Minggu, 28 Oktober 2012

Guru.. Izinkan Kami Meneladanimu


Guru… Sebuah kata yang sangat membekas di dalam hatiku.

Ya, sebab aku punya cerita yang tidak semua orang tahu. Kalau bukan karena jasa seorang guru, mungkin sekarang aku tidak bisa menjadi seorang sarjana. Hal yang paling kuingat dari seorang guru adalah sosok pendidik bukan sekadar pengajar, seorang pembentuk karakter bukan sekadar seorang penyampai teori. Aku, bukti hidup “korban” seorang guru…

Awalnya aku nggak pernah mikir akan bisa kuliah. Tapi sejak SD memang dari dulu tekadku satu: harus bisa kuliah di salah satu PTN 5 besar di Indonesia lewat jalur SPMB! Hff meskipun nggak mudah belajar untuk SPMB.  Tapi karena keputusanku sudah bulat, bagaimanapun aku harus belajar. Pertimbangan utamaku kuliah di salah satu PTN 5 besar nasional tentu saja karena kualitasnya masih menjadi yang terbaik di Indonesia. Jadi aku pikir, jurusan apapun yang kuambil, insya Allah akan bisa mendapatkan ilmu yang baik di sana, dan dapat memanfaatkannya untuk kebaikan bangsa kita. Hahaha, sepertinya cita-citaku tinggi sekali ya, bahkan kadang kurang ngerti juga bagaimana mewujudkannya, tapi aku optimis aja. Alasan kedua yang membuatku sangat tertantang untuk mengejar PTN tentu saja karena biaya pendidikannya yang relatif murah.
Namun, bagaimanapun murahnya biaya pendidikan, tetap saja aku harus mengeluarkan uang dalam satuan juta. Nggak enak sebenarnya minta ke orang tua. Karena selain memang sudah berniat belajar mandiri sejak SMA, aku juga ingin orang tuaku lebih memfokuskan pembiayaan untuk pendidikan kedua adik yang masih kecil. Nah masalahnya, di kota kecil tempat asalku, nggak banyak kerja sampingan yang bisa dilakukan oleh seorang siswa. Hff…

Satu-satunya yang terpikirkan olehku adalah menabung. Sayangnya, aku benar-benar bukan orang yang memiliki motivasi tinggi untuk melakukan sesuatu secara teratur, seperti menabung. Namun ternyata seorang guru bisa merubah karakter burukku ini.

Beliau bernama Pak Rohman, guruku di SMP. Seorang yang dikenal sangat selektif menilai siswanya, sehingga tidak bisa dekat dengan semua siswa. Tapi ternyata, di balik selektivitas beliau ada hati yang peka terhadap permasalahan siswanya. Setelah pengumuman kelulusan SMP, beliau memanggilku. Awalnya aku bertanya-tanya, “Emang salah apa ya kok dipanggil? Kan udah lulus juga, ada apa sih?”. Lalu, karena nggak merasa bersalah aku pun menemui beliau, dan ternyata… beliau mengucapkan selamat atas kelulusanku dan memberiku uang! Ya, uang…besarnya hanya 250.000 rupiah.

“Ini hadiah kelulusan, Pak?”, tanyaku polos waktu itu.
“Bisa dianggap begitu, bisa juga bukan”, jawab beliau.
“Maksudnya apa, Pak?”, tanyaku lagi.
“Kalau kamu oportunis, maka uang itu jadi hadiah kelulusan. Tapi kalo kamu visioner, uang itu jadi biaya kuliah.”

Aku setengah nggak ngerti maksud guruku itu. Oportunis? Visioner? Apa pula itu? Ah tapi tadi aku dengar soal biaya kuliah. Tapi…tapi…tapi… kan cuma 250.000? Mana mungkin cukup???

“Gimana caranya bisa jadi biaya kuliah, Pak?”, akhirnya pertanyaan itu meluncur juga dari mulutku.
“Sedikit-sedikit, lama-lama jadi bukit”, jawab beliau sambil berlalu, meninggalkanku berpikir sendirian.

“Apa maksud Pak Rohman?”, pikirku seharian. Entah kenapa otakku jadi agak lemot saat itu. Sampai sore aku baru sadar kalau perkataan beliau itu adalah peribahasa yang berkaitan dengan: menabung!

Hah? Nabung? Aku kan agak kurang konsisten melakukan usaha rutinan begini? Ah, Pak Rohman ada-ada aja…  Dan saat itu juga aku baru sadar maksud dari oportunis dan visioner, dasar anak baru lulus SMP. 

Tapi mau gimana lagi, uang 250.000 itu sudah aku pegang, nggak mungkin aku kembalikan. Dan itu artinya beliau sedang menantangku. Ya, menantang untuk membuktikan bahwa aku bisa kuliah sekaligus bisa menabung! Membuktikan bahwa anak kampung juga bisa visioner!

Akhirnya, kemalasanku luluh juga, berganti tekad yang kuat. Aku temui ayah, menanyakan kesiapan dana untuk sekolah SMA. Kata ayah, “Tenang aja, ada insya Allah.”

Lalu aku tanyakan juga tentang biaya kuliah. Ayah menjawab dengan gamang, “Nanti ya, mungkin kalau ada rejeki.”

Aku tidak puas. Kutanyakan pada ayah berapa uang sakuku saat SMA nanti. Aku mau mulai mengatur keuangan. Memang sih selama ini aku nggak doyan jajan, tapi uang sakuku jadi habis juga buat beli majalah Bobo. Kalau gini terus sih, aku nggak akan bisa nabung, jadi aku harus merencanakan anggaran finansial sejak saat ini juga!

Kata ayahku, “Kamu kan mau lanjut sekolah di Madiun, ngekost aja biar hemat. Ayah sudah carikan tempat kost, sewa per bulannya 75.000. Uang sekolahmu per bulannya 75.000. Nanti sebulannya ayah kasih 350.000 buat uang sekolah, bayar kost, sama uang saku ya.”

Hff… “Iya, yah”, kataku pasrah. Dan aku memang nggak berniat menuntut lebih, tanggungan ayahku masih banyak dengan gaji pegawai pabrik gula waktu itu hanya 1,2 juta. Ibuku juga tidak punya penghasilan. Anggota keluarga kami ada  5 orang. Jadi sebenarnya, proporsi gaji ayah paling besar digunakan untuk biaya sekolahku, padahal adik-adikku juga butuh biaya sekolah.

Lalu aku pun memikirkan bagaimana caranya menabung dari uang saku segitu. Yup, untuk kebutuhan hidup per hari aku hanya boleh mengeluarkan total biaya kira-kira 6-7 ribu per hari. Mau makan apa? Kalau tiba-tiba pengen pulang atau perlu pergi agak jauh dari sekolah mau naik apa? Kalau butuh alat tulis? Fotokopi? Aaarrrggghhh…

Malangnya, di rumah kostku nggak ada tempat masak, jadi aku harus beli makanan. Mau minta dibelikan alat masak sama orang tua? Nggak ah, akunya juga nggak telaten masak. Akhirnya kuputuskan untuk nyari tempat makan termurah! Alhamdulillah… ternyata ada J

Warung makan ini buka tiap pagi, menjual nasi ditambah tahu dan tempe bumbu balado, harganya 1.500 rupiah. Nasinya agak keras dan kurang bagus, kadang agak apek tapi porsinya banyak. Aku bagi nasinya jadi dua bagian: untuk sarapan dan makan siang. Lauk sarapannya sepotong tempe, makan siangnya sepotong tahu, tanpa sayur. Baru malamnya aku nggak makan nasi lagi, hanya makan pecel sayur dan sepotong tempe goreng kecil seharga seribu rupiah. Aku pun jadi rajin puasa. Semua kebutuhan seperti sabun, pasta gigi, shampoo, dan lain-lain aku gunakan sehemat mungkin, aku beli alat tulis paling murah dan fotokopi dengan kertas buram. Aku nggak pernah ikut les apapun, semua mata pelajaran aku pelajari sendiri, buku-buku pun jarang beli karena sebenarnya di perpustakaan pun ada. Lalu dengan pasang muka tembok aku rajin jadi pengunjung perpustakaan untuk memperpanjang pinjaman. Haha… Pada akhirnya aku sadar hal-hal kecil seperti memperpanjang peminjaman buku pun membentuk kepribadianku menjadi seorang yang lebih telaten. Aku senang, dengan cara begitu setidaknya jatah uang untuk membeli buku-bukuku bisa dialihkan menjadi jatah untuk buku adik-adikku. Hahaha… Jujur aku cukup bangga karena ini. Maklum anak SMA, tetap punya sisi narsis.  Alhamdulillah, badanku cukup kuat menanggung gaya hidup semacam itu. Semasa SMA aku hanya pernah sekali sakit, itu pun demam dan radang tenggorokan saja.
Akhirnya aku bisa menabung sekitar 100.000 rupiah per bulan, kadang lebih, seringnya kurang. Aku lakukan rutin hingga lulus SMA. Alhamdulillah, prestasi belajarku di sekolah baik sehingga aku makin semangat ikut SPMB. Karena prestasi juga, aku tidak perlu mengeluarkan uang untuk tes SPMB. Sekolah memberikan banyak bantuan, mulai dari uang untuk membeli formulir, transportasi ke tempat ujian, akomodasi, semuanya... Alhamdulillah, aku semakin yakin memang ditakdirkan untuk ikut SPMB. Dan alasan memperjuangkan SPMB juga lah yang membuatku sama sekali tidak mendaftarkan diri ikut PMDK dari universitas manapun.

Alhamdulillah, pengumuman SPMB menyatakan aku lulus, masuk Departemen Ilmu & Teknologi Pangan IPB. Kabarnya, ini departemen paling bagu dan paling susah ditembus di IPB. Saat itu uang tabunganku sekitar tiga juta lebih sedikit. Aku lupa tepatnya. Biaya masuk kuliahku total sebesar 6,5 juta untuk setahun ke depan. Setelah setahun itu, aku hanya akan membayar uang SPP dan biaya SKS sekitar 1,2-1,4 juta per semester. Orang tuaku menyanggupi untuk membayar kekurangan tabunganku. Tapi aku melakukan hal lain: bernegosiasi dengan panitia registrasi, meminta keringanan untuk bisa membayar uang masuk dengan cara mencicil. Mereka pun setuju. Alhamdulillah, kekurangan biaya itu pun aku bayar dengan tabunganku.
Sejak resmi menjadi mahasiswa, hidupku nggak se-prihatin semasa SMA. Ekonomi keluarga mulai membaik karena ayah memutuskan keluar dari pabrik dan mengelola sawah sendiri. Hasil sawah kami cukup baik, alhamdulillah… Tapi aku tetap rajin menabung. Aku punya banyak celengan kaleng, dan aku juga mulai memanfaatkan rekening bank syariah, tidak hanya celengan. Semasa kuliah aku rajin mengikuti perlombaan, sebagian perlombaan menghasilkan uang dalam jumlah lumayan. Aku tabung juga untuk biaya kuliah. Meskipun demikian, aku masih sering minta orang tua untuk biaya hidup. Tapi setidaknya, aku jadi punya kebiasaan baik: telaten dan suka menabung. Orang tua pun senang hidupku ada perkembangan. Saat lulus, aku masih punya sisa tabungan beberapa ratus ribu yang kugunakan untuk membantu orang tua membiayai pernikahanku. Memang sedikit, tapi bagiku dan kedua orang tuaku ada nilai usaha yang besar J
Mungkin, kalau tidak pernah mengenal guru seperti Pak Rohman, aku tidak akan pernah punya kebiasaan menabung, mungkin aku akan tetap menjadi orang yang kurang konsisten dan malas. Mungkin, kalau bukan karena motivasi seharga 250.000, aku nggak akan terlalu menderita sewaktu SMA dulu, dan mungkin aku bukan sarjana sekarang, nggak pernah punya pengalaman manis pahitnya mengukir prestasi di kampus, nggak pernah ikut kompetisi, nggak pernah ngerti rasanya menang, rasanya kalah, nggak pernah bergabung dengan organisasi kemahasiswaan di berbagai level, nggak pernah ikut training dan seminar ini-itu, bahkan mungkin nggak punya kesempatan memanfaatkan ilmu untuk menjalankan berbagai program pemberdayaan masyarakat seperti sekarang.

Guruku hebat! Guruku pendidik sejati. Mei lalu, saat aku bertemu lagi dengan beliau, gayanya tetap sama. Tidak hangat, tetapi penuh pengertian, penuh bangga. Dan yang aku tahu, bukan cuma aku yang mendapat perlakuan serupa dari beliau. Beberapa kakak kelas dan adik kelas pun, benar-benar merasakan manfaat dari guru kami itu.

Guru, izinkan kami meneladanimu…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar