Selasa, 26 April 2011

Kembali ke Asholah Dakwah

Dakwah tidak mengenal udzur. Anas bin Malik mengatakan tentang Abdullah bin Ummi Maktum yang secara kondisi fisik buta. Tapi pada perang Yarmuk, Abdullah bin Ummi Maktum hadir di tengah para mujahidin di medan perang, memakai baju besi, memegang bendera. Anas bin Malik bertanya, wahai Abdullah bin Ummi Maktum, bukankah Rasulullah saw telah memberi udzur kepadamu? Ia menjawab, “Ya betul, memang dalam Al Quran telah diberikan udzur kepada orang buta. Tetapi saya menginginkan dengan kehadiran saya di sini, di medan perang, paling tidak dapat menambah jumlah tentara Islam.”

Sahabat, kekuatan jamaah ini teergantung pada kekuatan kader-kadernya. Jika jamaah kuat, kader juga akan kuat! Hehe… Kebalik ya? Bagus berarti gak ngantuk ^^v

Lantas pertanyaannya, kenapa selalu dan selalu pembahasan tentang kader yang menjadi permasalahan? Intima’ bil jamaah yang lemah, ukhuwah yang renggang, tsiqoh terhadap qiyadah dan hasil syuro yang kadang mungkin cuma 20%, apa penyebabnya? Exactly, I don’t know! Lagi-lagi, sudah masuk ranah personal.

Tapi saya mencoba menulis tentang salah satu kemungkinan penawar dari racun-racun di atas. Hanya salah satu saja, mohon maaf karena saat ini waktu terbatas. Sebagai awalan, saya ingin mengutip percakapan dari film Sang Murobbi:

Berikut percakapan Ustadz Rahmat Abdullah dalam film Sang Murabbi.
“Ane mau curhat nih stadz. Ane liat nih Sekarang ngajinya dah pada kendor, tiap liqo yang diomongin politik mulu. Kayanya ga ada omongan selain itu.” kata Mabruri.
Ustadz Rahmat berkata, “Ane paham apa yang antum rasakan, dan temen-temen rasakan. Jadi, ane pengen cerita nih, akh Mabruri, tentang monyet,”
“Monyet? Emang kita monyet?” Tanya Mabruri.
Ustadz berkata, “Bukan, maksudnya, ni ibarat, jadi gini, akh Mabruri, jadi ada seekor monyet nih. Dia naek trusss sampe ke pucuk pohon kelapa. Tapi diem-diem ada 3 jenis angin nih yang bukan sembarangan nih angin, ada angin topan, angin bahorok, angin puting beliung. Siap nih, ngincer tu monyet. Siap nih. Plan-plan, plek. Kaga jatoh!”
“Makin kenceng,” sela Mabruri.
“Makin kenceng aje pagangannnya. Tapi dateng nih, akh Mabruri, angin yang sepoi-sepoi nih dateng deh, pelan-pelan, pelan-pelan, diincer tuh ubun-ubunnya tuh monyet diincer. Seeet, seer ngeriep-ngeriep tu monyet, matanya ga ngeliat lagi dah, tangan lepas dah, itungan berapa detik, jatoh dah.” Lanjut Ustadz.
“Jatoh, stadz?” Kata Mabruri.
“Subhanallah, akh Mabruri, nah ibaratnye begitulah tantangan dakwah kita. Jadi klo kita di uji sama yang sempit, kesedihan, kemiskinan, kuat kita, akh Mabruri. Tapi klo kt di uji sama kasenagan, akh Mabruri, sebentar doang, plek, jatoh dah. Jadi kesimpulannya nih, akh Mabruri, antum jangan jadi monyet.” Ustadz mengakhiri.

Percakapan lain antara Mabruri dengan Ustadz Rahmat Abdullah
“Temen-temen gimana kabar?” Ustadz bertanya.
“Begitulah ustadz, makin jadi-jadi aje. Ngomongnya politik melulu. Ngajinya makan lemah, hamasah sama ruhiyahnya makin tips tuh stadz, gimana yah?” Jawab Mabruri
“Akh, antum ingatkan deh, likullim marhaatin rijaluha wa likullim marhaatin masaakiluha. Jadi, setiap marhalah itu ada rijalnya, setiap marhalah ada masalahnya. Jadi, kita, masing-masing kita, ada cobaannya dari Allah swt. Begitu juga dakwah kita. Obatnya, mabruri, adalah kesabaran, keikhlasan antum, pengorbanan teman-teman, dan kita kembali ke asholah dakwah. Kita ngapain dakwah ini, kita cemplung dakwah ini, kita habis-habisan dakwah ini. Kenapa? Karena Allah saja. Kita inget bagaimana Kata Allah swt, bagaimana kata rasul. Udah selesai…” Jelas Ustadz.
“Kita ini udah gatel stad,” Mabruri menyanggah.
“Paham, paham” Ustadz bicara.
“Keadaannya udah kaya meledak begitu,” Lanjut Mabruri.
“Paham, paham ane. Shobron ‘ala shobron. Antum berikan sabar diatas sabar kepada Allah swt. Allah akan segera dateng dengan jalan keluarnya.” Ustadz Mengakhiri tausiyahnya.

Sahabatku, demikianlah kiranya yang kita hadapi sekarang. Tapi bukan itu yang saya ingin sampaikan. bukan tentang marhalah dakwah kita. Ya, seperti disinggung di atas, yang ingin saya sampaikan adalah salah satu penawar untuk masalah di tiap masalah: kembali ke asholah.

Asholah sendiri berarti keaslian. Jika berbicara dalam konteks dakwah kampus maka makna kembali kepada asholah berarti kembali kepada orisinalitas dengan dinamika dakwah secara global dan dakwah kampus kontemporer. Kembali ke asholah dalam dakwah kampus hendaknya dapat diterjemahkan ke dalam kembalinya kita kepada nilai-nilai esensial dari lima hal utama yaitu: Islam, tarbiyah, dakwah, fiqih dakwah, dan manhaj dakwah.

Pembahasan tentang lima hal ini insya Allah di notes berikutnya (punten ditunggu dosen ^^). Semoga bisa menjadi suplemen semangat hingga akhir hayat. Wallahu’alam. Afwan minkum.

1 komentar: