Sabtu, 28 Agustus 2010

Anak itu bernama Asep

Usianya kini baru 18 tahun, namun apa yang dia lakukan mungkin sudah jauh lebih banyak dibandingkan kita yang usianya sudah berkepala dua.

“Putra asli Bandung”, begitu ia menyebutkan identitasnya. Tapi, bukan unsur kedaerahan yang ingin saya bahas di sini. Hanya ingin berbagi tentang apa yang telah dia lakukan untuk orang-orang di sekitarnya.
Asep tinggal di daerah Dago, yang terkenal dengan tempat wisata dan pusat perbelanjaannya. Saya sendiri sebenarnya belum pernah menyambangi daerah ini karena memang jarang sekali ke Bandung untuk sekadar jalan-jalan. Namun begitulah image Dago yang saya kenal sekarang. Sepertinya jauh berbeda dengan imajinasi masa lalu saya yang membayangkan keindahan alami Dago ketika membaca novel Layar Terkembang.

Oke, kembali ke Asep.
Remaja ini sungguh mengagumkan menurut saya. Ia dilahirkan di keluarga pengrajin kulit. Kerajinan kulit Cibaduyut memang terkenal ke seantero negeri, bahkan sampai ke luar negeri. Namun ternyata virus mafia-isme memang menginfeksi masyarakat di berbagai kalangan, tak terkecuali di kalangan pengrajin kulit Cibaduyut. Pengrajin seperti orang tua Asep, yang hanya berstatus pekerja, tetap tak kunjung membaik nasibnya. Uang mengalir untuk para beruang, yang bukan beruang harus puas menerima keadaan.
Akibat kondisi inilah, sejak berumur 7 tahun Asep sudah harus bekerja membantu orang tuanya, menjadi pengrajin kulit. Coba ingat-ingat lagi apa yang kita lakukan di usia 7 tahun! Rasanya kita belum mengenal arti mencari uang. Sekolah Asep dan saudara-saudaranya pun terhenti. Ditambah lagi, kedua orang tuanya bercerai.
Untungnya keadaan ini tak berlangsung lama sebab kala itu kehidupan para pekerja anak-anak di Dago mendapat perhatian dari pemerintah. Melalui program pemerintah yang bekerja sama dengan ILO, didirikanlah sanggar kreativitas untuk mengakomodasi kebutuhan akan pendidikan bagi anak-anak pengrajin dan pengrajin anak-anak di daerah tersebut. Asep yang tak pernah kehilangan semangat belajar, amat senang akan hal ini.
Tahun berganti, kepribadian Asep yang lurus semakin berkembang. Ia tak pernah patah arang untuk kembali sekolah. Begitu inginnya ia menjadi ahli keteknikan, tak peduli teknik apapun. Keinginan yang kuat inilah yang pada suatu waktu membuatnya bisa kembali ke sekolah formal, melanjutkan mimpinya yang sempat tertunda. Meskipun demikian, bukan berarti ia bisa berhenti dari pekerjaan sebagai pengrajin kulit.
Asep tak hanya melihat kondisi dirinya, ia pun melihat kondisi di sekitarnya: para pengrajin kulit yang tetap miskin, ia dan teman-temannya yang harus ikut bekerja mencukupi kebutuhan hidup… Betapa jauhnya dengan kondisi anak-anak kaum borjuis ibukota. Status proletarian tidak membuatnya menyalahkan keadaan. Ia tahu, pemerataan ekonomi memang masih menjadi masalah besar bangsa ini. Ia pun tidak terlalu menuntut hal itu segera teratasi dalam waktu cepat. Ia faham dan yakin, setiap perubahan butuh waktu. Tapi ada satu hal yang ia ingin setiap orang memilikinya, tak peduli bagaimanapun kondisi mereka, perhatian…
Orang tua Asep bercerai, perhatian yang ia dapat tak lagi utuh, tentunya ini bukan pengalaman yang menyenangkan dalam hidupnya. Ia tak ingin anak-anak lain merasakan kurangnya perhatian. Ia… ingin membagi perhatian kepada setiap orang yang ditemuinya.
“Hidup hanya sekali teh”, begitu kata dia kepada saya. “Makanya harus memberi manfaat sebanyak-banyaknya manfaat pada orang lain. Kan katanya orang yang paling baik tu yang paling bermanfaat bagi orang lain? Ya kan teh?”
“Anak ini berhati mulia”, pikir saya.
Saya bertemu Asep pada suatu acara penganugerahan untuk peran pemuda. Saat itu, ia menjadi salah satu narasumber yang mengisi acara. Hebat! Di usia semuda itu dia duduk di panggung besar, di depan ratusan penonton dan puluhan wartawan!
Ia mengawali sesinya dengan memutar sebuah film pendek dengan backsound OST Laskar Pelangi, by Nidji. Film itu menayangkan kilasan-kilasan episode anak-anak di Kota Bandung. Subhanallah… mereka bukan anak-anak biasa. Mereka… diffable.
Ya, itulah yang dilakukan Asep. Sederhana. Ia hanya memberi perhatian kepada anak-anak diffable di Kota Bandung.
Diffable sendiri adalah terminologi singkat untuk different ability, rasanya kita semua tahu apa maksudnya. Ada beberapa tingkatan dan kategori diffable, saya tidak hafal. Satu hal yang pasti, perlu perhatian sepenuh hati dan kesabaran yang luar biasa untuk merawat mereka. Dan Asep telah membuktikan ia mampu memberikan itu semua, bahkan di kala orang tua anak-anak difdable itu sudah tak lagi peduli.
“Sudahlah Asep, bawa saja si A pergi! Ajak kemana saja terserah kamu! Daripada dia Cuma di rumah nggak bias ngapa-ngapain, malah menyusahkan orang saja!” begitu ungkapan yang sering diterima Asep dari orang tua teman-teman diffablenya. Ironis! Hmm… selayaknya kita bersyukur memiliki orang tua yang selalu menerima kita apa adanya.
Asep tidak banyak mengajari anak-anak diffable ini. Ia hanya mengaktualisasikan peran dan bakat mereka, mengajak mereka menikmati hal-hal yang sepertinya tidak mungkin dilakukan.
Anak-anak diffable itu pun mulai tumbuh dengan menunjukkan berbagai bakat: menulis, menggambar, membuat aneka barang bernilai seni, merangkai bunga, dan lain-lain. Menurut Asep, hal yang paling penting untuk diajarkan kepada teman-teman diffablenya adalah nilai-nilai agama, karena dengan nilai-nilai agama ia bisa bertahan dalam kondisi terburuk sekalipun. Ia yakin, dengan nilai-nilai agama pula teman-temannya akan bertahan. Kesabaran, kesyukuran, optimisme, pantang menyerah, tidak pernah mengutuk keadaan, yakin akan ketercapaian visi masa depan walau dalam kondisi yang buruk… semua nilai-nilai ini sungguh terasa ketika berinteraksi dengan Asep dan teman-teman diffablenya.
Pernah suatu ketika, Asep mengajak teman-temannya ini nonton film Laskar Pelangi di salah satu bioskop mall di Bandung. Tentu saja teman-temannya sangat senang. Mereka belum pernah nonton! Mall dan bioskop sama sekali asing bagi mereka. Mereka pergi bersama dengan menyewa angkot. Alhamdulillah, sampai di mall tanpa halangan berarti. Masalah timbul karena ternyata bioskop berada di lantai paling atas. Beberapa teman Asep diffable fisik, kaki mereka tidak dapat digunakan untuk berjalan…
Asep tidak peduli, setelah mengantar teman-teman yang bias berjalan untuk naik dan mengantri tiket, ia menggendong teman-temannya ke lantai paling atas mall itu! Artinya, dia juga akan menggendong teman-temannya waktu turun nanti! Sampai di sini…saya speechless…
Asep, anak yang menginspirasi. Dia mengajarkan banyak hal. Meskipun belum tentu bisa bertemu lagi, anak ini membuat saya seringkali kelu untuk menceritakan kembali kisahnya.
Pernah juga ia dan teman-teman diffablenya ikut bekerja bakti membersihkan jalanan Kota Bandung, menyebarkan bunga dan pamphlet kampanye mencegah HIV AIDS pada hari AIDS sedunia, dan sebagainya. Beruntung, saat ini banyak pihak peduli pada mereka, meskipun pada mulanya sangat sulit untuk membangun kerjasama dengan pihak lain.
Belajar dari Asep dan teman-teman diffablenya, ayo member manfaat sebanyak-banyaknya untuk orang lain, minimal orang-orang dan lingkungan sekitar kita, diawali dengan niat yang ikhlas, hati yang penuh rasa syukur dan kesabaran, optimis, pantang menyerah, tidak mengutuki keadaan, dan yakin akan ketercapaian visi masa depan, tidak hanya visi di dunia, tapi juga visi untuk eternal life nanti.
Salam hangat dari yang ingin senantiasa berbagi.
Wallahu’alam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar