Sabtu, 28 Agustus 2010

Gadis Kecil dan Es Krim

Gadis yang akan saya ceritakan kali ini bukan gadis biasa… karena dia… Ah, dia adalah gadis kecil yang sering disebut pengemis dan dipanggil peminta-minta. Gadis ini seperti sebuah episode klise dalam perjalanan retrospektif ingatan saya. Sudah cukup lama, sewaktu masih SMA.

Suatu siang di tengah kota…

Entah apa tepatnya yang membuat kaki saya menyusuri trotoar pinggir jalan utama kota itu. Kota yang sangat saya fahami seluk beluknya dan selalu saya sebut sebagai “hometown” meskipun saya tidak pernah benar-benar tinggal di sana kecuali selama tiga tahun nge-kost sewaktu SMA.

Matahari bersinar cukup terik hari itu, namun saya masih menikmati suasana jalan utama yang kian ramai, Jalan kaki selalu menjadi kenikmatan tersendiri sebab hanya orang-orang yang dikaruniai kesempatan untuk menikmati waktu saja yang sempat berjalan kaki. Bersama seorang teman, nekat iseng jalan kaki di tengah kota. Alasannya: ingin mengamati lebih detil jalan utama kota kami, siapa tau ada fenomena yang seringkali terlewatkan. Waktu itu menjelang kelulusan, jadi kami pikir, mengapa tidak menikmati kota ini sebisa mungkin sebelum pergi jauh? Fyi, temen saya ini orangnya hobi mengkritisi bayak hal.

Kami melewati kawasan pusat perbelanjaan yang selalu ramai. Hmm… kalau dipikir-pikir, kota ini dipenuhi toko dan pusat perbelanjaan yang cukup besar. Mau lihat ke arah manapun, pasti ada toko, bahkan sudut-sudut pinggir kota juga dipenuhi toko. Satu hal yang sekarang menjadi perhatian teman saya di pusat-pusat perbelanjaan tersebut adalah keberadaan para peminta-minta. Setengah berbicara pada dirinya sendiri, teman saya berkata (redaksi diubah dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia), “Gimana ya Cip mengatasi masalah ini di Negara kita? Ah kegedean, maksudku, di sekitar kita…”

Saya jawab seperti biasa (agak retoris-red), “Aku punya beberapa usulan tahap dan metode, belum diuji, butuh kerja keras dan teamwork yang hebat dalam waktu yang tidak sebentar. Kamu mau denger?”

Dia bilang, “Nggak sekarang Cip, panas!”

“Oke”, kata saya. “Kamu mau ngasi mereka ga?”

Teman saya menjawab, “Bolang kaya’ kita cuma bawa uang saku buat beli minum non! Ga cukup buat ngasih! Toh mereka banyak gitu, ga adil kalo ngasi salah satu aja, yang laen juga pasti pengen. Kalo satu dikasih, dia ga akan bagiin ke yang laen soalnya buat diri sendiri aja masih kurang! Kalo mau ngasi semua, ga cukup uang sakunya non! Ayo jalan!”

Kami pun berjalan lagi, meskipun perhatian kami tidak sepenuhnya dapat teralihkan dari pemandangan para peminta-minta tadi. Hm… tak tau ada apa sebenarnya, tapi dalam diam sebenarnya kami sama-sama merasa ada yang menarik di sana, di antara kerumunan peminta-minta. Ia ada di sana.
Gadis kecil itu memandangi kami yang berlalu.

Perjalanan berlanjut. Lewat di depan sebuah toko. Wow, ada es krim! Kaya’nya yummy banget nih makan yang manis-dingin siang-siang gini. Meskipun kami tau makan es krim ga akan ngilangin haus, toh kami tetep aja mupeng. Ya sudahlah, masing-masing beli 1 biji.

“Tekor!” kata teman saya.

“Kita sih pake acara mupeng. Udah tau ngebolang tanpa sponsor. Modal iseng bin nekat gini plus niat banget cuma bawa uang saku super mepet buat beli minum. Udahlah jalani aja. Resiko”, kata saya.
Mulut boleh ngomong santai gitu, tapi hati ketar-ketir juga sebenernya.

Whatever deh, saya bayangin kemungkinan terburuknya. Paling kami mampir ke rumah temen di sekitar situ, minta makan-minum, trus minta dianter pulang ke kosan. What a silly! Tapi ya… Whatever!

Kami mencari tempat duduk untuk sejenak beristirahat dan menikmati es krim. Maklum, jalan utama kota ini meskipun bisa dibilang pendek jika dibandingkan jalan utama di kota-kota lain, tapi panjang juga kalau dilalui dengan jalan kaki.

Es krim rasa coklat dalam genggaman masih utuh, baru saja saya mau mengoyak plastiknya, ketika tiba-tiba tangan saya terhenti. Kembali berdiri dan berlari ke arah pusat perbelanjaan yang tadi kami lewati. Itu yang saya lakukan.

Sampai di area area pusat perbelanjaan, mata saya mencari peminta-minta kecil itu. Sweeping. Saya tak menemukannya. Ternyata teman saya pun menyusul.

“Kenapa Cip? Ada yang jatuh ya?” tanyanya.

Saya tak menjawab dan terus mencari. Hingga saya temukan dia di satu sudut tempat parkir, menengadahkan mangkok plastik kecil kepada orang-orang yang lewat di depannya.

Tanpa sepatah kata pun terucap, saya berikan es krim itu padanya. Hanya tersenyum, lalu berlalu. Sungguh saya tak sopan…

Teman saya sepertinya maklum, dia mengikuti saya berjalan. Beberapa saat kami diam, sampai dia bertanya, “Haus ga Cip?”

Saya jawab, “Iya dikit.”

“Patungan beli minum yuk!”

“Yuk!”

Kami pun membeli minum dengan cara patungan. Rehat sebentar, menghapus dahaga.

“Boleh nanya?” Tanya teman saya.

“Soal kejadian tadi?”

“Yoi.”

“Tanya aja.”

“Kamu ga mau jelasin duluan?”

“Ga.”

“Menurutmu tadi itu tindakan baik bukan?”

“Kalo aku jawab itu tadi intuisi kamu mau terima jawabanku?”

“Kalo tadi mungkin iya, tapi sekarang kamu kan udah bisa mikir normal, menurutmu gimana? Jujur ya Cip, aku merasa tadi kamu seolah memanjakan anak itu. Mungkin maksudmu baik mau bikin dia seneng atau mau beramal, tapi kalo dia mikir semua orang bakalan bersikap kaya’ kamu ke dia, apa ga bahaya tuh?”

“Kok bahaya sih? Bahasa kajian deh…” kata saya

“Anak kecil seumuran dia ga seharusnya ada di sana Cip, kita pernah bahas soal ini. Kita juga pernah kirim surat ke walikota lewat anaknya. Cara yang sangat tidak terpuji untuk minta beliau bikin sanggar buat anak-anak jalanan dan nge-rehab panti buat penampungan dan pemberdayaan pengemis yang udah berusia lanjut. Kita sepakat kalo kita ga mau mereka jadi manja. Tapi sedikit banyak, kalo menurut mereka jalanan dan meminta-minta lebih menjanjikan karena masih banyak orang yang akan mengulurkan tangan, atau dalam hal ini uang buat mereka, ga akan ada yang berubah, toh usaha kita akan sia-sia juga.”

“Kalo premisnya usaha, maka hipotesisnya cuma dua, berhasil dan gagal. Itu tanpa memperhitungkan fungsi waktu.”

“Ngomong apa sih kamu?”

“Lin (panggilan samaran), ga usah kamu pikirin kalimat terakhirku tadi. Sekarang pikirin aja soal ini. Aku ga tau nih, tindakanku tadi bener atau salah, entah itu meurutmu, menurut orang lain, atau bahkan
menurut Allah…

Aku mikir gini Lin, apa bedanya coba, antara aku ngasih es krim tadi ke anak itu sama aku traktir kamu makan es krim?

Menurutku ga jauh beda. Sama-sama ngasi es krim ke orang kan?

Justru lebih masuk akal aku ngasi es krim tadi ke dia. Bayangin, kapan terakhir kali kita makan es krim sebelum hari ini. Rasanya kita masih inget itu. tapi anak itu mungkin ga inget lagi kapan terakhir kali dia makan es krim. Bahkan aku ga yakin dia pernah ngrasain es krim yang sering kita makan. Aku juga ga yakin dia inget kapan terakhir kali makan es nong-nong bapak-bapak yang suka lewat depan kosan kita.

Kalo kamu khawatir anak tad jadi manja, bisa jadi iya. Tapi aku bener-bener sama sekali ga khawatir soal itu. Entah mengapa aku mikir gini, kalo aku traktir kamu es krim, maka peluang kamu berharap aku traktir lagi tuh besar, soalnya kita sering ketemu. Kalo aku traktir anak tadi, masa’ iya dia mau minta traktiran lebih, wong dia ga pernah ketemu aku. Peluang dia minta ke orang lain juga kaya’nya kecil deh!
Aku malah ga kebayang dia berani lakuin itu.”

“Ya udah sih, yang penting niatmu aja non. Aku kenal kamu sebagai orang yang rasional dan cukup berpikir panjang untuk anak seumuran kita. Dulu malah kamu pernah bilang, kalopun punya intuisi, kamu akan kaji lagi intuisi itu sebelum bertindak. Kita doakan aja anak kecil tadi dan pengemis-pengemis yang lain ya. Kita doain buat keadaan yang lebih baik. Setidaknya di sekitar kita.”

Ah, bijaknya temanku ini… teman yang mewarnai banyak episode dalam hidupku, teman berbagi banyak hal, teman menjalani berbagai cerita (Hush! Bukan ini temanya!).

Hampir ashar… Kami memutuskan sholat di masjid kota sebelah barat alun-alun sebelum pulang ke kosan. Merasakan dinginnya lantai masjid memberikan sensasi kenikmatan tersendiri bagi kami yang kepanasan hari itu.

Masa kini…

Senyum-senyum sendiri inget cerita di atas. Sekelumit kisah mewarnai masa SMA yang tak terlupakan. Saya hampir lupa cerita ini sampai membaca notes Fitrah tentang anak-anak di kereta ekonomi. Tak ada tendensi untuk pamer atau sejenisnya, hanya ingin berbagi pengalaman. Kecil, namun semoga bermanfaat. Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Nilailah notes ini dari sisi lain juga. Sisi tentang kehidupan mereka yang mengarungi waktu di pinggiran jalan. Mereka yang bahkan mungkin tak berani untuk sekadar memimpikan kehidupan yang lebih baik, apalagi menikmati indahnya mimpi yang dapat dimunculkan lagu-lagu sejenis I Have a Dream, Wind of Change, Imagine, If We Hold on Together, Somewhere Over The Rainbow, Laskar Pelangi, dll.

Wallahu a’lam bisshawab.

10 Juli 2010, hampir tengah malam di salah satu sudut kosan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar