Istilah pembangunan berkelanjutan atau yang secara internasional dikenal dengan sebutan sustainable development ini sendiri sebenarnya sudah muncul sajak tahun 1980 dalam World Conservation Strategy yang diterbitkan oleh United Nations Environment Programme (UNEP), International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN), dan World Wide Fund for Nature (WWF). Namun, istilah ini baru populer pada tahun 1987 melaui laporan Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (World Commission on Environment and Development - WCED) berjudul Our Common Future.  Dalam laporan ini, pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai  pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi  kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri.  Pembangunan berkelanjutan meiliki tiga pilar penyokong yang saling  bersinergi, yaitu pembangunan ekonomi, pembangunan sosial, dan  perlindungan lingkungan. Secara sederhana, irisan dari ketiga pilar  tersebut divisualisasikan sebagai berikut,
Gambar Konsep Pembangunan Berkelanjutan
            Salah  satu teori yang mendorong lahirnya konsep pembangunan berkelanjutan  adalah teori Robert Malthus yang menyatakan bahwa pertumbuhan produksi  pangan mengikuti deret hitung sedangkan pertumbuhan populasi manusia  mengikuti deret ukur (Hart, 1978). Artinya, di dalam konsep ini ada dua  aspek yang menjadi poin penting. Pertama, aspek kebutuhan manusia yang  tidak terbatas dan perlu dipenuhi. Kedua, aspek keterbatasan, yaitu  terbatasnya jumlah sumber daya alam yang tersedia di Bumi untuk memenuhi  kebutuhan manusia. Secara logika, dengan asumsi ceteris paribus,  teori tersebut benar. Namun pada kenyataanya, banyak faktor yang  membuat teori tersebut tidak terbukti, paling tidak hingga saat ini.
            Pembangunan  berkelanjutan ditengarai sebagai langkah preventif yang paling efektif  untuk menjembatani antara kebutuhan manusia dan keterbatasan sumber daya  alam di Bumi ini. Dalam kasus ketersediaan supply pangan  misalnya, konsep pembangunan berkelajutan yang juga memperhatikan aspek  ekologis dan lingkungan tentunya akan lebih menjamin sustainabilitas  ketersediaan pangan bagi penduduk dunia. Pangan yang kita konsumsi  sehari-hari, sebagian besar merupakan sumber daya hayati dan air hasil  pertanian yang diberikan oleh alam. Jika kondisi alam baik, maka  kualitas sumber bahan pangan yang dihasilkan pun baik. Lebih dari itu,  kuantitas hasil panen pun dapat mencukupi kebutuhan manusia secara  berkesinambungan, dan sebaliknya. Hal ini sangat sesuai dengan pepatah  yang mengatakan, “What could be good for the environment could be good for us too”.
            Berbagai  macam faktor disadari menjadi penghambat terwujudnya teori Malthus di  atas. Wabah penyakit, perang, bencana alam, perkembangan alat  kontasepsi, dan faktor-faktor kematian lain secara langsung turut  berperan mengendalikan jumlah penduduk dunia. Namun, tentunya  faktor-faktor di atas merupakan parameter yang sebenarnya tidak kita  harapkan dan hasilnya pun sulit diukur, apalagi dikontrol. Oleh karena  itu, perlu adanya suatu proses optimasi lain yang tidak menekankan pada  sisi pengendalian jumlah manusia, tetapi pada optimasi pemanfaatan  sumber daya pangan yang ada untuk menjamin ketersediaan supply  pangan bagi masyarakat. Salah satu faktor yang menunjang hal ini adalah  implementasi ilmu dan teknologi pangan dalam mengolah sumber daya pangan  yang dihasilkan oleh alam.
            Pangan  merupakan salah satu indikator kualitas hidup manusia. Ketersediaan  pangan bukan hanya tentang kuantitas yang melimpah, tetapi juga  kemudahan akses mendapatkannya yang ditunjang oleh pendistribusian yang  merata bagi seluruh masyarakat dunia. Istilah ini dikenal dengan “food for everyone”.  Hal ini sesuai dengan salah satu aspek yang terkandung dalam konsep  pambangunan berkelanjutan, yaitu aspek kebutuhan. Tak dapat dipungkiri,  pangan merupakan salah satu kebutuhan dan hak asasi manusia. Oleh karena  itu, tersedianya pangan sudah selayaknya sejalan dengan pembangunan  yang dilakukan. 
            Terkait  dengan teori Malthus yang telah disinggung di atas, permasalahan  ketersediaan pangan yang tidak hanya cukup jumlahnya tetapi juga merata  penyebarannya menjadi sangat kritikal untuk dibahas. Tentu saja  pembahasan yang dilakukan bukan hanya untuk mengidentifikasi kasus  ketersediaan pangan dunia saja, tetapi juga merumuskan solusi untuk  memecahkan permasalahan tersebut.
            Pembangunan  nasional yang dikatakan sebagai jembatan antara kebutuhan manusia  dengan keterbatasan sumber daya alam tentu saja tidak dapat berjalan  selama masih menjadi sekadar konsep. Terdapat berbagai macam tools  yang dapat digunakan untuk memperkokoh jembatan itu, salah satunya  adalah aplikasi teknologi, termasuk teknologi pangan di dalamnya.
            Melalui  pemanfaatan teknologi pangan, bahan baku yang digunakan untuk proses  pengolahan pangan dapat dimanfaatkan seefektif dan seefisien mungkin,  apalagi jika melalui tahap optimasi proses, maka loss product  yang terjadi dapat diminimalkan. Lebih dari itu, ide pengembangan dan  inovasi produk pangan baru terus berjalan dari waktu ke waktu sehingga  produk pangan yang beredar di pasar saat ini beraneka ragam jenisnya  untuk memenuhi selera konsumen. Perlu disadari, permasalahan  ketersediaan pangan juga terkait erat dengan selera konsumen.  Pengembangan aneka ragam produk pangan dengan berbagai macam bahan baku,  bentuk, proses, dan cita rasa tentu akan mendukung tersedianya pangan  yang convenience. Implementasi teknologi pangan sudah seharusnya berdasarkan ilmu-ilmu terkait pangan yang komprehensif.  Oleh  karena itu, pengetahuan tentang ilmu pangan mutlak diperlukan sebelum  suatu produk pangan diproses dengan teknologi dalam skala besar. 
            Pembangunan  berkelanjutan yang berwawasan lingkungan juga membantu menjamin  kualitas yang baik dari produk pangan hasil pertanian yang notabene  berasal dari alam. Barangkali kita sering mendengar bahwa Bumi ini  beserta seluruh sumber daya di dalamnya bukanlah warisan dari nenek  moyang kita, melainkan titipan dari generasi masa depan dan harus dijaga  kelestariannya. Kalimat ini mengandung makna bahwa generasi masa depan  juga berhak mengenal Bumi yang hijau untuk dikelola kelak. Tentu saja  hal ini hanya dapat terjadi jika generasi sekarang ikut menjaga  kelestarian Bumi dari tanda-tanda kerusakan yang telah banyak muncul.
            Nilai-nilai  kearifan lokal masyarakat merupakan poin penting yang harus dimunculkan  untuk menjaga kelestarian lingkungan dalam kerangka pembangunan  berkelanjutan. Kearifan lokal inipun diejawantahkan dalam pemanfaatan produk pangan hasil pertanian yang bersifat lokal atau indigenous  di daerah masing-masing. Pemanfaatan sumber pangan lokal ini dalam  jangka panjang memiliki perspektif industrialisasi untuk meningkatkan  nilai tambah produk dan menjamin ketersediaan pangan. Dalam hal ini,  kelestarian lingkungan dan sustainabilitas ekosistem sangat berperan  sebagai salah satu faktor alami yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas  produk pangan hasil pertanian. Artinya, terdapat sinergi yang nyata  antara pangan dan lingkungan.
            Industrialisasi  produk pangan melalui pemanfaatan ilmu dan teknologi, berikutnya akan  memegang peranan penting dalam mewujudkan sustainabilitas ekonomi.  Tumbuh kembang industri akan menyerap tenaga kerja dari suatu segara  sehingga dapat mengurangi jumlah pengangguran dan meningkatkan kualitas  hidup masyarakat. Pada tahun 2009 saja, ketika terjadi krisis global,  pertumbuhan industri pangan dan minuman di Indonesia justru meningkat  sebesar 13,31%. Pada tahun 2010, pertumbuhan industri di Indonesia  secara keseluruhan ditargetkan sebesar 4,65%.  Industrialisasi juga berperan meningkatkan nilai tambah dari bahan baku  yang diproses, sehingga dalam perspektif yang lebih luas, diharapkan  dapat meningkatkan harkat hidup semua pihak terkait, seperti: petani,  pedagang, pemasok, dan distributor. Dalam jangka panjang, jika produk  pangan hasil industrialisasi tidak hanya dipasarkan di dalam negeri  tetapi juga diekspor, maka devisa negara pun akan meningkat, ditambah  lagi dengan pajak industri yang juga sangat membantu peningkatan  pendapatan negara. Ini merupakan bentuk sinergi antara pangan dengan  kehidupan ekonomi.
            Ditinjau  dari segi sosial, pangan merupakan hak yang asasi bagi tiap manusia.  Industrialisasi pangan ini hendaknya dapat mengakomodasi kebutuhan dan  hak individu akan pangan. Terpenuhinya hak manusia untuk memperoleh  pangan yang aman dan nyaman menjadi bentuk sinergi antara pangan dengan  pembangunan sosial, terutama jika masyarakat dalam suatu negara masih  menganggap bahwa produktivitas kerja mereka akan sebanding dengan pangan  yang mereka konsumsi.
            Indikator  keberhasilan pembangunan berkelanjutan sendiri, jika dilihat dari  perspektif pangan, sampai saat ini masih cukup sulit diproyeksikan.  Harus diakui bahwa kesadaran masyarakat terhadap kelestarian lingkungan  dan sustainabilitas ekosistem mengalami peningkatan yang cukup  menggembirakan. Hal ini dapat dilihat dari semakin maraknya aksi nyata  peduli lingkungan yang dilakukan oleh banyak pihak. Namun apakah  tindakan kuratif ini cukup membawa dampak yang signifikan terhadap  perbaikan lingungan yang terlanjur mengalami deplesi parah ini? Jawaban  dari pertanyaan tersebut masih bersifat spekulatif.
            Selain  kesadaran akan hak-hak lingkungan, kesadaran atas hak pemenuhan  kebutuhan akan pangan pun mulai meningkat. Berbagai macam program  pemerintah dicanangkan di banyak negara untuk menjamin supply raw materials  sumber pangan. Mulai dari revitalisasi pertanian, optimasi pemanfaatan  bahan pangan lokal, sampai program diversifikasi pangan ditujukan untuk  mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Efek langsung yang dapat dilihat  adalah semakin berkembangnya industri pangan di setiap negara. Banyak  industri pangan yang kini memiiki program Corporate Social Responsibility  (CSR) yang berwawasan sosial dan lingkungan. Meskipun efek yang  dihasilkan belum diukur, dalam jangka panjang hal ini diprediksikan  dapat turut mendorong terwujudnya konsep pembangunan berkelanjutan.
            Saat  ini, efek dari aplikasi konsep pembangunan berkelanjutan memang baru  dapat dilihat secara kualitatif, bahkan baru pada beberapa tempat  tertentu dan belum merata penyebarannya. Secara kuantitatif, hasil yang  diharapkan belum dapat terukur dengan angka, sehingga kesesuaian hasil  pencapaian belum dapat dibandingkan dengan key performance indicator  yang dirumuskan oleh para konseptor pembangunan berkelanjutan. Namun  dalam jangka panjang, konsep ini dirasa paling tepat untuk menjalankan  pembangunan dengan tetap memperhatikan aspek-aspek lain di luar hal-hal  yang bersifat fisik dan material semata.

 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar