Rabu, 05 Desember 2012

"Saya" dan Energi Bersih



Sedari kecil, ayah mendidik saya dengan keras soal mematikan lampu di malam hari, pesan ayah klise, “Kalau lampu dinyalai terus, nanti bayar listriknya mahal. Kalau bayar listriknya mahal, anak ayah nanti uang jajannya berkurang”. Begitu juga soal air, di rumah kami menggunakan pompa air yang bekerja memanfaatkan energi listrik. Ayah berpesan, “Kalau ngisi bak mandi tapi nggak langsung kepakai, jangan kepenuhan, sayang nanti banyak air yang nguap. Kalo air udah jadi uap, perlu satu siklus lagi supaya bisa dipakai dalam bentuk air”. Begitu juga dengan TV, charger, dan lain-lain.

Nggak cuma soal energi listrik ternyata, ayah juga concern soal bahan bakar. Sewaktu SD, sewaktu isu minyak merupakan non-renewable energi belum santer, ayah sudah mengingatkan. Beliau sering bilang, “Ke sekolahnya jalan kaki aja, nggak usah dianter pake motor”, atau, “Naik sepeda aja, lebih sehat, nggak bikin tetanggamu terganggu asap knalpot atau suara bising.”

Kebiasaan yang diterapkan ayah pada anak-anaknya sedari kecil ini membentuk karakter saya sehingga saya sangat berusaha efisien energi. Gaya hidup yang diajarkan ayah saya terapkan hngga sekarang, saya tularkan ke teman-teman, terutama di rumah kost. Setelah menikah, suami saya pun tertular. Dia yang nggak masalah tidur dengan lampu menyala, sekarang mulai aware soal ini, dan sebagainya.

Tahun 2009 lalu, saya berhasil mengkampanyekan konservasi energi di kampus, bahkan berhasil melakukan advokasi sehingga untuk pertama kalinya IPB berpartisipasi dalam Earth Hour, yang kemudian berjalan setiap tahun. Saat kuliah di Bogor, saat bepergian dalam kota saya lebih suka menggunakan Trans Pakuan yang berbahan bakar biodiesel dibandingkan angkot. Di Jakarta, saya lebih suka naik Trans Jakarta yang memanfaatkan bahan bakar gas dibandingkan naik kendaraan sendiri meskipun seringkali harus berdiri. Saat naik mobil pun saya selalu berusaha beramai-ramai supaya lebih hemat bahan bakar.

Kebayang, memang di kota-kota besar sepertinya penjualan dan pembelian mobil tidak dapat dibendung. Iya lah, mobil kan bermanfaat banget biar tetep nyaman di jalan, nggak kehujanan pas hujan turun, dan nggak kepanasan di siang bolong nan terik. Sayangnya, masih sering pengguna mobil-mobil ini berkendara sendiri atau hanya berdua di dalam mobil yang kapasitasnya bisa delapan orang. Macet jadi salah satu akibat dari hal ini. And, what’s next? Macet secara langsung mengakibatkan energi terbuang percuma lho, bro and sist! Saya bermimpi, suatu saat ada mobil yang dirancang memang bukan sebagai mobil keluarga, tapi mobil individu atau mobil untuk couple J. Setidaknya ukuran mobil-mobil ini bisa lebih mungil dan jika digunakan secara massal, akan berdampak signifikan untuk mengurangi waktu yang dibutuhkan di jalan akibat macet. Apalagi kalau mobil-mobil ini menggunakan bahan bakar energi alternatif. Ah, pada siapa saya bisa bicara soal ide ini ya?

Kembali bicara soal energi alternatif, saya pun aktif mengkaji suber-sumber energi alternatif, dari biodiesel, bioetanol, gas, mikro hidro, hingga angin dan tenaga surya, meskipun bukan termasuk bidang keilmuan saya. Beberapa kajian dalam optimasi proses produksi bioetanol bahkan sempat menjadi paper yang diapresiasi para ilmuwan internasional. Saat ini pun saya masih menjadi kontributor rubrik Energi Baru Terbarukan di Majalah Global Energi, salah satu majalah yang fokus terhadap perkembangan berita seputar energi di Indonesia dan di dunia. Berita yang saya tulis meliputi inovasi EBT di seluruh dunia, dan itu membuat saya semakin terinspirasi. Kapan ya Indonesia punya fokus untuk pengembangan salah satu moda energi bersih? Lalu saya mulai berbicara pada orang-orang yang lebih berkapasitas di bidang itu, di BUMN, di lembaga-lembaga penelitian (kampus, balitbang, puspiptek), dsb. Dan dari beberapa hasil diskusi saya menyadari bahwa kita, Indonesia, tidak jalan di tempat, tapi sedang berproses dalam bidang energi bersih. Profesi ini pun semakin menggugah ketertarikan saya untuk belajar tentang ketahanan energi (energi security) di kampus pertahanan Indonesia. Saya memang bercita-cita, suatu hari akan mendirikan NGO di bidang ketahanan pangan berbasis pangan lokal dan ketahanan energi berbasis energi bersih.

Sembari menulis, saya pun menyempatkan diri untuk mengembangkan inovasi berbasis sampah organik. Sejak tahun 2009, saya aktif memperkenalkan inovasi bernama eco-enzyme ini di Indonesia. Sejak awal diperkenalkan, produk ini baru dikenal sebagai produk daur ulang sampah organik yang memiliki manfaat sebagai pupuk cair yang secara spesifik mampu meningkatkan hormon pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Sekitar setahun belakangan, saya mulai menyadari potensi lain dari eco-enzyme ini yaitu sebagai sumber alternatif biogas yang terbentuk selama proses fermentasinya. Bahkan melihat banyaknya sampah organik di dunia, boleh kan kita menyatakan bahwa sangat mungkin menjadikan sampah organik sebagai sumber utama biogas dunia? Soal pengelolaannya dan lain-lain, ayo mulai kita pikirkan! Kalau yang ada di benak saya sih, awalnya program ini bergerak dari skala komunitas sebagai pilot project. Mulai dari satu komunitas yang bergerak di spot-spot strategis atau bahkan kompleks perumahan (konsep komunitasnya sudah pernah saya rumuskan lho di sebuah tulisan yang masih tersimpan di dalam folder pribadi), lalu berekspansi ke satu kelurahan, satu kecamatan, satu kota, hingga berhasil membuat wajah Indonesia menjadi lebih ceria. Asal konsisten dan nggak gampang putus asa, dalam jangka panjang kita bisa kok...

Eh, btw, kok dari tadi ceritanya soal saya terus ya? Nggak maksud nyombong kok, cuma kepikir aja kalo perubahan positif untuk “kita” dan “dunia” memang sangat logis jika diawala dari “saya” dan “anda”. Hidup adalah pilihan, bukan? Dunia global sedang berlomba-lomba dalam proyek energi bersih masing-masing. Di mana posisi kita dalam perlombaan itu? Sebagai orang yang apatis, sekadar penonton, atau ikut berperan entah sebagai pengamat, komentator, sponsor, coach, tim manajemen, supporter, atau bahkan pemain? “Saya” berusaha ambil bagian yang bisa diambil dalam perlombaan ini. Saya bercita-cita menjadi pemain inti sekaligus coach suatu saat nanti, meskipun saat ini posisi saya baru sekadar pengamat dan supporter.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar