD itu saya cuma pernah bertemu kakaknya yang nomor 2. Dia bilang kakak pertamanya sudah meninggal.

U know whaat? Temen saya juag meninggal sewaktu kelas 2 SD. Tiga hari sebelum meninggal saya masih maen ke rumahnya, nemenin dia yang temen2nya dipilihin sama mamanya biar nggak jadi anak bandel. Hff... padahal menurut saya usia segitu saatnya belajar bersosialisasi. Eh saya nggak bangga lho mamanya ngizinin saya berteman sama anaknya. Biasa aja soalnya emang semua anak di sekolah ya temen saya. Waktu kami maen, dia baik2 aja kok nggak kenapa2. Nah waktu dia meninggal saya kaget mama bilang dia pergi. Pikiran bocah kecil saya beranggapan kalo dia bakal pulang lagi ke rumah, tapi kata mama dia pergi selamanya buat ketemu Allah. Saya nggak sedih buat dia, karena mama selalu bilang Allah itu baik. Tapi saya sedih buat diri sendiri soalnya dia belum ngembaliin bola yang saya bawa maen ke rumahnya. Hehe...ego bocah banget ya. Btw, kami sama2 tomboy dulu, nggak maen boneka tapi maen bola, meskipun cuma boleh di dalem rumahnya sih. Bertahun kemudian, saya baru tahu kalo temen saya itu nggak punya riwayat penyakit, dia sehat wal'afiat secara jasmani. Tapi secara mental nggak, dia sakit, dia etakutan sama bentakan mamanya tiap kali nyuruh belajar. Teman saya ini memang sejak kelas 1 nilai peernya bagus2, bahkan nilai saya beberapa kali kalah tinggi sama dia. Saya juara 2 dan dia juara 1. Bedanya kami memang nggak setipe dalam belajar. Saya ngandelin penjelasan guru di sekolah. Pulang sekolah maen sama sore, sore ngaji, pulang ngaji makan, ngerjain peer seadanya trus tidur. Beda sama dia yang dipaksa belajar keras, jadwal teratur, target bacaan harus tuntas. Bisa dibilang saya tuh seadanya banget. Sampe  lulus SD dunia saya masih maen2 hehe....

Back to the topic, ternyata teman saya itu sangat ketakutan sama ibunya. Sampai suatu ketika sebelum meninggal, habis maghrib itu dia harusnya ngerjain peer, tapi dibentak mamanya karena nggak bisa ngerjain soal perkalian & pembagian. Btw waktu kelas 2 SD saya juga mengalami kesulitan menyelesaikan soal perkalian, padahal saya suka banget matematika. Pernah satu kali ulangan saya nggak ngerjain sama sekali satu soal pun perkalian & pembagian. Akibatnya, pastilah nilai saya 0. Nol ditulis gedeeee... biasanya sih angka 10 dapet lah buat matematika. Hoho... Tapi itu cuma sekali kok, pas saya jenuh belajar. Parahnya saya kelas kepala,  kalo udah jenuh efeknya nggak mau. Kalo nggak mau ya nggak bisa dipaksa buat mau hehe... Orang soalnya aja nggak dilihat gimana mau dikerjain. Ups...jangan ditiru ya.  Nah saya ingat peer perkalian & pembagian waktu dari angka 6-9. Cukup susah memang, tapi kalo anak kesusahan mbok ya diajari, jangan dibentak, wong guru juga kok...

Setelah dibentak, temen saya yang lama menanggung beban mental itu nggak kuat, langsung step, kejang2, dianggap panas biasa sama orang tuanya. Dini hari temen saya kritis, langsung dirujuk ke rumah sakit, tapi menjelang paginya dia meninggal. Hmm...kalo saya yang cerita jadi nggak sedih ya hehe... Ini bener kisah nyata bukan gubahan dari novel salah asuhan.

Lanjut, suatu kali setelah kepergian teman saya itu, saya bertemu (maaf), orang gila di jalan, mentallity disorder, sakit mental stadium parah. Dia ngamuk2 di teras rumah kosong di depan rumah saya. Waktu malam dia ngomong sendiri keras2, siangnya cuma diem, duduk jongkok sepanjang hari kayak orang ngelamun. Kadang kalo emosinya naik bisa gawat, ngamuk2 sambil lempar2 batu. Ngeri? Iya. Saya tutup semua pintu rumah sambil berdoa kuat2 kalo dia ngamuk, takut tiba2 batunya mental ke kaca jendela rumah. Hff... Saya tanya mama siapa dia, mama cuma  jawab dia orang yang mengalami gangguan kejiwaan, udah lama, tapi dulu masih mau nurut nggak ngamuk2 begini. Dulu dia sempet dirawat adik dari mbah putri saya di rumah beliau. Rumah mbah lik ada di balik rumah kosong itu. Mbah lik saya itu emang orangnya baik n penuh kasih sayang, cuma mbah lik yang bisa bikin reda amarah orang yang ngamuk2 itu. Tapi ternyata nggak ngefek setelah kematian temen saya. Selama ini saya nggak pernah tau kalo mbah lik ngangkat anak asuh, ternyata memang anak itu disembunyikan...supaya nggak ketemu orang tuanya!

Saat itu saya nggak pernah berpikir kalau ada hubungan dari 2 kejadian ini. Dua hal yang terpisah jauh dan benar2 beda. sampai suatu ketika saya tau bahwa temen saya pernah bohong, kakak pertamanya belum meninggal, masih hidup...tapi jadi seperti itu. Iya, faktanya orang yang ngamuk2 di rumah kosong depan rumah saya itu adalah kakak pertama dari temen saya. Dia disembunyikan mbah lik dari orang tuanya, terutama mamanya, karena dia punya dendam sama mamanya sendiri sejak masih sangat kecil, akibat didikan & bentakan yang keras. Dia akan ngamuk2 parah kalo ketemu mamanya. Usaha mbah lik cukup berhasil sampai suatu ketika dia juga mendengar kabar tentang kematian adiknya. Sejak saat itu mentalnya benar terganggu, nggak sembuh sampai sekarang, di usianya yang sudah 30 tahun lebih. Iya, kasihan. Kasihan untuk bocah dewasa dengan orang tua masih lengkap dan kaya-raya.

Cerita kakak kedua lain lagi. Saat masuk SMP dia juga memilih ikut orang lain, yang nggak lain adalah mbah lik saya. Nggak mau ikut sama orang tuanya sendiri. Bahkan nggak mau makan dari uang pemberian orang tua. Saat lebaran juga nggak pulang. Menyedihkan. Si anak ini, sempet putus sekolah waktu SMP. Ironi ya, padahal mamanya guru. Tapi ayah saya maksa dia sekolah lagi, maksa om & sepupu saya yang usianya sepantaran sama dia buat membujuk biar mau sekolah lagi. Alhamdulillah beres juga SMA meskipun hasilnya biasa2 saja. Dia marah sama orang tuanya, meskipun nggak sampai dendam. Dia nggak mau manggil mamanya dengan sebutan ibu atau mama, cuma manggil nama Bu X, meskipun masih manggil papanya bapak. Tapi setidaknya, dia masih bilang ke orang tuanya waktu ingin menikah. Tapi lagi2 orang tuanya bermasalah. Sang mama melarang anaknya menikah sebelum punya kerjaan tetap, gaji tetap. Maklum anak laki2. Mamanya melarang anaknya nikah karena anaknya itu cuma berprofesi montir musiman+tukang bangunan+kerja serabutan serabutan. Larangan orang tua lagi2 nggak tepat waktu. Anaknya marah, kabur lagi sampai sekarang, meskipun tetep nggak jadi nikah. Tapi pasti dia pergi membawa luka yang dalam. Tinggal orang tua tinggal sendiri tanpa anak. Si bapak yang kebetulan punya jasa rental kendaraan & alat2 pesta juga jarang di rumah, lebih sering pergi dari pesta ke pesta.

Nggak bermaksud ngomongin aib orang, cuma semoga bisa jadi pelajaran. Bahwa menjadi orang tua, terutama ibu, haruslah bijak. Nggak boleh terlalu keras sama anak. Anak bukan miniatur orang dewasa yang ngerti pikiran orang dewasa, janganlah disuruh2 dengan kalimat perintah serupa orang dewasa, apalagi ditambah bentakan alih2 kasih sayang yang lembut. Mungkin maksud hati pengen anak jadi superior jenius, apalagi ibunya dianggap "orang pinter", tapi kayaknya banyak kok cara yang lebih baik buat menggali potensi anak, bukan menyuruhnya mengikuti ambisi buta orang tua. Anak manapun akan kehilangan trust sama orang tuanya kalo gitu.

Apalagi profesi sang mama itu guru. Menurut saya profesi guru tugas utamanya bukan cekadar mengajar, tetapi mendidik juga, apalagi guru SD. Saat ini keinginan sang mama menjadi kepala sekolah sudah tercapai, reputasi guru galak di SDnya juga tetep nempel. Beliau hampir pensiun, dan mulai merasa kesepian. Saat ini beliau mencari anak asuh, tapi nggak ada yang mau jadi anak asuhnya. Miris. Kasihan. Semoga Allah Yang Mahabaik akan terus menyayanginya.

Guys n gals, kenapa saya ceritain ini? Sekali lagi bukan mau mengumbar keburukan, tapi saya mau cerita, bahwa perempuan yang kuat bukan perempuan yang besar ambisinya, apalagi untuk karir aja. Sekali seorang perempuan merelakan jatuh bangun demi karir dan reputasi di mata dunia saja, hampanya jiwa akan terasa. Prioritas seorang perempuan adalah rumahnya, keluarganya, orientasinya lurus lillahi ta'ala sebagai ibu dalam mendidik anak-anaknya supaya jadi anak sholih & sholihah yang nantinya bisa juga menjadi pembuka pintu surga bagi kedua orang tuanya, dan mengantar diri mereka sendiri serta keluarganya ke surga, selain juga menjalankan tugasnya dengan orientasi yang lurus sebagai istri, anak, warga negara, & anggota masyarakat. That's why, jadi perempuan harus tangguh...


Well, saya nggak pengen membahas soal gender kok. Pastinya itu kodrati. Nggak usah sok disetarakan karena memang yang adil bukan selalu berarti sama setara, tapi adil adalah tepat pada posisinya, pada waktunya, pada kapasitasnya. Sekian.