Sabtu, 27 November 2010

Let's Ponder

Apa kabar hati? Masihkah ia embun, merunduk tawadhu di pucuk-pucuk daun? Masihkah ia karang? Berdiri tegar menghadapi gelombang ujian?
Apa kabar iman? Masihkah ia bintang? Bercahaya terangi jiwa. menjadi tempatmu berkeluh kesah?
Ya Rabb, satu pintaku, saat aku sudah tak mampu lagi menggenggam erat persaudaraan kami, jangan pernah biarkan ia lepas dari... genggamanMu...

Jumat, 26 November 2010

Memaafkan Kebodohan Diri

Ya... memberi maaf pada diri sendiri nih... Memberi maaf atas sesuatu yang membuatku melakukan kebodohan terbesar seumur hidup.
Tau kenapa?
Karena memang...karena memang...karena memang kebodohan yang kulakukan ternyata ada alasannya, bahwa sumber dari kebodohan terbesar yang kulakukan, adalah sesuatu yang sangat mungkin membuat sekian banyak orang cerdas lain melakukan kebodohan yang sama. Kebodohan ini, meski melelahkan namun memberi banyak pelajaran.
Dan alasan dari kebodohan berkepanjangan ini...adalah bahwa sumber kebodohan itu tak pernah pergi meninggalkanku, tak pernah sama sekali. Tidak dulu, apalagi hari ini.
Hmm...tapi aku akan banyak belajar dari kebodohan ini, agar tak selamanya bodoh sampai nanti. Belajar lagi, lagi, lagi...

Oya, bersyukur slalu atas sgala kesibukan dan aktivitas positif yang menjaga waktu senantiasa produktif. Karena produktivitas yang berkah, insya Allah menghindarkan dari kebodohan. Calon pebentuk peradaban kan harus cerdas ^^

Rabu, 24 November 2010

Belajar Bagi Waktu (Versi Bener)

Hmm... Terinspirasi dari sahabatku yang juga seorang 'pemimpin'. Dia ini...pemimpin yang bisa membawa organisasi yang dipimpinnya menduduki tangga kesuksesan tingkat atas. Intinya, banyak pencapaian yang diperoleh organisasinya selama masa jabatannya.
Tapi...di akhir pengurusan dia menangis padaku dan mengadu, "Bingung...gak tau lagi nih. Penerus-penerus di organisasi gue gak terlalu bisa diharapkan. Gue khawatir ngelepas mereka, tapi gue juga gak mungkin tinggal di situ terus..."
Nah lho....

Hmm... Aku juga pernah mengalaminya sih. Takut, bener2 takut rasanya memikirkan hal ini. Tapi sebaliknya, aku juga pernah mendapati kondisi organisasi yang krisis kepemimpinan, bahkan, aku pernah mengalami kondisi mendapat 'warisan' kondisi organisasi yang banyak masalah. Aku tau gimana rempong dan riweuhnya...

Pada kondisi yang disebutkan terakhir, wajar jika dalam satu periode kepengurusan setelah diwarisi timbunan masalah itu, tak banyak prestasi yang bisa ditorehkan dalam suatu organisasi, Namuan akan menjadi uar biasa apabila jika setelah mengalami masa-masa ini, pemmpin suatu organisasi dapat mewariskan suatu kondisi yang memungkinkan terciptanya iklim yang mendukung terwujudnya pencapaian berkelanjutan bagi organisasi yang dimaksud.

So, inti dari tulisan ini sebenarnya adalah tentang pencapaian dan kaderisasi. Ah bukan, pencapaian vs kaderisasi. Pembaca pasti sepakat bahwa keduanya penting. Namun jika terpaksa diminta memilih mana yang lebih penting, saya akan memilih kaderisasi.

Sebenarnya, kedua hal di atas bisa disinergikan lho Beneran! Jika pemimpin bisa membagi waktu dengan baik dalam satu periode kepengurusannya, kapan dia harus action dan meraih pencapaian optimal, kapan dia harus benar-benar fokus meng-kader. Well anyway, proses kaderisasi sendiri faktanya memang tidak instan, butuh waktu lama dan proses bertahap, bahkan mungkin memerlukan waktu sepanjang masa kepengurusan.

Maka melihat fakta ini yang diperkuat dengan contoh kasus di atas, saya merekomendasikan: Jika organisasi Anda dalam keadaan krisis, perkuatlah kaderisasi. Ya, tak apalah jika untuk sementara kita tidak memaksakan diri melaksanakan berjuta program yang "wah" tapi kondisi kaderisasi berantakan.

*udah dulu ah, ngantuk, masih banyak yg pengen ditulis karena ini masih terlalu implisit, to be continued lah...

Senin, 22 November 2010

Seperti Cinta Matahari

Seperti cinta matahari pada cakrawala
yang selalu datang semburatnya tiap fajar dan senja
Kadang warnanya merah saga
Seringkali kuning jingga
Hangat...
Seperti itulah cintaku akan berkarya

Dari sekian jumlah karya yang dibuat, iya sih beberapa di antaranya menunjukkan hasil yang baik, menang ini atau dapat penghargaan itu. Ya, wajar kalau hal-hal itu terlihat kemilaunya. Ya, wajar kalau ada yang menganggap hidupku penuh keberuntungan. Ya, wajar kalau banyak yang berpikir "enak ya bisa punya waktu buat bikin karya ini dan itu". Ya, wajar kalau semua bertanya, "Kapan kamu ngerjain semua itu?" Dan wajar kalau ada yang berpendapat, "Seru ya hidupmu!"
Ya, wajar kalau yang keliatan yang enak-enaknya saja...

Tapi tahukah ada apa di balik semua itu? Tahukah berapa kali aku menulis, berapa kali aku berkarya dan gagal? Tahukah berapa kali menelan pil pahit kegagalan akibat tak menemukan nama sendiri di daftar nama pemenang? Hampir ratusan kali mungkin!

Tahukah berapa malam aku melangkan waktu untuk tidak tidur dan memilih bercengkrama dengan laptop dan kertas-kertas untuk membuat sesuatu yang...meskipun sebagian besar tak berhasil tapi tetap kucintai? Dan tahukah tentang waktu-waktu yang teralokasikan sebagai manifestasi kecintaan berkarya........

Ya, beginilah caraku menikmati hidup dan waktu luang.

Untuk malam2 yang dihidupkan dengan pemikiran dan diskusi, untuk waktu-waktu yang terus menemaniku dalam autan referensi ilmu, aku menyebutnya: INVESTASI!
Kalianmungkin tahu tentang rasa ini, mungkin juga tidak... Insya Allah, investasi ini tidak kuharapkan untuk diri sendiri. Huh, terlalu picik untuk memikirkan diri sendiri jika seseorang dikaruniai kapasitas lebih untuk menjadi bagian dari perubahan besar ke arah yang lebih baik! Tidak seperti itu, insya Allah.

Dan untuk itu, biarkan aku kembali berkarya, meresapi hangatnya semangat jihad ilmiy bersama tulisan2 dan pemikiran2... Bismillah. Bi idznillah.

*Sudah kubilang, aku akan kuat! Kalaupun resah, aku tak akan berlama-lama. Cukup kekuatan ruhiyah senantiasa menjagaku teguh dan sabar. Ketika mimpi berversus konsekuensi.

Belajar Bagi Waktu

Alhamdulillah...
Cuma bisa bilang ini...
Ngerasa banget, kurang optimal di himit tahun ini.
Efek perampingan organisasi sampai harus jadi sekretaris single fighter-kah?
Trus kelewat terkonsentrasi pada tugs-tugas administratif? Apalagi pakai sistem DIPA nan rempong itu?

Yaa...harusnya aku bisa berbuat lebih.
Tapi tetep, alhamdulillah...
Alhamdulillah selalu bisa mendamppingi temen-temen pengurus dan panitia dalam acara besar maupun acara internal himit...
Alhamdulillah ga pernah telat liqo meskipun jadwalnya bareng sama acara-acara himit...
Alhamdulillah...
Sudah mau lengser nih, ga kerasa.
Semoga bisa berkontribusi lebih banyak
Menyelam lebih dalam
Menyentuh lebih lembut
Karena yang dilakukan dengan hati akan sampai ke hati...
Bismillah...

Minggu, 21 November 2010

Like Mother, Like Daughter!

Inget pepatah, "Like father, like son" tapi aku lebih suka "like father, like daughter" atau "like mother, like daughter" haha... Iya lah... Secara anak perempuan gitu loh...

Hmm...ga sabar menanti kedatangan orang tua nih. Insya Allah... Masih shock sama ide mama hari ini, haha... Ide super lucu. Hmm... perlu dieksekusi gak ya idenya? Let see deh! Tergantung gimana ceritanya dongeng sebelum tidur malem ini ^^

Link Lagu Katon

Jogja

Pulang ke kotamu
Ada setangkup haru dalam rindu
Masih seperti dulu
Tiap sudut menyapaku bersahabat, penuh selaksa makna
Terhanyut aku akan nostalgi
Saat kita sering luangkan waktu
Nikmati bersama
Suasana Jogja

Di persimpangan langkahku terhenti
Ramai kaki lima
Menjajakan sajian khas berselera
Orang duduk bersila
Musisi jalanan mulai beraksi
Seiring laraku kehilanganmu
Merintih sendiri
Ditelan deru kotamu ...

Walau kini kau t’lah tiada tak kembali
Namun kotamu hadirkan senyummu abadi
Ijinkanlah aku untuk s’lalu pulang lagi
Bila hati mulai sepi tanpa terobati 
http://www.youtube.com/watch?v=BBPs3Tkg0JA&feature=related

Negeri di Awan

Di bayang wajahmu
Kutemukan kasih dan hidup
Yang lama lelah aku cari
Di masa lalu
Kau datang padaku
Kau tawarkan hati nan lugu
Selalu mencoba mengerti
Hasrat dalam diri

Kau mainkan untukku
Sebuah lagu tentang neg'ri di awan
Di mana kedamaian menjadi istananya
Dan kini tengah kau bawa
Aku menuju kesana

Ternyata hatimu
Penuh dengan bahasa kasih
Yang terungkapkan dengan pasti
Dalam suka dan sedih
 
http://www.youtube.com/watch?v=lAUhV7FeTXI&feature=related

Tidurlah Tidur: http://www.youtube.com/watch?v=1-Zg64vXW4g&feature=related

Dongeng Sebelum Tidur

Di malam ini aku tak dapat

Memejamkan mata terasa berat

Bagai diri terikat mimpi wow..wow

Kuingin satu, satu ceria

Pengantarku tidur biarku terlelap

Mimpikan hal yang indah

Lelah hati tertutupi


Dongeng sebelum tidur

Ceritakan yang indah biarku terlelap

Dongeng sebelum tidur

Mimpikan diriku mimpikan yang indah

Gelisahku tak menentu

Pikiran melayang (pikiran melayang)

Di benakku hanyalah ada

Lelah kian terasa

Dongengmu sebelum tidur

Ceritakan yang indah biarku terlelap


Aneka banyak cerita

Ceritakanlah semua hingga ku terlelap

Dongeng sebelum tidur

Mimpikan diriku mimpikan yang indah



(Wayang-Dongeng Sebelum Tidur)




Just wanna talk to you, longer. Ya... cerita-cerita biasa, dongeng sebelum tidur untuk menutup hari. Sahabat, suhu kita tak pernah sama akhir-akhir ini, aku tak bicara ketika kau ingin mendengar, kau pun tak ingin bicara saat aku ingin mendengar. Hari ini, aku hanya ingin mendengar dongeng sebelum tidur darimu.

http://www.youtube.com/watch?v=PiNoA82z8ac 

Sabtu, 20 November 2010

Jadilah Kitab Walau Tanpa Judul (Ust. Hilmi A)

Pepatah dalam bahasa Arab itu menyiratkan makna yang dalam, terutama menyangkut kondisi bangsa saat ini yang sarat konflik perebutan kekuasaan dan pengabaian amanah oleh pemimpin-pemimpin yang tidak menebar manfaat dengan jabatan dan otoritas yang dimilikinya. Bangsa ini telah kehilangan ruuhul jundiyah, yakni jiwa ksatria. Jundiyah adalah karakter keprajuritan yang di dalamnya terkandung jiwa ksatria sebagaimana diwariskan pejuang dan ulama bangsa ini saat perjuangan kemerdekaan.

Semangat perjuangan (hamasah jundiyah) adalah semangat untuk berperan dan bukan semangat untuk mengejar jabatan, posisi, dan gelar-gelar duniawi lainnya (hamasah manshabiyah). Saat ini, jiwa ksatria itu makin menghilang. Sebaliknya, muncul jiwa-jiwa kerdil dan pengecut yang menginginkan otoritas, kekuasaan, dan jabatan, tetapi tidak mau bertanggung jawab, apalagi berkurban. Yang terjadi adalah perebutan jabatan, baik di partai politik, ormas, maupun pemerintahan. Orang berlomba-lomba mengikuti persaingan untuk mendapatkan jabatan, bahkan dengan menghalalkan segala cara. Akibatnya, di negeri ini banyak orang memiliki "judul", baik judul akademis, judul keagamaan, judul kemiliteran, maupun judul birokratis, yang tanpa makna. Ada judulnya, tetapi tanpa substansi, tanpa isi, dan tanpa roh.

Padahal, ada kisah-kisah indah dan heroik berbagai bangsa di dunia. Misalnya, dalam Sirah Shahabah, disebutkan bahwa Said bin Zaid pernah menolak amanah menjadi gubernur di Himsh (Syria). Hal ini membuat Umar bin Khattab RA mencengkeram leher gamisnya seraya menghardiknya, "Celaka kau, Said! Kau berikan beban yang berat di pundakku dan kau menolak membantuku." Baru kemudian, dengan berat hati, Said bin Zaid mau menjadi gubernur.

Ada lagi kisah lain, yaitu Umar bin Khattab memberhentikan Khalid bin Walid pada saat memimpin perang. Hal ini dilakukan untuk menghentikan pengultusan kepada sosok panglima yang selalu berhasil memenangkan pertempuran ini. Khalid menerimanya dengan ikhlas. Dengan singkat, ia berujar, "Aku berperang karena Allah dan bukan karena Umar atau jabatanku sebagai panglima." Ia pun tetap berperang sebagai seorang prajurit biasa. Khalid dicopot "judul"-nya sebagai panglima perang. Namun, ia tetap membuat "kitab" dan membantu menorehkan kemenangan.   Ibrah yang bisa dipetik dari kisah-kisah tersebut adalah janganlah menjadi judul tanpa kitab; memiliki pangkat, tetapi tidak menuai manfaat. Maka, ruuhul jundiyah atau jiwa ksatria yang penuh pengorbanan harus dihadirkan kembali di tengah bangsa ini sehingga tidak timbul hubbul manaashib, yaitu cinta kepada kepangkatan, jabatan-jabatan, bahkan munafasah 'alal manashib, berlomba-lomba untuk meraih jabatan-jabatan. Semoga.

Belajar Bertahan

Belajar bertahan atas ketaatan
Belajar bertahan yang dilandasi ketahanan
Belajar bertahan karena ada keikhlasan
Karena sungguh, ikhlas letaknya pada pukulan pertama

Dan pembelajaran ini bukanlah untuk menjadi tahu dari yang awalnya tidak tahu
Atau  untuk menjadi faham dari yang awalnyakurang faham
Karena sebenarnya tahu, dan sudah faham

Pembelajaran ini adalah untuk menjadi lebih taat atas dasar faham
Pembelajaran untuk konsisten dalam amal-amal yang ikhlas
Maka benar, pembelajaran ini tak ternilai harganya

One More: My Favorite Spote at IPB

It is about one of my favorite spots at IPB, selain Alhur sama Seafast: tangga di node PAU yang ngadep ke PITP.
Suasana siang hari di sini.... seperti suasana yang kurasakan dulu, di masa kecil: anginnya, wangi rumput dan bunga-bunga kuning kecil yang berguguran.
Aku rasa aku bisa ingat semua kenangan dalam hidup saat berada di sini, kenangan yang berhembus begitu saja bersama angin.
Bahkan hanya sekadar angin pun bisa membuatku sangaaat bahagia. Bagaimana tidak?
Angin...terasa tapi terlihat.
Aku bersyukur atas reseptor-reseptor di permukaan kulit yang masih bisa merespon keberadaan angin, impuls-impuls saraf bekerja optimal dengan cara mengalir dari sinaps ke sinaps....dan otak, subhanallah, menerimanya dengan cepat, kurang dari sepersekian detik.Alhamdulillah.

Jumat, 19 November 2010

Masa Muda

Masa muda usiaku kini
Warna hidup tinggal kupilih
Namun aku telah putuskan
Hidup diatas kebenaran

Masa muda penuh karya untukMu Tuhan
Yang aku persembahkan sbagai insan beriman
Mumpung muda ku tak berhenti menapak cita
Menuju negeri syurga yang nun jauh disana

Kini jelas tiap langkahku
Illahi jadi tujuanku
Apapun yang aku lakukan
Islam slalu jadi pegangan

Kamis, 18 November 2010

Wanita Keadilan (Shouhar)

Perjuangan wanita keadilan
Menjadi tiang Negara dan agama
Madrasah bagi generasi masa depan
Tangan mengayun siap songsong fajar Islam

Melahirkan wanita Indonesia
cerdas dan bertaqwa
Berakhlak mulia dan berbudaya
Cermin keagungan negara

Taman surga telah terbentang
Menyambut kaum pejuang
Wanita keadilan
Pintu itu tlah siap terbuka
untuk mu hai mujahidah
Wanita keadilan

Kangen Ayah

Tiba-tiba muncul lagi perasaan aneh itu... Kangen ayah... Tiba-tiba aja...
Rasa kangen sama ayah menyeruak gitu aja waktu dapet sms dari Ditmawa yang isinya kalo ga salah:Weekend ini Ebiet G. Ade mau silaturrahim ke IPB.

Dan hari ini rasa itu memuncak!

Ayah, maaf ya putri kecilmu belum bisa jadi sekuat yang ayah harapkan... Sepertinya akan selamanya jadi putri kecil yang manja yah...

Kangen ayah... Kangen kekhawatiran ayah yang selalu cemas waktu aku ingin mencoba hal-hal baru.
Kadang aku merasa, posisi ayah dan mama terbalik. Pertama kali tau anaknya manjat pohon mangga buat ngambil shuttlecock yang nyangkut pas maen badminton, ayah langsung khawatir, cemas... Tapi mama bilang, "Biarkan aja, biar ga ngrepotin orang lain." Waktu pertama kali latihan naik sepeda, nyetir motor, bahkan nyetir mobil, ayah selalu lebih khawatir. Mama bilang anaknya jagoan jadi pasti bisa mandiri. Waktu tau diam-diam anaknya belajar berenang di Bogor, wajah ayah merah karena khawatir. Ayah bilang, "Dulu harusnya ayah aja yang ngajarin kamu." Mama bilang, "Yah, mbak kan belajarnya di kolam renang satu meter, insya Allah aman kok."

Dan kekhawatiran-kekhawatiran ayah yang lainnya...

Waktu SMA, aku pernah sakit lumayan parah, tapi tetep ga mau bolos sekolah, padahal kata dokter harusnya aku rawat inap dan diinfus. Hff... Aku takut jarum, aku ga mau diinfus. Akhirnya mama minta resep aja buat ditebus. Di rumah, aku ga bisa makan obatnya. Ah, segala sesuatu yang berhubungan dengan dunia medis selalu membuatku stress berat...

Akhirnya, ayah bilang minum air putih saja yang banyak. Mama nambahin, "Makannya harus bener, mbak, jangan kayak biasanya, makan kalo inget, itu pun ga tau ingetnya kapan..."
Dan resmi, selama satu minggu itu aku pulang-pergi rumah-sekolah tiap hari, padahal waktu SMA aku ngekost di kosan yang jaraknya ga lebih dari 300 meter dari depan gerbang sekolah. Itu berarti, tiap hari ayah antar-jemput aku dari rumah ke sekolah yang jaraknya berpuluh kilometer.

Ayah selalu jadi orang yang paling khawatir melihat mukaku lemes karena belum makan. Padahal bukan karena kehabisan uang saku, tapi memang nafsu makanku kelewat buruk. Ayah sering bertanya, "Kapan terakhir beli baju? Kapan terakhir jalan-jalan? Uang sakumu masih berapa? Masih cukup buat ngapain aja? Kapan terakhir kali makan makanan yang kamu suka?"

Tahun lalu, waktu pertama kali aku akan keluar negeri, di telpon mama bilang, "Ayahmu mau berangkat beli tiket ke Jakarta, mau nganter kamu sampe bandara katanya," Tapi kucegah, "Ga usah ma, pesawatku take off subuh-subuh, ntar ayah repot, ayah kan ga tau Jakarta atau Bogor. Nanti ayah berangkat dari mana? Tau pulangnya dari bandara naik apa? Lagian aku bareng temen-temen kok..."

Dan akhirnya, meskipun benar ayah ga jadi nganter, tapi beberapa waktu kemudian setelah aku pulang, dan alhamdulillah... benar-benar bisa pulang ke rumah (bukan ke kosan), ayah menjemputku, dan... Ayah menangis sejadi-jadinya...

Itu bukan pertama kalinya aku melihat ayah menangis, aku sering melihatnya. Dibandingkan mama, ayah lebih sering menangis. Makanya banyak orang bilang karakterku lebih mirip mama daripada ayah.
Ayah selalu bilang bangga padaku, bahwa ayah selalu bersyukur Allah memberinya banyak hal tak terduga yang jauh melebihi harapan. Waktu aku lahir bahkan ayah tak pernah berpikir aku bisa menempati posisi tiga besar terus-menerus selama sekolah, menang olimpiade, juara lomba pidato, debat, esai, apalagi keluar negeri. Ayah tak pernah menuntut.


Dan ayah yang akan selalu rela bekerja jauh lebih keras, jauh lebih lama hingga merelakan malam-malamnya jika tiba saatnya membayar uang semester atau uang kosan. Dulu waktu masih di rumah, ayah begadang semalaman menemani aku kalau musim ujian datang. Begadang sampai berhari-hari tanpa terpejam sedikit pun waktu aku koma selama dua hari, dulu di kelas 3 SD.

Ayah selalu khawatir. Tapi kekhawatiran itu yang selalu membuatku sangat rindu...
Ayah, kadang aku seperti melihat ayah padahal yang kulihat adalah orang lain, padahal cuma kakak tingkat. Tapi yah, aku selalu kehabisan kata-kata waktu ayah nelpon. Entahlah, speechless...

Ayah, terima kasih sudah mengajari anakmu begitu banyak hal. Tentang tepat waktu, tentang terampil, tentang kesopanan, banyak sekali, aku tak ingat semua. Dan sekarang yah, anakmu sangat perlu kemampuan mengaplikasikan ilmu-ilmu kepemimpinan yang ayah ajarkan. Kangen ayah, maaf yah tadi pagi aku speechless waktu ayah nelpon, karena rasa rindu yah, sangat... Teringat waktu pulang lebaran Idul Fitri kemarin, waktu kucium tangan ayah dan mama dengan takzim...

Ayah, tak akan bisa kulupa surat itu, di amplopnya tertulis "Ananda Yolanda Sylvia P." Ayah mengirimiku surat bahkan ketika saat ini berkomunikasi lewat hp begitu mudah, jaringan di internet tanpa batas. Tapi surat itu yang ayah kirimkan sewaktu aku baru masuk tingkat tiga, sungguh manis isinya, manis dikenang, tak terlupakan...

Dalam suasana Idul Adha, kerinduan itu makin terasa. Aku ingin pulang, aku pikir ayah dan mama juga ingin aku pulang. Tapi ayah dan mama pun tau, jadwal akademik tahun ini tidak mengizinkanku sering-sering pulang.

Setidaknya kabar rumah masih selalu meyejukkan hatiku...


Robbighfir lii wa li waalidayya warhamhumaa kamaa robbayaanii shoghiiroo
“Ya Tuhanku! Ampunilah aku, ibu bapakku dan kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.”

Rabu, 17 November 2010

Moon Over My Obscure Little Town

Stranger
Stranger
Someone stranger

Standing in a mirror
I can't believe what I see
How much love has been taken away from me?

My heart cries out loud
Everytime I feel lonely in the crowd
Getting you out of my mind
Like separating the wind from the cloud

Afraid
Afraid

I'm so afraid
of losing someone I never have
Crazy, oh, crazy
Finding reasons for my jealousy

All I can remember
When you left me alone
Under the moon over my obscure little town
As long as I can remember
Love has turned to be as cold as December

The moon over my obscure little town
The moon over my obscure little town

(Andrea Hirata - dalam Padang Bulan)

Di buku Cinta dalam Gelas, saya paling suka frase ini:
"Ia adalah lelaki yang baik dengan cinta yang baik. Jika kami duduk di beranda, ayahmu mengambil antip dan memotong kuku-kukuku. Cinta seperti itu akan dibawa perempuan sampai mati."
"Jika kuseduhkan kopi, ayahmu menghirupnya pelan-pelan lalu tersenyum padaku."
Meski tak terkatakan, anak-anaknya tahu bahwa senyum itu adalah ucapan saling berterima kasih antara ayah dan ibu mereka untuk kasih sayang yang balas membalas, dan kopi itu adalah cinta di dalam gelas.

Benar-benar romantisme yang sederhana. Oh, tenang saja, saya tidak sedang melankolis sama sekali kok. Ya, sepertinya saya memang bukan orang yang melankolis. Tapi, saya menyukai cara-cara yang sederhana dan cenderung pragmatis. Dan menurut saya, penggambaran di atas sangat tepat untuk menjabarkan tentang "kebahagiaan yang sederhana". Idealis dalam orientasi, pragmatis dalam eksekusi.

Puisi-puisi Sapardi Djoko Damono

AIR SELOKAN
Oleh :
Sapardi Djoko Damono
"Air yang di selokan itu mengalir dari rumah sakit," katamu pada suatu hari minggu pagi. Waktu itu kau berjalanjalan bersama istrimu yang sedang mengandung
-- ia hampir muntah karena bau sengit itu.
Dulu di selokan itu mengalir pula air yang digunakan untuk memandikanmu waktu kau lahir: campur darah dan amis baunya. Kabarnya tadi sore mereka sibuk memandikan mayat di kamar mati.
Senja ini ketika dua orang anak sedang berak di tepi selokan itu, salah seorang tiba-tiba berdiri dan menuding sesuatu:
"Hore, ada nyawa lagi terapung-apung di air itu -- alangkah indahnya!"
Tapi kau tak mungkin lagi menyaksikan yang berkilau-kilauan hanyut di permukaan air yang anyir baunya itu, sayang sekali.
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
AKU INGIN
Oleh :
Sapardi Djoko Damono
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
AKULAH SI TELAGA
Oleh :
Sapardi Djoko Damono
akulah si telaga: berlayarlah di atasnya;
berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil yang menggerakkan bunga-bunga padma;
berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya;
sesampai di seberang sana, tinggalkan begitu saja
-- perahumu biar aku yang menjaganya
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
ANGIN, 1
Oleh :
Sapardi Djoko Damono
angin yang diciptakan untuk senantiasa bergerak dari sudut ke sudut dunia ini pernah pada suatu hari berhenti ketika mendengar suara nabi kita Adam menyapa istrinya untuk pertama kali, "hei siapa ini yang mendadak di depanku?"
angin itu tersentak kembali ketika kemudian terdengar jerit wanita untuk pertama kali, sejak itu ia terus bertiup tak pernah menoleh lagi
-- sampai pagi tadi:
ketika kau bagai terpesona sebab tiba-tiba merasa scorang diri di tengah bising-bising ini tanpa Hawa
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
ANGIN, 2
Oleh :
Sapardi Djoko Damono
Angin pagi menerbangkan sisa-sisa unggun api yang terbakar semalaman.
Seekor ular lewat, menghindar.
Lelaki itu masih tidur.
Ia bermimpi bahwa perigi tua yang tertutup ilalang panjang
di pekarangan belakang rumah itu tiba-tiba berair kembali.
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
ANGIN, 3
Oleh :
Sapardi Djoko Damono
"Seandainya aku bukan ......
Tapi kau angin!
Tapi kau harus tak letih-letihnya beringsut dari sudut ke sudut kamar,
menyusup celah-celah jendela, berkelebat di pundak bukit itu.
"Seandainya aku . . . ., ."
Tapi kau angin!
Nafasmu tersengal setelah sia-sia menyampaikan padaku tentang perselisihan antara cahaya matahari dan warna-warna bunga.
"Seandainya ......
Tapi kau angin!
Jangan menjerit:
semerbakmu memekakkanku.
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
ATAS KEMERDEKAAN
Oleh :
Sapardi Djoko Damono
kita berkata : jadilah
dan kemerdekaan pun jadilah bagai laut
di atasnya : langit dan badai tak henti-henti
di tepinya cakrawala
terjerat juga akhirnya
kita, kemudian adalah sibuk
mengusut rahasia angka-angka
sebelum Hari yang ketujuh tiba
sebelum kita ciptakan pula Firdaus
dari segenap mimpi kita
sementara seekor ular melilit pohon itu :
inilah kemerdekaan itu, nikmatkanlah
Horison
Thn III, No. 8
Agustus 1968
Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air
DI TANGAN ANAK-ANAK
Oleh :
Sapardi Djoko Damono
Di tangan anak-anak, kertas menjelma perahu Sinbad yang tak takluk pada gelombang, menjelma burung . yang jeritnya membukakan kelopak-kelopak bunga di hutan; di mulut anak-anak, kata menjelma Kitab Suci.
"Tuan, jangan kauganggu permainanku ini."
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
BERJALAN KE BARAT WAKTU PAGI HARI
Oleh :
Sapardi Djoko Damono
waktu berjalan ke barat di waktu pagi hari matahari mengikutiku di belakang
aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang di depan
aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang telah menciptakan bayang-bayang
aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan
BUNGA, 1
Oleh :
Sapardi Djoko Damono
(i)
Bahkan bunga rumput itu pun berdusta.
Ia rekah di tepi padangwaktu hening pagi terbit;
siangnya cuaca berdenyut ketikanampak sekawanan gagak terbang berputar-putar di atas padang itu;
malam hari ia mendengar seru serigala.
Tapi katanya, "Takut? Kata itu milik kalian saja, para manusia. Aku ini si bunga rumput, pilihan dewata!"
(ii)
Bahkan bunga rumput itu pun berdusta.
Ia kembang di sela-selageraham batu-batu gua pada suatu pagi, dan malamnya menyadari bahwa tak nampak apa pun dalam gua itu dan udara ternyata sangat pekat dan tercium bau sisa bangm dan terdengar seperti ada embik terpatah dan ia membayangkan hutan terbakar dan setelah api ....
Teriaknya, "Itu semua pemandangan bagi kalian saja, para manusia! Aku ini si bunga rumput: pilihan dewata!"
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
BUNGA, 2
Oleh :
Sapardi Djoko Damono
mawar itu tersirap dan hampir berkata jangan ketika pemilik
taman memetiknya hari ini; tak ada alasan kenapa ia ingin berkata
jangan sebab toh wanita itu tak mengenal isaratnya -- tak ada
alasan untuk memahami kenapa wanita yang selama ini rajin
menyiraminya dan selalu menatapnya dengan pandangan cinta itu
kini wajahnya anggun dan dingin, menanggalkan kelopaknya
selembar demi selembar dan membiarkannya berjatuhan menjelma
pendar-pendar di permukaan kolam
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
BUNGA, 3
Oleh :
Sapardi Djoko Damono
seuntai kuntum melati yang di ranjang itu sudah berwarna coklat ketika tercium udara subuh dan terdengar ketukan di pintu
tak ada sahutan
seuntai kuntum melati itu sudah kering: wanginya mengeras di empat penjuru dan menjelma kristal-kristal di udara ketika terdengar ada yang memaksa membuka pintu
lalu terdengar seperti gema "hai, siapa gerangan yang telah membawa pergi jasadku?"
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
CARA MEMBUNUH BURUNG
Oleh :
Sapardi Djoko Damono
bagaimanakah cara membunuh burung yang suka berkukuk bersama teng-teng jam dinding yang tergantung sejak kita belum dilahirkan itu?
soalnya ia bukan seperti burung-burung yang suka berkicau setiap pagi meloncat dari cahaya ke cahaya di sela-sela ranting pohon jambu (ah dunia di antara bingkai jendela!)
soalnya ia suka mengusikku tengah malam, padahal aku sering ingin sendirian
soalnya ia baka
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
CERMIN, 1
Oleh :
Sapardi Djoko Damono
cermin tak pernah berteriak;
ia pun tak pernah meraung, tersedan, atau terhisak,
meski apa pun jadi terbalik di dalamnya;
barangkali ia hanya bisa bertanya:
mengapa kau seperti kehabisan suara?
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
CERMIN, 2
Oleh :
Sapardi Djoko Damono
mendadak kau mengabut dalam kamar, mencari dalam cermin;
tapi cermin buram kalau kau entah di mana, kalau kau mengembun dan menempel di kaca, kalau kau mendadak menetes dan tepercik ke mana-mana;
dan cermin menangkapmu sia-sia
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
DI ATAS BATU
Oleh :
Sapardi Djoko Damono
ia duduk di atas batu dan melempar-lemparkan kerikil ke tengah kali
ia gerak-gerakkan kaki-kakinya di air sehingga memercik ke sana ke mari
ia pandang sekeliling : matahari yang hilang - timbul di sela goyang daun-daunan, jalan setapak yang mendaki tebing kali, beberapa ekor capung
-- ia ingin yakin bahwa benar-benar berada di sini
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
PERTAPA
Oleh :
Sapardi Djoko Damono
Jangan mengganggu:
aku, satria itu, sedang bertapa dalam sebuah gua, atau sebutir telur, atau. sepatah kata -- ah, apa ada bedanya. Pada saatnya nanti, kalau aku sudah dililit akar, sudah merupakan benih, sudah mencapai makna -- masih beranikah kau menyapaku, Saudara?
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
DUA PERISTIWA DALAM SATU SAJAK DUA BAGIAN
Oleh :
Sapardi Djoko Damono
1
sehabis langkah-langkah kaki: hening
siapa?
barangkali si pesuruh yang tersesat dan gagal menemukan tempat- tinggalmu padahal sejak semula sudah diikutinya jejakmu
padahal harus lekas-lekas disampaikannya pesan itu padamu
2
seolah-olah kau harus segera mengucapkan sederet kata
yang pernah kaukenal artinya,
yang membuatmu terkenang akan batang randu alas tua
yang suka menjeritjerit kalau sarat berbunga
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
GONGGONG ANJING
untuk Rizki
Oleh :
Sapardi Djoko Damono
gonggong anjing itu mula-mula lengket di lumpur
lalu merayapi pohon cemara dan tergelincir terbanting di atas rumah
menyusup lewat celah-celah genting
bergema dalam kamar demi kamar
tersuling lewat mimpi seorang anak lelaki
siapa itu yang bernyanyi bagai bidadari?" tanya sunyi
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
HATIKU SELEMBAR DAUN
Oleh :
Sapardi Djoko Damono
hatiku selembar daun melayang jatuh di rumput;
nanti dulu, biarkan aku sejenak terbaring di sini;
ada yang masih ingin kupandang, yang selama ini senantiasa luput;
sesaat adalah abadi sebelum kausapu tamanmu setiap pagi.
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
KEPOMPONG ITU
Oleh :
Sapardi Djoko Damono
kepompong yang tergantung di daun jambu itu mendengar kutukmu yang kacau terhadap hawa lembab ketika kau menutup jendela waktu hari hujan
kepompong itu juga mendengar rohmu yang bermimpi dan meninggalkan tubuhmu: melepaskan diri lewat celah pintu, melayang di udara dingin sambil bernyanyi dengan suara bening dan bermuatan bau bunga
dan kepompong itu hanya bisa menggerak-gerakkan tubuhnya ke kanan-kiri, belum saatnya ia menjelma kupu-kupu; dan, kau tahu , ia tak berhak bermimpi
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
KETIKA MENUNGGU BIS KOTA, MALAM-MALAM
Oleh :
Sapardi Djoko Damono
"Hus, itu bukan anjing; itu capung!" katanya. Tapi capung tak pernah terbang malam, bukan? Capung tak suka ke tempat sampah
-- biasanya ia hinggap di ujung daun rumput waktu pagi hari,
dan kalau ada gadis kecil akan menangkapnya ia pun terbang ke balik pagar sambil mendengarkan suara "aahh!" Tubuhnya mungil, bukan?
Sedangkan yang kulihat tadi jelas anjing kampung yang ekornya buntung, menjilatjilat tempat sampah yang di seberang halte itu, mengelilinginya,
lalu kencing di sudutnya.
Hanya saja, aku memang tak melihat ke mana gaibnya.
"Itu capung!" katanya. Sayang sekali bahwa kau merasa tak melihat apa pun di seberang sana tadi.
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
KISAH
Oleh :
Sapardi Djoko Damono
Kau pergi, sehabis menutup pintu pagar sambil sekilas menoleh namamu sendiri yang tercetak di plat alumunium itu. Hari itu musim hujan yang panjang dan sejak itu mereka tak pernah melihatmu lagi.
Sehabis penghujan reda, plat nama itu ditumbuhi lumut sehingga tak bisa terbaca lagi.
Hari ini seorang yang mirip denganmu nampak berhenti di depan pintu pagar rumahmu, seperti mencari sesuatu. la bersihkan lumut dari plat itu, Ialu dibacanya namamu nyaring-nyaring.
Kemudian ia berkisah padaku tentang pengembaraanmu.
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
KUKIRIMKAN PADAMU
Oleh :
Sapardi Djoko Damono
kukirimkan padamu kartu pos bergambar, istriku,
par avion: sebuah taman kota, rumputan dan bunga-bunga, bangku dan beberapa orang tua, burung-burung merpati dan langit yang entah batasnya.
Aku, tentu saja, tak ada di antara mereka.
Namun ada.
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
KUTERKA GERIMIS
Oleh :
Sapardi Djoko Damono
Kuterka gerimis mulai gugur
Kaukah yang melintas di antara korek api dan ujung rokokku
sambil melepaskan isarat yang sudah sejak lama kulupakan kuncinya itu
Seperti nanah yang meleleh dari ujung-ujung jarum jam dinding yang berhimpit ke atas itu
Seperti badai rintik-rintik yang di luar itu
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
LIRIK UNTUK LAGU POP
Oleh :
Sapardi Djoko Damono
jangan pejamkan matamu: aku ingin tinggal di hutan yang gerimis
-- pandangmu adalah seru butir air tergelincir dari duri mawar (begitu nyaring!); swaramu adalah kertap bulu burung yang gugur (begitu hening!)
aku pun akan memecah pelahan dan bertebaran dalam hutan; berkilauan serbuk dalam kabut
-- nafasmu adalah goyang anggrek hutan yang mengelopak (begitu tajam!)
aku akan berhamburan dalam grimis dalam seru butir air dalam kertap bulu burung dalam goyang anggrek
-- ketika hutan mendadak gaib
jangan pejamkan matamu:
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
MATA PISAU
Oleh :
Sapardi Djoko Damono
mata pisau itu tak berkejap menatapmu
kau yang baru saja mengasahnya
berfikir: ia tajam untuk mengiris apel
yang tersedia di atas meja
sehabis makan malam;
ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu
DI SEBUAH HALTE BIS
Oleh :
Sapardi Djoko Damono
Hujan tengah malam membimbingmu ke sebuah halte bis dan membaringkanmu di sana. Kau memang tak pernah berumah, dan hujan tua itu kedengaran terengah batuk-batuk dan tampak putih.
Pagi harinya anak-anak sekolah yang menunggu di halte bis itu melihat bekas-bekas darah dan mencium bau busuk. Bis tak kunjung datang. Anak-anak tak pernah bisa sabar menunggu. Mereka menjadi kesal dan, bagai para pemabok, berjalan sempoyongan sambil melempar-lemparkan buku dan menjerit-jerit menyebut-nyebut namamu.
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
PERAHU KERTAS
Oleh :
Sapardi Djoko Damono
Waktu masih kanak-kanak kau membuat perahu kertas dan kau layarkan di tepi kali; alirnya Sangat tenang, dan perahumu bergoyang menuju lautan.
"Ia akan singgah di bandar-bandar besar," kata seorang lelaki tua. Kau sangat gembira, pulang dengan berbagai gambar warna-warni di kepala.
Sejak itu kau pun menunggu kalau-kalau ada kabar dari perahu yang tak pernah lepas dari rindu-mu itu.
Akhirnya kau dengar juga pesan si tua itu, Nuh, katanya,
"Telah kupergunakan perahumu itu dalam sebuah banjir besar dan kini terdampar di sebuah bukit."
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
PERISTIWA PAGI TADI
kepada GM
Oleh :
Sapardi Djoko Damono
Pagi tadi seorang sopir oplet bercerita kepada pesuruh kantor tentang lelaki yang terlanggar motor waktu menyeberang.
Siang tadi pesuruh kantor bercerita kepada tukang warung tentang sahabatmu yang terlanggar motor waktu menyeberang, membentur aspal, Ialu beramai-ramai diangkat ke tepi jalan.
Sore tadi tukang warung bercerita kepadamu tentang aku yang terlanggar motor waktu menyeberang, membentur aspal, lalu diangkat beramai-ramai ke tepi jalan dan menunggu setengah jam sebelum dijemput ambulans dan meninggal sesampai di rumah sakit.
Malam ini kau ingin sekali bercerita padaku tentang peristiwa itu.
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
PESAN
Oleh :
Sapardi Djoko Damono
Tolong sampaikan kepada abangku, Raden Sumantri, bahwa memang kebetulan jantungku tertembus anak panahnya.
Kami saling mencinta, dan antara disengaja dan tidak disengaja sama sekali tidak ada pembatasnya.
Kalau kau bertemu dengannya, tolong sampaikan bahwa aku tidak menaruh dendam padanya, dan nanti apabila perang itu tiba, aku hanya akan .....
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
PESTA
Oleh :
Sapardi Djoko Damono
pesta berlangsung sederhana. Sedikit tangis, basa-basi itu; tinggal bau bunga gemetar pada tik-tok jam, ingin mengantarmu sampai ke tanah-tanah sana yang sesekali muncul dalam mimpi-mimpinya
. . . di sumur itu, si Pembunuh membasuh muka, tangan, dan kakinya
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
PUISI CAT AIR UNTUK RIZKI
Oleh :
Sapardi Djoko Damono
angin berbisik kepada daun jatuh yang tersangkut kabel telpon itu, "aku rindu, aku ingin mempermainkanmu! "
kabel telpon memperingatkan angin yang sedang memungut daun itu dengan jari-jarinya gemas, "jangan berisik, mengganggu .
hujan!"
hujan meludah di ujung gang lalu menatap angin dengan tajam,
hardiknya, 'lepaskan daun itu!"
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
SAJAK NOPEMBER
Oleh :
Sapardi Djoko Damono
Siapa yang akan berbicara untuk kami
siapa yang sudah tahu siapa sebenarnya kami ini
bukanlah rahasia yang mesti diungkai dari kubur
yang berjejal
bukanlah tuntutan yang terlampau lama mengental
tapi siapa yang bisa memahami bahasa kami
dan mengerti dengan baik apa yang kami katakan
siapa yang akan berbicara atas nama kami
yang berjejal dalam kubur
bukanlah pujian-pujian kosong yang mesti dinyanyikan
bukanlah upacara-upacara palsu yang mesti dilaksanakan
tapi siapa yang sanggup bercakap-cakap dengan kami
siapa yang bisa paham makna kehendak kami
kami yang telah lahir dari ibu-ibu yang baik dan sederhana
ibu-ibu yang rela melepaskan seluruh anaknya sekaligus
tanpa dicatat namanya
kepada Ibu yang lebih besar dan agung :
ialah Tanah Air
kami telah menyusu dari pada bunda yang tabah
yang rela melepaskan seluruh anaknya sekaligus
untuk pergi lebih dahulu
apakah kau dengan para bunda itu mencari kubur kami
apakah kau dengar para bunda itu memanggil nama kami
mereka hanya berkaata : akan selalu kami lahirkan anak-anak yang baik
tanpa mengeluh serta putus asa
di Solo dua orang dalam satu kuburan
di Makasar sepuluh orang dalam satu kuburan
di Surabaya seribu orang dalam satu kuburan
dan kami tidak menuntut nisan yang lebih baik
tapi katakanlah kepada anak cucu kami;
di sini telah dikubur pamanmu, ayahmu, saudaramu
bertimbun dalam satu lobang
dan tiada yang tahu siapa nama mereka itu satu-persatu
tambur yang paling besar telah ditabuh
dan orang-orang pun keluar untuk mengenangkan kami
terompet yang paling lantang ditiup
dan mereka berangkat untuk menangiskan nasib kami dulu
kami pun bangkit dari kubur
memeluki orang-orang itu dan berkata : pulanglah
kami yang mati muda sudah tentram, dan jangan
diusik oleh sesal yang tak keruan sebabnya
kami hanya berkelahi dan sudah itu : mati
kami hanya berkelahi untukmu, untuk mereka
dan hari depan, sudah itu : mati
orang-orang pun menyiramkan air bunga yang wangi saat itu
tanpa tahu siapa kami ini
tiada mereka dengarkan ucapan terimakasih kami yang tulus
tiada mereka dengarkan salam kami bagi yang tinggal
tiada mereka lihatkah senyum kami yang cerah
dan sudah itu : mati
siapa berkata bahwa kami telah musnah
siapa berkata
kami kenal nama-namamu di mesjid di gereja di jalan di pasar
kami kenal nama-namamu di gunung di lembah di sawah
di ladang dan di laut, meskipun kalian
tiada menyadari kehadiran kami
siapa berkata bahwa kami telah musnah
siapa berkata
tanah air adalah sebuah landasan
dan kami tak lain baja yang membara hancur
oleh pukulan
ialah kemerdekaan
kemarin giliran kami
tapi besok mesti tiba giliranmu
kalau saja kau masih mau tahu ucapan terimakasih
terhadap tanah tempatmu selama ini berpijak
hidup dan mengerti makna kemerdekaan
dan kami adalah baja yang membara di atas landasan
dibentuk oleh pukulan : ialah kemerdekaan
(mungkin besok tiba giliranmu)
siapa yang tahu cinta saudara, paman dan bapa
siapa yang bisa merasa kehilangan saudara, paman dan bapak
ingat untuk apa kamu pergi
siapa yang pernah mendengar bedil, bom dan meriam
siapa yang sempat melihat luka, darah dan bangkai manusia
ingat kenapa kami tak kembali
begitu hebatkah kemerdekaan itu hingga kami korbankan
apa saja untuknya
jawablah : ya
begitu agungkah ia hingga kami tak berhak menuntut apa-apa
jawab lagi : ya
sudah kau dengarkah suara sepatu kami tengah malam hari
datang untuk memberkati anak-anak yang tidur
sebab merekalah yang kelak harus bisa mempergunakan
bahasa dan kehendak kami
sudah kau dengarkah suara napas kami
menyusup ke dalam setiap rahim bunda yang subur
sebab kami selalu dan selalu lahir kembali
selalu dan selalu berkelahi lagi
mungkin pernah kau kenal kami dahulu, mungkin juga tidak
mungkin pernah kau jumpa kami dahulu, mungkin juga tidak
tapi toh tak ada bedanya:
kami telah memulainya
dan kalian sekarang yang harus melanjutkannya
dan memang tak ada bedanya :
kalau hari itu bagi kami adalah saat penghabisan
bagimu adalah awal pertaruhan
awal dari apa yang terlaksana kemarin, kini besok pagi
meski kami pernah kau kenal atau tidak
meski kami pernah kau jumpa atau tidak
kami adalah buruh, pelajar, prajurit dan bapa tani
yang tak sempat mengenal nama masing-masing dengan baik
kami turun dari kampung, benteng, ladang dan gunung
lantaran satu harapan yang pasti
walau tak pernah kembali
kami hanyalah kubur yang rata dengan tanah dan tak bertanda
kami hanyalah kerangka-kerangka yang tertimbun dan tak punya nama
tapi hari ini doakan sesuatu yang pantas bagi kami
agar Tuhan yang selalu mendengar bisa mengerti dan
mengeluarkan ampun
kami adalah mayat-mayat yang sudah lebur dalam bumi
tapi adukan segala yang pantas tentang diri kami ini
agar tak lagi mengembara arwah kami
kami telah lahir, hidup dan berkelahi : dan mati
kami telah mati
lahir dari para ibu yang mengerti untuk apa kami lahir di sini
hidup di bumi yang mengerti semangat yang menjalankan kami
kami telah berkelahi; dan mati
tapi siapakah yang bisa menterjemahkan bahasa hati kami
dan mengatakannya kepada siapa pun
tapi siapakah yang bisa menangkap bahasa jiwa kami
yang telah mati pagi sekali
dan berjalan tanpa nama dan tanda
dalam satu lobang kubur
kami telah lahir dan selalu lahir
selalu dan selalu lahir dari para bunda yang tabah
selalu dan selalu berkelahi
di mana dan kapan saja
biarkan kami bicara lewat suara anak-anak
yang menyanyikan lagu puja hari ini
biarkanlah kami bicara lewat kesunyian suasana
dari orang-orang yang mengheningkan cipta hari ini
Sementara bendera yang kami tegakkan dahulu berkibar
atas rasa bangga kami yang sederhana
biarkanlah kami bicara hari ini
lewat suara anak-anak yang menyanyikan lagu puja
lewat kesunyian suasana orang-orang yang mengheningkan cipta
Gelora
Th III, No 19
( Nopember 1962)
Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air
TUAN
Oleh :
Sapardi Djoko Damono
Tuan Tuhan, bukan? Tunggu sebentar,
saya sedang ke luar.
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
SAJAK SUBUH
Oleh :
Sapardi Djoko Damono
Waktu mereka membakar gubuknya awal subuh itu ia baru saja bermimpi tentang mata air. Mereka berteriak, "Jangan bermimpi!" dan ia terkejut tak mengerti.
Sejak di kota itu ia tak pernah sempat bermimpi. Ia ingin sekali melihat kembali warna hijau dan mata air, tetapi ketika untuk pertama kalinya. Ia bermimpi subuh itu, mereka membakar tempat tinggalnya.
"Jangan bermimpi!" gertak mereka.
Suara itu terpantul di bawahjembatan dan tebing-tebing sungai. Api menyulut udara lembar demi lembar, lalu meresap ke pori-pori kulitnya. Ia tak memahami perintah itu dan mereka memukulnya, "Jangan bermimpi! "
Ia rubuh dan kembali bermimpi tentang mata air dan .....
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
SAJAK TELUR
Oleh :
Sapardi Djoko Damono
dalam setiap telur semoga ada burung dalam setiap burung
semoga ada engkau dalam setiap engkau semoga ada yang senantiasa terbang menembus silau matahari memecah udara dingin
memuncak ke lengkung langit menukik melintas sungai
merindukan telur
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
SELAMAT PAGI INDONESIA
Oleh :
Sapardi Djoko Damono
selamat pagi, Indonesia, seekor burung mungil mengangguk
dan menyanyi kecil buatmu.
aku pun sudah selesai, tinggal mengenakan sepatu,
dan kemudian pergi untuk mewujudkan setiaku padamu dalam
kerja yang sederhana;
bibirku tak biasa mengucapkan kata-kata yang sukar dan
tanganku terlalu kurus untuk mengacu terkepal.
selalu kujumpai kau di wajah anak-anak sekolah,
di mata para perempuan yang sabar,
di telapak tangan yang membatu para pekerja jalanan;
kami telah bersahabat dengan kenyataan
untuk diam-diam mencintaimu.
pada suatu hari tentu kukerjakan sesuatu
agar tak sia-sia kau melahirkanku.
seekor ayam jantan menegak, dan menjeritkan salam
padamu, kubayangkan sehelai bendera berkibar di sayapnya.
aku pun pergi bekerja, menaklukan kejemuan,
merubuhkan kesangsian,
dan menyusun batu-demi batu ketabahan, benteng
kemerdekaanmu pada setiap matahari terbit, o anak jaman
yang megah,
biarkan aku memandang ke Timur untuk mengenangmu
wajah-wajah yang penuh anak-anak sekolah berkilat,
para perepuan menyalakan api,
dan di telapak tangan para lelaki yang tabah
telah hancur kristal-kristal dusta, khianat dan pura-pura.
Selamat pagi, Indonesia, seekor burung kecil
memberi salam kepada si anak kecil;
terasa benar : aku tak lain milikmu
Basis
Thn. XV - 4
Januari 1965
Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air
SERULING
Oleh :
Sapardi Djoko Damono
Seruling bambu itu membayangkan ada yang meniupnya, menutup-membuka lubang-lubangnya, menciptakan pangeran dan putri dari kerajaan-kerajaan jauh yang tak terbayangkan merdunya ....
Ia meraba-raba lubang-lubangnya sendiri yang senantiasa menganga.
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
SETANGAN KENANGAN
Oleh :
Sapardi Djoko Damono
Siapakah gerangan yang sengaja menjatuhkan setangan di lorong yang berlumpur itu. Soalnya, tengah malam ketika seluruh kota kena sihir menjelma hutan kembali, ia seperti menggelepar- gelepar ingin terbang menyampaikan pesan kepada Rama tentang rencana ....
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.

SIHIR HUJAN
Oleh :
Sapardi Djoko Damono
Hujan mengenal baik pohon, jalan, dan selokan
-- swaranya bisa dibeda-bedakan;
kau akan mendengarnya meski sudah kaututup pintu dan jendela.
Meskipun sudah kau matikan lampu.
Hujan, yang tahu benar membeda-bedakan, telah jatuh di pohon, jalan, dan selokan
- - menyihirmu agar sama sekali tak sempat mengaduh waktu menangkap wahyu yang harus kaurahasiakan
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.



SUDAH KUTEBAK
Oleh :
Sapardi Djoko Damono
Sudah kutebak kedatanganmu. Seperti biasanya,
kau berkias tentang sepasang ikan yang menyambar-nyambar umpan sedikit demi sedikit,
menggosok-gosokkan tubuh di karang-karang,
menyambar, berputar-putar membuat lingkaran,
menyambar, mabok membentur batu-batuan.
Kutebak si pengail masih terkantuk-kantukdi tepi sungai itu.
Sendirian.
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.

TAJAM HUJANMU
Oleh :
Sapardi Djoko Damono
tajam hujanmu
ini sudah terlanjur mencintaimu:
payung terbuka yang bergoyang-goyang di tangan kananku,
air yang menetes dari pinggir-pinggir payung itu,
aspal yang gemeletuk di bawah sepatu,
arloji yang buram berair kacanya,
dua-tiga patah kata yang mengganjal di tenggorokan
deras dinginmu
sembilu hujanmu
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.



TEKUKUR
Oleh :
Sapardi Djoko Damono
Kautembak tekukur itu. Ia tak sempat terkejut, beberapa lembar bulunya lepas; mula-mula terpencar di sela-sela jari angin, satu-dua lembar sambar-menyambar sebentar, lalu bersandar pada daun-daun rumput. "Kena!" serumu.
Selembar bulunya ingin sekali mencapai kali itu agar bisa terbawa sampai jauh ke hilir, namun angin hanya meletakkannya di tebing sungai. "Tapi ke mana terbang burung luka itu?" gerutumu.
Tetes-tetes darahnya melayang : ada yang sempat melewati berkas- berkas sinar matahari, membiaskan wama merah cemerlang, lalu jatuh di kuntum-kuntum bunga rumput.
"Merdu benar suara tekukur itu," kata seorang gadis kecil yang kebetulan lewat di sana; ia merasa tiba-tiba berada dalam sebuah taman bunga.
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
TELINGA
Oleh :
Sapardi Djoko Damono
"Masuklah ke telingaku," bujuknya.
Gila
ia digoda masuk ke telinganya sendiri
agar bisa mendengar apa pun
secara terperinci -- setiap kata, setiap huruf, bahkan letupan dan desis
yang menciptakan suara.
"Masuklah," bujuknya.
Gila ! Hanya agar bisa menafsirkan sebaik-baiknya apa pun yang dibisikkannya kepada diri sendiri.
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.



TENTANG MATAHARI
Oleh :
Sapardi Djoko Damono
Matahari yang di atas kepalamu itu
adalah balonan gas yang terlepas dari tanganmu
waktu kau kecil, adalah bola lampu
yang di atas meja ketika kau menjawab surat-surat
yang teratur kau terima dari sebuah Alamat,
adalah jam weker yang berdering
sedang kau bersetubuh,
adalah gambar bulan
yang dituding anak kecil itu sambil berkata :
"Ini matahari! Ini matahari!"
Matahari itu? Ia memang di atas sana
supaya selamanya kau menghela
bayang-bayanganmu itu.
YANG FANA ADALAH WAKTU
Oleh :
Sapardi Djoko Damono
Yang fana adalah waktu. Kita abadi:
memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa.
"Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?"
tanyamu.
Kita abadi.
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.