Usianya kini baru 18 tahun, namun apa yang dia lakukan mungkin sudah  jauh lebih banyak dibandingkan kita yang usianya sudah berkepala dua. 
“Putra asli Bandung”, begitu ia menyebutkan identitasnya. Tapi, bukan  unsur kedaerahan yang ingin saya bahas di sini. Hanya ingin berbagi  tentang apa yang telah dia lakukan untuk orang-orang di sekitarnya. 
Asep tinggal di daerah Dago, yang terkenal dengan tempat wisata dan  pusat perbelanjaannya. Saya sendiri sebenarnya belum pernah menyambangi  daerah ini karena memang jarang sekali ke Bandung untuk sekadar  jalan-jalan. Namun begitulah image Dago yang saya kenal sekarang.  Sepertinya jauh berbeda dengan imajinasi masa lalu saya yang  membayangkan keindahan alami Dago ketika membaca novel Layar Terkembang.
Oke, kembali ke Asep.
Remaja ini sungguh mengagumkan menurut saya. Ia dilahirkan di keluarga  pengrajin kulit. Kerajinan kulit Cibaduyut memang terkenal ke seantero  negeri, bahkan sampai ke luar negeri. Namun ternyata virus mafia-isme  memang menginfeksi masyarakat di berbagai kalangan, tak terkecuali di  kalangan pengrajin kulit Cibaduyut. Pengrajin seperti orang tua Asep,  yang hanya berstatus pekerja, tetap tak kunjung membaik nasibnya. Uang  mengalir untuk para beruang, yang bukan beruang harus puas menerima  keadaan. 
Akibat kondisi inilah, sejak berumur 7 tahun Asep sudah harus bekerja  membantu orang tuanya, menjadi pengrajin kulit. Coba ingat-ingat lagi  apa yang kita lakukan di usia 7 tahun! Rasanya kita belum mengenal arti  mencari uang. Sekolah Asep dan saudara-saudaranya pun terhenti. Ditambah  lagi, kedua orang tuanya bercerai.  
Untungnya keadaan ini tak berlangsung lama sebab kala itu kehidupan para  pekerja anak-anak di Dago mendapat perhatian dari pemerintah. Melalui  program pemerintah yang bekerja sama dengan ILO, didirikanlah sanggar  kreativitas untuk mengakomodasi kebutuhan akan pendidikan bagi anak-anak  pengrajin dan pengrajin anak-anak di daerah tersebut. Asep yang tak  pernah kehilangan semangat belajar, amat senang akan hal ini.
Tahun berganti, kepribadian Asep yang lurus semakin berkembang. Ia tak  pernah patah arang untuk kembali sekolah. Begitu inginnya ia menjadi  ahli keteknikan, tak peduli teknik apapun. Keinginan yang kuat inilah  yang pada suatu waktu membuatnya bisa kembali ke sekolah formal,  melanjutkan mimpinya yang sempat tertunda. Meskipun demikian, bukan  berarti ia bisa berhenti dari pekerjaan sebagai pengrajin kulit.
Asep tak hanya melihat kondisi dirinya, ia pun melihat kondisi di  sekitarnya: para pengrajin kulit yang tetap miskin, ia dan  teman-temannya yang harus ikut bekerja mencukupi kebutuhan hidup…   Betapa jauhnya dengan kondisi anak-anak kaum borjuis ibukota. Status  proletarian tidak membuatnya menyalahkan keadaan. Ia tahu, pemerataan  ekonomi memang masih menjadi masalah besar bangsa ini. Ia pun tidak  terlalu menuntut hal itu segera teratasi dalam waktu cepat. Ia faham dan  yakin, setiap perubahan butuh waktu. Tapi ada satu hal yang ia ingin  setiap orang memilikinya, tak peduli bagaimanapun kondisi mereka,  perhatian…
Orang tua Asep bercerai, perhatian yang ia dapat tak lagi utuh, tentunya  ini bukan pengalaman yang menyenangkan dalam hidupnya. Ia tak ingin  anak-anak lain merasakan kurangnya perhatian. Ia… ingin membagi  perhatian kepada setiap orang yang ditemuinya.
“Hidup hanya sekali teh”, begitu kata dia kepada saya. “Makanya harus  memberi manfaat sebanyak-banyaknya manfaat pada orang lain. Kan katanya  orang yang paling baik tu yang paling bermanfaat bagi orang lain? Ya kan  teh?”
“Anak ini berhati mulia”, pikir saya.
Saya bertemu Asep pada suatu acara penganugerahan untuk peran pemuda.  Saat itu, ia menjadi salah satu narasumber yang mengisi acara. Hebat! Di  usia semuda itu dia duduk di panggung besar, di depan ratusan penonton  dan puluhan wartawan! 
Ia mengawali sesinya dengan memutar sebuah film pendek dengan backsound  OST Laskar Pelangi, by Nidji. Film itu menayangkan kilasan-kilasan  episode anak-anak di Kota Bandung. Subhanallah… mereka bukan anak-anak  biasa. Mereka… diffable.
Ya, itulah yang dilakukan Asep. Sederhana. Ia hanya memberi perhatian kepada anak-anak diffable di Kota Bandung. 
Diffable sendiri adalah terminologi singkat untuk different ability,  rasanya kita semua tahu apa maksudnya. Ada beberapa tingkatan dan  kategori diffable, saya tidak hafal. Satu hal yang pasti, perlu  perhatian sepenuh hati dan kesabaran yang luar biasa untuk merawat  mereka. Dan Asep telah membuktikan ia mampu memberikan itu semua, bahkan  di kala orang tua anak-anak difdable itu sudah tak lagi peduli.
“Sudahlah Asep, bawa saja si A pergi! Ajak kemana saja terserah kamu!  Daripada dia Cuma di rumah nggak bias ngapa-ngapain, malah menyusahkan  orang saja!” begitu ungkapan yang sering diterima Asep dari orang tua  teman-teman diffablenya. Ironis! Hmm… selayaknya kita bersyukur memiliki  orang tua yang selalu menerima kita apa adanya.
Asep tidak banyak mengajari anak-anak diffable ini. Ia hanya  mengaktualisasikan peran dan bakat mereka, mengajak mereka menikmati  hal-hal yang sepertinya tidak mungkin dilakukan. 
Anak-anak diffable itu pun mulai tumbuh dengan menunjukkan berbagai  bakat: menulis, menggambar, membuat aneka barang bernilai seni,  merangkai bunga, dan lain-lain. Menurut Asep, hal yang paling penting  untuk diajarkan kepada teman-teman diffablenya adalah nilai-nilai agama,  karena dengan nilai-nilai agama ia  bisa bertahan dalam kondisi  terburuk sekalipun. Ia yakin, dengan nilai-nilai agama pula  teman-temannya akan bertahan. Kesabaran, kesyukuran, optimisme, pantang  menyerah, tidak pernah mengutuk keadaan, yakin akan ketercapaian visi  masa depan walau dalam kondisi yang buruk… semua nilai-nilai ini sungguh  terasa ketika berinteraksi dengan Asep dan teman-teman diffablenya.
Pernah suatu ketika, Asep mengajak teman-temannya ini nonton film Laskar  Pelangi di salah satu bioskop mall di Bandung. Tentu saja  teman-temannya sangat senang. Mereka belum pernah nonton! Mall dan  bioskop sama sekali asing bagi mereka. Mereka pergi bersama dengan  menyewa angkot. Alhamdulillah, sampai di mall tanpa halangan berarti.  Masalah timbul karena ternyata bioskop berada di lantai paling atas.  Beberapa teman Asep diffable fisik, kaki mereka tidak dapat digunakan  untuk berjalan…
Asep tidak peduli, setelah mengantar teman-teman yang bias berjalan  untuk naik dan mengantri tiket, ia menggendong teman-temannya ke lantai  paling atas mall itu! Artinya, dia juga akan menggendong teman-temannya  waktu turun nanti! Sampai di sini…saya speechless…
Asep, anak yang menginspirasi. Dia mengajarkan banyak hal. Meskipun  belum tentu bisa bertemu lagi, anak ini membuat saya seringkali kelu  untuk menceritakan kembali kisahnya.
Pernah juga ia dan teman-teman diffablenya ikut bekerja bakti  membersihkan jalanan Kota Bandung, menyebarkan bunga dan pamphlet  kampanye mencegah HIV AIDS pada hari AIDS sedunia, dan sebagainya.  Beruntung, saat ini banyak pihak peduli pada mereka, meskipun pada  mulanya sangat sulit untuk membangun kerjasama dengan pihak lain.
Belajar dari Asep dan teman-teman diffablenya, ayo member manfaat  sebanyak-banyaknya untuk orang lain, minimal orang-orang dan lingkungan  sekitar kita, diawali dengan niat yang ikhlas, hati yang penuh rasa  syukur dan kesabaran, optimis, pantang menyerah, tidak mengutuki  keadaan, dan yakin akan ketercapaian visi masa depan, tidak hanya visi  di dunia, tapi juga visi untuk eternal life nanti.
Salam hangat dari yang ingin senantiasa berbagi.
Wallahu’alam
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar