Hari ini, enam bulan lebih satu hari hidup bersama suami tercinta :)
Dan ternyata benar bahwa cinta adalah menerima apa adanya, lebihnya, juga kurangnya, ngembek2nya, juteknya. Dan dia... lebih dari menerima.
Makasih cinta, memberikan sedikit warna surga dalam rumah tangga, selalu jadi penenang, penyayang.. dan... banyak banget kata pengen adek sampaikan ke mas.. ternyata ditulis aja nggak kelar mas...
Banyak banget tawa kalo sama mas, kadang ada nangisnya juga. Nangis kalo kita nggak sengaja salah sama sesama, apalagi salah sama Allah ya mas...
Makasih sayang, masih banyak cerita di depan, banyak melankolisme telah kita lewati di belakang. Selalu berpegangan, seperti tiap hari kita jalan bersama...
Sharing and Developing. Cause we're all connected to each other. One inspires the others, one's inspired by the others.
Minggu, 16 Desember 2012
Rabu, 05 Desember 2012
"Saya" dan Energi Bersih
Nggak cuma soal energi listrik
ternyata, ayah juga concern soal
bahan bakar. Sewaktu SD, sewaktu isu minyak merupakan non-renewable energi belum santer, ayah sudah mengingatkan. Beliau
sering bilang, “Ke sekolahnya jalan kaki aja, nggak usah dianter pake motor”,
atau, “Naik sepeda aja, lebih sehat, nggak bikin tetanggamu terganggu asap knalpot
atau suara bising.”
Kebiasaan yang diterapkan ayah
pada anak-anaknya sedari kecil ini membentuk karakter saya sehingga saya sangat
berusaha efisien energi. Gaya hidup yang diajarkan ayah saya terapkan hngga
sekarang, saya tularkan ke teman-teman, terutama di rumah kost. Setelah
menikah, suami saya pun tertular. Dia yang nggak masalah tidur dengan lampu
menyala, sekarang mulai aware soal
ini, dan sebagainya.
Tahun 2009 lalu, saya berhasil
mengkampanyekan konservasi energi di kampus, bahkan berhasil melakukan advokasi
sehingga untuk pertama kalinya IPB berpartisipasi dalam Earth Hour, yang kemudian berjalan setiap tahun. Saat kuliah di
Bogor, saat bepergian dalam kota saya lebih suka menggunakan Trans Pakuan yang
berbahan bakar biodiesel dibandingkan angkot. Di Jakarta, saya lebih suka naik
Trans Jakarta yang memanfaatkan bahan bakar gas dibandingkan naik kendaraan
sendiri meskipun seringkali harus berdiri. Saat naik mobil pun saya selalu
berusaha beramai-ramai supaya lebih hemat bahan bakar.
Kebayang, memang di kota-kota
besar sepertinya penjualan dan pembelian mobil tidak dapat dibendung. Iya lah,
mobil kan bermanfaat banget biar tetep nyaman di jalan, nggak kehujanan pas
hujan turun, dan nggak kepanasan di siang bolong nan terik. Sayangnya, masih
sering pengguna mobil-mobil ini berkendara sendiri atau hanya berdua di dalam
mobil yang kapasitasnya bisa delapan orang. Macet jadi salah satu akibat dari
hal ini. And, what’s next? Macet
secara langsung mengakibatkan energi terbuang percuma lho, bro and sist! Saya
bermimpi, suatu saat ada mobil yang dirancang memang bukan sebagai mobil
keluarga, tapi mobil individu atau mobil untuk couple J.
Setidaknya ukuran mobil-mobil ini bisa lebih mungil dan jika digunakan secara massal,
akan berdampak signifikan untuk mengurangi waktu yang dibutuhkan di jalan
akibat macet. Apalagi kalau mobil-mobil ini menggunakan bahan bakar energi alternatif.
Ah, pada siapa saya bisa bicara soal ide ini ya?
Kembali bicara soal energi alternatif,
saya pun aktif mengkaji suber-sumber energi alternatif, dari biodiesel,
bioetanol, gas, mikro hidro, hingga angin dan tenaga surya, meskipun bukan
termasuk bidang keilmuan saya. Beberapa kajian dalam optimasi proses produksi
bioetanol bahkan sempat menjadi paper yang diapresiasi para ilmuwan
internasional. Saat ini pun saya masih menjadi kontributor rubrik Energi Baru
Terbarukan di Majalah Global Energi, salah satu majalah yang fokus terhadap
perkembangan berita seputar energi di Indonesia dan di dunia. Berita yang saya
tulis meliputi inovasi EBT di seluruh dunia, dan itu membuat saya semakin
terinspirasi. Kapan ya Indonesia punya fokus untuk pengembangan salah satu moda
energi bersih? Lalu saya mulai berbicara pada orang-orang yang lebih
berkapasitas di bidang itu, di BUMN, di lembaga-lembaga penelitian (kampus,
balitbang, puspiptek), dsb. Dan dari beberapa hasil diskusi saya menyadari
bahwa kita, Indonesia, tidak jalan di tempat, tapi sedang berproses dalam
bidang energi bersih. Profesi ini pun semakin menggugah ketertarikan saya untuk
belajar tentang ketahanan energi (energi
security) di kampus pertahanan Indonesia. Saya memang bercita-cita, suatu
hari akan mendirikan NGO di bidang ketahanan pangan berbasis pangan lokal dan
ketahanan energi berbasis energi bersih.
Sembari menulis, saya pun menyempatkan
diri untuk mengembangkan inovasi berbasis sampah organik. Sejak tahun 2009,
saya aktif memperkenalkan inovasi bernama eco-enzyme ini di Indonesia. Sejak awal
diperkenalkan, produk ini baru dikenal sebagai produk daur ulang sampah organik
yang memiliki manfaat sebagai pupuk cair yang secara spesifik mampu
meningkatkan hormon pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Sekitar setahun
belakangan, saya mulai menyadari potensi lain dari eco-enzyme ini yaitu sebagai
sumber alternatif biogas yang terbentuk selama proses fermentasinya. Bahkan
melihat banyaknya sampah organik di dunia, boleh kan kita menyatakan bahwa
sangat mungkin menjadikan sampah organik sebagai sumber utama biogas dunia?
Soal pengelolaannya dan lain-lain, ayo mulai kita pikirkan! Kalau yang ada di benak saya sih, awalnya program ini bergerak dari skala komunitas sebagai pilot project. Mulai dari satu komunitas yang bergerak di spot-spot strategis atau bahkan kompleks perumahan (konsep komunitasnya sudah pernah saya rumuskan lho di sebuah tulisan yang masih tersimpan di dalam folder pribadi), lalu berekspansi ke satu kelurahan, satu kecamatan, satu kota, hingga berhasil membuat wajah Indonesia menjadi lebih ceria. Asal konsisten dan nggak gampang putus asa, dalam jangka panjang kita bisa kok...
Eh, btw, kok dari tadi ceritanya
soal saya terus ya? Nggak maksud nyombong kok, cuma kepikir aja kalo perubahan
positif untuk “kita” dan “dunia” memang sangat logis jika diawala dari “saya”
dan “anda”. Hidup adalah pilihan, bukan? Dunia global sedang berlomba-lomba
dalam proyek energi bersih masing-masing. Di mana posisi kita dalam perlombaan
itu? Sebagai orang yang apatis, sekadar penonton, atau ikut berperan entah
sebagai pengamat, komentator, sponsor, coach, tim manajemen, supporter, atau
bahkan pemain? “Saya” berusaha ambil bagian yang bisa diambil dalam perlombaan
ini. Saya bercita-cita menjadi pemain inti sekaligus coach suatu saat nanti, meskipun
saat ini posisi saya baru sekadar pengamat dan supporter.
Rabu, 07 November 2012
profesional
sewaktu kuliah dulu, aktif di himpunan profesi mahasiswa, dan untuk pertama kalinya mendapatkan menu makan utama berupa kata: profesional...
tapi sebenernya aku nyadar, profesional buatku nggak sama dengna profesional buat mereka yang bicara tentang...hmmm...u know what lah males aja nyebutnya hehe..
sewaktu masih penelitian aku pernah janji sama diri sendiri, pasca kampus nanti, akan melakukan sesuatu yg bikin makin asyik beribadah, makin bermanfaat... bagiku, itu cukup sebagai bayaran. aku gak butuh gaji besar, aku butuh keleluasaan beribadah...
dan saat itu aku nyadar, bahwa profesional buatku berarti profesional dlm konteks hamba Allah, makin merasa bersama dengan-Nya, merasakan keluasan ilmu-Nya dlm tiap langkah, tiap sepersekian nafas...
dan ya, itu aku temukan dlm profesionalisme sbg ibu rumah tangga... alhamdulillah...
dan aku senang dg apa yg aku lakukan skrg: comdev...dg nilai plus fee yg lbh dari cukup...
terima kasih Allah, Kau memberiku keleluasaan mengatur waktu, kesempatan selalu mendekat pada-Mu...
Senin, 05 November 2012
warisan
Anak-anakku... kami orang tuamu hanya ingin memberi warisan: pendidikan terbaik...
Pendidikan untuk mengisi jiwamu dengan tauhid,
memberimu pengetahuan tentang Allah, satu-satunya Tuhan yang berhak & wajib disembah,
tentang risalah yang dibawa Rasul-Nya,
mendidikmu dengan Qur'an...
Kau tau nak, kami ingin mengajarimu Islam yang syamil,
supaya kau mau berusaha menjadi manusia yang syamil,
teguh akidahmu,
mulia akhlakmu,
manfaat langkah hidupmu,
Dan benda yang paling ingin kami wariskan padamu...
mungkin bukan rumah ataupun harta benda lainnya,
meskipun mungkin ada...
Kami ingin mewariskan: kitab-kitab dan buku-buku,
supaya kau terus belajar,
supaya kau terus berusaha mengenal Allah, Rasul-Nya,
dan semua yang perlu kau tau,
supaya kau terus merasa bersama-Nya,
dan keluasan ilmu-nya
Minggu, 04 November 2012
alay :D:D:D
Eh mau tau pendapatku ttg alay? Btw, ini alay khusus lho ya, khusus utk pasangan... Menurutku, alay sama pasangan itu naturally happened hohoho... tapi memang jenis orang beda2, ada yang nggak ekspresif, ada yg ekspresinya lugas langsung tanpa tertulis, ada yg lbh ekspresif tulisannya (kayak team-mate ku @office), nah kalo aku... sanguinis poolll dg mimik wajah & tulisan sangat ekspresif wkwkwk... Bangga? Hmm... feel different sih sebenernya haha... So, krn emang aku tipenya cuek, jd klo orang yg udah ngerti, ngadepin aku pun dg cuek, and... i try to apply it with fully empathy (haha..efek ngurus webinar) to as many people as possible :D:D:D alay..alay..
Aku sempet ngamatin tmn2 alay. U know what? Mereka tampak jauuuuh lbh nggak stress dibanding orang2 lain (tanpa ngomongin kapasitas loh ya. Mungkin karena orang alay itu sebenernya jago membagi beban. So, aku pikir skrg, klo nemu org alay, yg nemu jg harus nyesuaikan diri. Caranya?? Cuek ajah hoho...
Yeah, people may say, do what makes you happy, be with who makes you smile, laugh as much as you breathe, and love as long as you live
Aku sempet ngamatin tmn2 alay. U know what? Mereka tampak jauuuuh lbh nggak stress dibanding orang2 lain (tanpa ngomongin kapasitas loh ya. Mungkin karena orang alay itu sebenernya jago membagi beban. So, aku pikir skrg, klo nemu org alay, yg nemu jg harus nyesuaikan diri. Caranya?? Cuek ajah hoho...
Yeah, people may say, do what makes you happy, be with who makes you smile, laugh as much as you breathe, and love as long as you live
Sabtu, 03 November 2012
a moment of...love
Do u know what will happen to heart without love?
Honestly, I don't know,
and i don't even want to imagine...
Do you know?
Love...can be found in a moment...
I love everything and everyone around me,
and I just want to love them more...
and more...
Do you know?
Right now, i feel the warmth of my big family's love...
Though we're apart...miles away
And those who love you, no matter how they hurt or make you cry, they can always make you smile, happily, sincerely...
"We don't remember days, we remember moments..."
Honestly, I don't know,
and i don't even want to imagine...
Do you know?
Love...can be found in a moment...
I love everything and everyone around me,
and I just want to love them more...
and more...
Do you know?
Right now, i feel the warmth of my big family's love...
Though we're apart...miles away
And those who love you, no matter how they hurt or make you cry, they can always make you smile, happily, sincerely...
"We don't remember days, we remember moments..."
Selasa, 30 Oktober 2012
aktualisasi
Kalo laki2 kerja, itu kewajiban. Tapi kalo perempuan kerja, itu aktualisasi diri :)
Istimewanya perempuan....hehe narsis...
Eh seneng denger kabar temen2 pada lanjut sekolah, bahkan banyak yang ke LN. Nothing so much special memang, tapi itu berarti ada kesempatan belajar lebih banyak, and I'll also learn from them haha...
Aku juga pengen kok, masih tetep pengen keliling dunia :D:D:D sekolah dari semesta
Btw, aku lebih seneng liat mereka nyiapin diri ke sana, kerasa perjuangannya. Aku juga nyiapin diri, tapi sekarang belum pengen ke LN sih pengen berkarya di sini dulu, cuma kan ttp harus siap2 hoho...
Dan siap2 ini juga yg aku sebut aktualisasi. Aktualisasi niat & keinginan :)
*I'm the one who wanna live a life without regrets
Istimewanya perempuan....hehe narsis...
Eh seneng denger kabar temen2 pada lanjut sekolah, bahkan banyak yang ke LN. Nothing so much special memang, tapi itu berarti ada kesempatan belajar lebih banyak, and I'll also learn from them haha...
Aku juga pengen kok, masih tetep pengen keliling dunia :D:D:D sekolah dari semesta
Btw, aku lebih seneng liat mereka nyiapin diri ke sana, kerasa perjuangannya. Aku juga nyiapin diri, tapi sekarang belum pengen ke LN sih pengen berkarya di sini dulu, cuma kan ttp harus siap2 hoho...
Dan siap2 ini juga yg aku sebut aktualisasi. Aktualisasi niat & keinginan :)
*I'm the one who wanna live a life without regrets
Minggu, 28 Oktober 2012
Guru.. Izinkan Kami Meneladanimu
Guru… Sebuah kata yang sangat
membekas di dalam hatiku.
Ya, sebab aku punya cerita yang
tidak semua orang tahu. Kalau bukan karena jasa seorang guru, mungkin sekarang
aku tidak bisa menjadi seorang sarjana. Hal yang paling kuingat dari seorang
guru adalah sosok pendidik bukan sekadar pengajar, seorang pembentuk karakter
bukan sekadar seorang penyampai teori. Aku, bukti hidup “korban” seorang guru…
Awalnya aku
nggak pernah mikir akan bisa kuliah. Tapi sejak SD memang dari dulu tekadku
satu: harus bisa kuliah di salah satu PTN 5 besar di Indonesia lewat jalur
SPMB! Hff meskipun nggak mudah belajar untuk SPMB. Tapi karena keputusanku sudah bulat,
bagaimanapun aku harus belajar. Pertimbangan utamaku kuliah di salah satu PTN 5
besar nasional tentu saja karena kualitasnya masih menjadi yang terbaik di
Indonesia. Jadi aku pikir, jurusan apapun yang kuambil, insya Allah akan bisa
mendapatkan ilmu yang baik di sana, dan dapat memanfaatkannya untuk kebaikan
bangsa kita. Hahaha, sepertinya cita-citaku tinggi sekali ya, bahkan kadang
kurang ngerti juga bagaimana mewujudkannya, tapi aku optimis aja. Alasan kedua
yang membuatku sangat tertantang untuk mengejar PTN tentu saja karena biaya
pendidikannya yang relatif murah.
Namun,
bagaimanapun murahnya biaya pendidikan, tetap saja aku harus mengeluarkan uang
dalam satuan juta. Nggak enak sebenarnya minta ke orang tua. Karena selain
memang sudah berniat belajar mandiri sejak SMA, aku juga ingin orang tuaku lebih
memfokuskan pembiayaan untuk pendidikan kedua adik yang masih kecil. Nah
masalahnya, di kota kecil tempat asalku, nggak banyak kerja sampingan yang bisa
dilakukan oleh seorang siswa. Hff…
Satu-satunya
yang terpikirkan olehku adalah menabung. Sayangnya, aku benar-benar bukan orang
yang memiliki motivasi tinggi untuk melakukan sesuatu secara teratur, seperti
menabung. Namun ternyata seorang guru bisa merubah karakter burukku ini.
Beliau bernama
Pak Rohman, guruku di SMP. Seorang yang dikenal sangat selektif menilai
siswanya, sehingga tidak bisa dekat dengan semua siswa. Tapi ternyata, di balik
selektivitas beliau ada hati yang peka terhadap permasalahan siswanya. Setelah
pengumuman kelulusan SMP, beliau memanggilku. Awalnya aku bertanya-tanya,
“Emang salah apa ya kok dipanggil? Kan udah lulus juga, ada apa sih?”. Lalu,
karena nggak merasa bersalah aku pun menemui beliau, dan ternyata… beliau
mengucapkan selamat atas kelulusanku dan memberiku uang! Ya, uang…besarnya
hanya 250.000 rupiah.
“Ini hadiah
kelulusan, Pak?”, tanyaku polos waktu itu.
“Bisa dianggap
begitu, bisa juga bukan”, jawab beliau.
“Maksudnya
apa, Pak?”, tanyaku lagi.
“Kalau kamu
oportunis, maka uang itu jadi hadiah kelulusan. Tapi kalo kamu visioner, uang
itu jadi biaya kuliah.”
Aku setengah nggak
ngerti maksud guruku itu. Oportunis? Visioner? Apa pula itu? Ah tapi tadi aku
dengar soal biaya kuliah. Tapi…tapi…tapi… kan cuma 250.000? Mana mungkin
cukup???
“Gimana
caranya bisa jadi biaya kuliah, Pak?”, akhirnya pertanyaan itu meluncur juga
dari mulutku.
“Sedikit-sedikit,
lama-lama jadi bukit”, jawab beliau sambil berlalu, meninggalkanku berpikir
sendirian.
“Apa maksud
Pak Rohman?”, pikirku seharian. Entah kenapa otakku jadi agak lemot saat itu.
Sampai sore aku baru sadar kalau perkataan beliau itu adalah peribahasa yang
berkaitan dengan: menabung!
Hah? Nabung?
Aku kan agak kurang konsisten melakukan usaha rutinan begini? Ah, Pak Rohman
ada-ada aja… Dan saat itu juga aku baru
sadar maksud dari oportunis dan visioner, dasar anak baru lulus SMP.
Tapi mau
gimana lagi, uang 250.000 itu sudah aku pegang, nggak mungkin aku kembalikan.
Dan itu artinya beliau sedang menantangku. Ya, menantang untuk membuktikan
bahwa aku bisa kuliah sekaligus bisa menabung! Membuktikan bahwa anak kampung juga
bisa visioner!
Akhirnya,
kemalasanku luluh juga, berganti tekad yang kuat. Aku temui ayah, menanyakan kesiapan
dana untuk sekolah SMA. Kata ayah, “Tenang aja, ada insya Allah.”
Lalu aku
tanyakan juga tentang biaya kuliah. Ayah menjawab dengan gamang, “Nanti ya,
mungkin kalau ada rejeki.”
Aku tidak
puas. Kutanyakan pada ayah berapa uang sakuku saat SMA nanti. Aku mau mulai
mengatur keuangan. Memang sih selama ini aku nggak doyan jajan, tapi uang
sakuku jadi habis juga buat beli majalah Bobo. Kalau gini terus sih, aku nggak
akan bisa nabung, jadi aku harus merencanakan anggaran finansial sejak saat ini
juga!
Kata ayahku, “Kamu
kan mau lanjut sekolah di Madiun, ngekost aja biar hemat. Ayah sudah carikan
tempat kost, sewa per bulannya 75.000. Uang sekolahmu per bulannya 75.000. Nanti
sebulannya ayah kasih 350.000 buat uang sekolah, bayar kost, sama uang saku ya.”
Hff… “Iya, yah”,
kataku pasrah. Dan aku memang nggak berniat menuntut lebih, tanggungan ayahku
masih banyak dengan gaji pegawai pabrik gula waktu itu hanya 1,2 juta. Ibuku
juga tidak punya penghasilan. Anggota keluarga kami ada 5 orang. Jadi sebenarnya, proporsi gaji ayah
paling besar digunakan untuk biaya sekolahku, padahal adik-adikku juga butuh
biaya sekolah.
Lalu aku pun
memikirkan bagaimana caranya menabung dari uang saku segitu. Yup, untuk
kebutuhan hidup per hari aku hanya boleh mengeluarkan total biaya kira-kira 6-7
ribu per hari. Mau makan apa? Kalau tiba-tiba pengen pulang atau perlu pergi
agak jauh dari sekolah mau naik apa? Kalau butuh alat tulis? Fotokopi? Aaarrrggghhh…
Malangnya, di
rumah kostku nggak ada tempat masak, jadi aku harus beli makanan. Mau minta
dibelikan alat masak sama orang tua? Nggak ah, akunya juga nggak telaten masak.
Akhirnya kuputuskan untuk nyari tempat makan termurah! Alhamdulillah… ternyata
ada J
Warung makan
ini buka tiap pagi, menjual nasi ditambah tahu dan tempe bumbu balado, harganya
1.500 rupiah. Nasinya agak keras dan kurang bagus, kadang agak apek tapi
porsinya banyak. Aku bagi nasinya jadi dua bagian: untuk sarapan dan makan
siang. Lauk sarapannya sepotong tempe, makan siangnya sepotong tahu, tanpa
sayur. Baru malamnya aku nggak makan nasi lagi, hanya makan pecel sayur dan sepotong
tempe goreng kecil seharga seribu rupiah. Aku pun jadi rajin puasa. Semua
kebutuhan seperti sabun, pasta gigi, shampoo, dan lain-lain aku gunakan sehemat
mungkin, aku beli alat tulis paling murah dan fotokopi dengan kertas buram. Aku
nggak pernah ikut les apapun, semua mata pelajaran aku pelajari sendiri,
buku-buku pun jarang beli karena sebenarnya di perpustakaan pun ada. Lalu
dengan pasang muka tembok aku rajin jadi pengunjung perpustakaan untuk
memperpanjang pinjaman. Haha… Pada akhirnya aku sadar hal-hal kecil seperti memperpanjang
peminjaman buku pun membentuk kepribadianku menjadi seorang yang lebih telaten.
Aku senang, dengan cara begitu setidaknya jatah uang untuk membeli buku-bukuku
bisa dialihkan menjadi jatah untuk buku adik-adikku. Hahaha… Jujur aku cukup
bangga karena ini. Maklum anak SMA, tetap punya sisi narsis. Alhamdulillah, badanku cukup kuat menanggung
gaya hidup semacam itu. Semasa SMA aku hanya pernah sekali sakit, itu pun demam
dan radang tenggorokan saja.
Akhirnya aku
bisa menabung sekitar 100.000 rupiah per bulan, kadang lebih, seringnya kurang.
Aku lakukan rutin hingga lulus SMA. Alhamdulillah, prestasi belajarku di
sekolah baik sehingga aku makin semangat ikut SPMB. Karena prestasi juga, aku
tidak perlu mengeluarkan uang untuk tes SPMB. Sekolah memberikan banyak
bantuan, mulai dari uang untuk membeli formulir, transportasi ke tempat ujian,
akomodasi, semuanya... Alhamdulillah, aku semakin yakin memang ditakdirkan
untuk ikut SPMB. Dan alasan memperjuangkan SPMB juga lah yang membuatku sama
sekali tidak mendaftarkan diri ikut PMDK dari universitas manapun.
Alhamdulillah,
pengumuman SPMB menyatakan aku lulus, masuk Departemen Ilmu & Teknologi
Pangan IPB. Kabarnya, ini departemen paling bagu dan paling susah ditembus di
IPB. Saat itu uang tabunganku sekitar tiga juta lebih sedikit. Aku lupa
tepatnya. Biaya masuk kuliahku total sebesar 6,5 juta untuk setahun ke depan. Setelah
setahun itu, aku hanya akan membayar uang SPP dan biaya SKS sekitar 1,2-1,4
juta per semester. Orang tuaku menyanggupi untuk membayar kekurangan
tabunganku. Tapi aku melakukan hal lain: bernegosiasi dengan panitia
registrasi, meminta keringanan untuk bisa membayar uang masuk dengan cara
mencicil. Mereka pun setuju. Alhamdulillah, kekurangan biaya itu pun aku bayar
dengan tabunganku.
Sejak resmi
menjadi mahasiswa, hidupku nggak se-prihatin semasa SMA. Ekonomi keluarga mulai
membaik karena ayah memutuskan keluar dari pabrik dan mengelola sawah sendiri.
Hasil sawah kami cukup baik, alhamdulillah… Tapi aku tetap rajin menabung. Aku
punya banyak celengan kaleng, dan aku juga mulai memanfaatkan rekening bank
syariah, tidak hanya celengan. Semasa kuliah aku rajin mengikuti perlombaan,
sebagian perlombaan menghasilkan uang dalam jumlah lumayan. Aku tabung juga
untuk biaya kuliah. Meskipun demikian, aku masih sering minta orang tua untuk
biaya hidup. Tapi setidaknya, aku jadi punya kebiasaan baik: telaten dan suka
menabung. Orang tua pun senang hidupku ada perkembangan. Saat lulus, aku masih punya
sisa tabungan beberapa ratus ribu yang kugunakan untuk membantu orang tua membiayai
pernikahanku. Memang sedikit, tapi bagiku dan kedua orang tuaku ada nilai usaha
yang besar J
Mungkin, kalau
tidak pernah mengenal guru seperti Pak Rohman, aku tidak akan pernah punya
kebiasaan menabung, mungkin aku akan tetap menjadi orang yang kurang konsisten
dan malas. Mungkin, kalau bukan karena motivasi seharga 250.000, aku nggak akan
terlalu menderita sewaktu SMA dulu, dan mungkin aku bukan sarjana sekarang, nggak
pernah punya pengalaman manis pahitnya mengukir prestasi di kampus, nggak
pernah ikut kompetisi, nggak pernah ngerti rasanya menang, rasanya kalah, nggak
pernah bergabung dengan organisasi kemahasiswaan di berbagai level, nggak
pernah ikut training dan seminar ini-itu, bahkan mungkin nggak punya kesempatan
memanfaatkan ilmu untuk menjalankan berbagai program pemberdayaan masyarakat
seperti sekarang.
Guruku hebat!
Guruku pendidik sejati. Mei lalu, saat aku bertemu lagi dengan beliau, gayanya
tetap sama. Tidak hangat, tetapi penuh pengertian, penuh bangga. Dan yang aku
tahu, bukan cuma aku yang mendapat perlakuan serupa dari beliau. Beberapa kakak
kelas dan adik kelas pun, benar-benar merasakan manfaat dari guru kami itu.
Guru, izinkan
kami meneladanimu…
Life... Recently
Kontraksi terus...and it loses again... Hari-hari menyenangkan tapi masih agak sakit. Hmmm, nggak tau gimana caranya nggak capek hehe... But everything's all right, anggap saja semua ada waktunya :)
Rutinitas sehari-hari: bangun antara jam 3-3.30, sholat, ngaji sampe subuh, habis subuh ke pasar belanja bahan masakan buat besoknya~kalo yg mau dimasak hari ini belanjanya kemarin (kalo kepaksa bgt pusing atau ngantuk ya tidur bentar nggak ke pasar), trus masak buat sarapan, siap2 berangkat, sampe kantor sholat dhuha plus tilawah sambil muroja'ah dikit2 sampe jam 8.45 baru mulai kerja, sebenernya jam kantornya jam 9, tapi karena nebeng suami jadi berangkat jam 7 pagi tiap hari, sampe kantor masih nunggu 1,5 jam sampe jam masuk jd harus dimanfaatin. Pulang jam 5 sore, tapi biasanya molor sampe habis maghrib nunggu jemputan. Sampe kosan isya, trus istirahat bentar sambil nyiapin bumbu sama sayuran yang mau dimasak besok paginya, trus ngerjain kewajiban2 lain: soal MITI dsb, lalu istirahat.
Tentang kosan: relatif murah (1,2 juta/bulan udah tinggal nempatin utk ukuran bandung, full facility kamar nyaman lega, KM dalem, set kasur, lemari gedee, set meja kerja lengkap, internet, tempat jemuran, air bersih lancar, TV kabel, kulkas, air minum, listrik, dapur, laundry, iuran kebersihan n keamanan, atap lantai 3 bisa buat jogging *futsal aja bisa, deket pasar, mini market macem2, atm center, travel, pom bensin, pusdai plus strategis banget di tengah kota deket stasiun, gedung sate, gazibu, dll
Tentang kerjaan: di ashoka...seruuu!!! nemu banyak inspirasi di sini, hari pertama masuk kayak pertama kali ikut workshop, seneng bgt kenal lbh banyak ycm & fellow super inspiratif...hmm susah diungkapkan deh. Apalagi akunya emang suka bgt comdev2an dan nggak pengen kerja do corporate, so NGO jadi first option, bukan kyk orang lain yg anggap ini last option. Hmm... meskipun mungkin nggak bisa lama juga di Ashoka krn ngikut suami pindah2. Gpp, yg penting di manapun ttp berkerya :) Go comdev!
Senengnya... alhamdulillah thn ini bisa beli hewan qurban sendiri :) meskipun gak ikut makan dagingnya hehe... Soalnya beli kambingnya di Surabaya (lebih murah jadi bisa beli buat berdua, alhamdulillah), trus disembelih di sana jadi yang di Bandung cukup tau aja. Long weekend kemarin maen2 ke saudara2 di Jakarta: berenang di rumah keluarga pakde Arif, dapet cerita keliling dunia paling seru dari bude (next turn will be ours, aamiin...), plus berasa honeymoon kedua nginep di cottage padahal rumah, terinspirasi dari keluarga mereka yang punya banyaaak santri di nusantara, sebagian besar di Jakarta, Ngawi, & Bali. Hartanya melimpah, gunung punya, pulau ada, tanah & berbagai macam properti berceceran...dan sebagian besar dimanfaatkan utk pesantren anak2 yatim, yatim piatu, dan dhuafa. Subhanallah... Alhamdulilah, mereka ini sosok2 yang memberi banyak harapan bagi Indonesia. Bagusnya lagi, meskipun pejabat tinggi, anak2 mereka, dididik utk nggak manja: jalan kaki & naik angkot ke mana2, sekolah di pesantren, nggak boleh naik mobil dinas papanya, nggak boleh manfaatin sopir biar mandiri. Para santri dididik utk mandiri juga, diajari mengelola usaha bersama, de el el. Subhanallah...
Habis dari sana perjalanan lanjut... sholat 'Id plus makan segala macem masakan Aceh bareng keluarga pakde Syahrul, kuliner cemilan sama keluarga tante Endah, jalan2 plus makan macem2 seafood sama keluarga tante Nunuk. Kenyaaang... Pas pulang ke Bandung, seneng banget karena ngerasain udara sejuk lagi (maklum ya, Jakarta panas hehe...).
Senang juga diantar bang Dhika ke mana2. Dia anak pakde Syahrul. Sepupuku yg satu ini wawasannya luaaaas....tau banyaaaak hal. Jadi bisa nyambung ngobrol sama siapapun, termasuk sama keluarga dari suami, jadi cepet akrab meskipun baru pertama kali ketemu. Ditambah lagi, background kedua keluarga besar yang dominan perwira tinggi tentara, jadi pasti klop. Alhamdulillah malah nambah banyak keluarga baru dan kenalan dari keluarga om Sru (suami tante Nunuk). Ibunya om Sru udah 84 tahun, tapi masih hobi masak, cuci piring, & nyapu hehe (malu dong yg muda), badan beliau udah kurus bgt tapi giginya masih kuat & rapi, utuh semua (mudanya pasti cantik nih).
Sebenernya kalo liat background keluarga besar kami, jadi agak jiper juga. Tapi yakin, insya Allah kami pun sdg berusaha memberi banyak manfaat, bukan hanya utk diri sendiri, tapi utk agama, keluarga, masyarakat, dan in long term: Indonesia. Bismillah... *yuk lanjut kerja lagi
Rutinitas sehari-hari: bangun antara jam 3-3.30, sholat, ngaji sampe subuh, habis subuh ke pasar belanja bahan masakan buat besoknya~kalo yg mau dimasak hari ini belanjanya kemarin (kalo kepaksa bgt pusing atau ngantuk ya tidur bentar nggak ke pasar), trus masak buat sarapan, siap2 berangkat, sampe kantor sholat dhuha plus tilawah sambil muroja'ah dikit2 sampe jam 8.45 baru mulai kerja, sebenernya jam kantornya jam 9, tapi karena nebeng suami jadi berangkat jam 7 pagi tiap hari, sampe kantor masih nunggu 1,5 jam sampe jam masuk jd harus dimanfaatin. Pulang jam 5 sore, tapi biasanya molor sampe habis maghrib nunggu jemputan. Sampe kosan isya, trus istirahat bentar sambil nyiapin bumbu sama sayuran yang mau dimasak besok paginya, trus ngerjain kewajiban2 lain: soal MITI dsb, lalu istirahat.
Tentang kosan: relatif murah (1,2 juta/bulan udah tinggal nempatin utk ukuran bandung, full facility kamar nyaman lega, KM dalem, set kasur, lemari gedee, set meja kerja lengkap, internet, tempat jemuran, air bersih lancar, TV kabel, kulkas, air minum, listrik, dapur, laundry, iuran kebersihan n keamanan, atap lantai 3 bisa buat jogging *futsal aja bisa, deket pasar, mini market macem2, atm center, travel, pom bensin, pusdai plus strategis banget di tengah kota deket stasiun, gedung sate, gazibu, dll
Tentang kerjaan: di ashoka...seruuu!!! nemu banyak inspirasi di sini, hari pertama masuk kayak pertama kali ikut workshop, seneng bgt kenal lbh banyak ycm & fellow super inspiratif...hmm susah diungkapkan deh. Apalagi akunya emang suka bgt comdev2an dan nggak pengen kerja do corporate, so NGO jadi first option, bukan kyk orang lain yg anggap ini last option. Hmm... meskipun mungkin nggak bisa lama juga di Ashoka krn ngikut suami pindah2. Gpp, yg penting di manapun ttp berkerya :) Go comdev!
Senengnya... alhamdulillah thn ini bisa beli hewan qurban sendiri :) meskipun gak ikut makan dagingnya hehe... Soalnya beli kambingnya di Surabaya (lebih murah jadi bisa beli buat berdua, alhamdulillah), trus disembelih di sana jadi yang di Bandung cukup tau aja. Long weekend kemarin maen2 ke saudara2 di Jakarta: berenang di rumah keluarga pakde Arif, dapet cerita keliling dunia paling seru dari bude (next turn will be ours, aamiin...), plus berasa honeymoon kedua nginep di cottage padahal rumah, terinspirasi dari keluarga mereka yang punya banyaaak santri di nusantara, sebagian besar di Jakarta, Ngawi, & Bali. Hartanya melimpah, gunung punya, pulau ada, tanah & berbagai macam properti berceceran...dan sebagian besar dimanfaatkan utk pesantren anak2 yatim, yatim piatu, dan dhuafa. Subhanallah... Alhamdulilah, mereka ini sosok2 yang memberi banyak harapan bagi Indonesia. Bagusnya lagi, meskipun pejabat tinggi, anak2 mereka, dididik utk nggak manja: jalan kaki & naik angkot ke mana2, sekolah di pesantren, nggak boleh naik mobil dinas papanya, nggak boleh manfaatin sopir biar mandiri. Para santri dididik utk mandiri juga, diajari mengelola usaha bersama, de el el. Subhanallah...
Habis dari sana perjalanan lanjut... sholat 'Id plus makan segala macem masakan Aceh bareng keluarga pakde Syahrul, kuliner cemilan sama keluarga tante Endah, jalan2 plus makan macem2 seafood sama keluarga tante Nunuk. Kenyaaang... Pas pulang ke Bandung, seneng banget karena ngerasain udara sejuk lagi (maklum ya, Jakarta panas hehe...).
Senang juga diantar bang Dhika ke mana2. Dia anak pakde Syahrul. Sepupuku yg satu ini wawasannya luaaaas....tau banyaaaak hal. Jadi bisa nyambung ngobrol sama siapapun, termasuk sama keluarga dari suami, jadi cepet akrab meskipun baru pertama kali ketemu. Ditambah lagi, background kedua keluarga besar yang dominan perwira tinggi tentara, jadi pasti klop. Alhamdulillah malah nambah banyak keluarga baru dan kenalan dari keluarga om Sru (suami tante Nunuk). Ibunya om Sru udah 84 tahun, tapi masih hobi masak, cuci piring, & nyapu hehe (malu dong yg muda), badan beliau udah kurus bgt tapi giginya masih kuat & rapi, utuh semua (mudanya pasti cantik nih).
Sebenernya kalo liat background keluarga besar kami, jadi agak jiper juga. Tapi yakin, insya Allah kami pun sdg berusaha memberi banyak manfaat, bukan hanya utk diri sendiri, tapi utk agama, keluarga, masyarakat, dan in long term: Indonesia. Bismillah... *yuk lanjut kerja lagi
Minggu, 30 September 2012
Guru iku Digugu lan Ditiru
Guru adalah seseorang yang bisa dituruti dan ditiru. Sedari kecil saya diajari hal itu, makanya pengeeen banget jadi guru biar banyak yang niru! Hehe… Hmm saat SD dulu dalam pikiran saya guru adalah seorang yang luar biasa. Pintar, baik, dan selalu berperilaku benar. Setidaknya, harapan saya terhadap sosok seorang guru memang seperti itu. Nyatanya, sekarang nggak semua guru memiliki kualifikasi di atas. Eh, bukan semua bukan berarti nggak ada lho… Banyak kok guru yang masih memegang teguh nilai-nilai pengabdian memberikan pendidikan terbaik bagi siswa-siswi tercinta. Nggak perlu jauh-jauh nyari contohnya, cukup guru-guru saya sendiri, terutama guru-guru SD.
Okay blog, saya pengen cerita nih
ya tentang dua orang guru SD saya. Beliau berdua adalah legenda guru di SD
saya. Bahkan setelah pensiun beberapa tahun yang lalu pun, nama beliau berdua
tetap dikenal semua siswa sampai sekarang. Yup, gajah mati meninggalkan gading,
manusia mati meninggalkan…hmmm…jasa! Seorang guru bernama Pak Sariman adalah
salah satu orang paling berjasa dan paling berkesan dalam hidup saya. Gimana
enggak? SD saya adalah sebuah sekolah kecil di desa kecil di ujung barat Jawa
Timur, di daerah Gunung Lawu, Magetan. Saat saya SD dulu, pendidikan yang baik
masih menjadi barang mahal bagi kami, anak-anak desa. Meskipun demikian, SD
kami masih masuk daftar sekolah beruntung karena mendapat guru-guru terbaik,
salah satunya Pak Sariman, guru IPA kami. Beliau adalah guru paling sabar yang
pernah saya kenal, lembut memperlakukan murid-muridnya, nggak pernah marah. Aksi
yang paling heroik, para siswaa yang kesurupan pun bisa tenang setelah
ditangani beliau. Herannya, justru dengan sikap seperti itu para siswa jadi
lebih segan pada beliau, selalu mendengar nasehat beliau, dan nggak berani
bandel lagi kalo udah ngobrol ma beliau. Karena sikap seperti itu juga, beliau
menjadi teman yang baik bagi kami, para siswa, jadi teman curhat, teman
ngobrol, teman becanda, teman belajar. Padahal secara usia, pasti beda jauh.
Tapi beliau pintar sekali bergaul dengan para murid. Oh ya, yang pasti beliau
pintaaarrr…jadi kami bisa bebas belajar dan tanya-tanya sama beliau. Eh,
kecuali tanya jawaban ulangan lho ya.
Satu hal paling berkesan dari Pak
Sariman adalah karena beliau yang telah membantu saya menemukan cara berpikir
yang visioner. Hmm…dulu saya sama seperti anak kecil umumnya, nggak punya
cita-cita yang jelas, kalo ditanya cita-cita jawab seadanya, dan nggak tau
gimana caranya mewujudkan cita-cita biar jadi nyata. Beliau sebagai guru IPA
nggak cuma mengajarkan teori, tapi juga mengajak berparaktek, dan juga
menceritakan tentang tokoh-tokoh ilmuwan di seluruh dunia, meminjami saya
buku-buku ensiklopedi yang super langka (apalagi di desa), di perpus sekolah
aja nggak ada…
Salah satu tokoh yang sering
beliau ceritakan adalah tokoh yang juga sering diceritakan mama: BJ. Habibie.
Pak Habibie adalah inspirator yang membuat saya serius bercita-cita menjadi
insinyur. Saya ingin Indonesia bangga sama anak yang dibesarkannya sendiri. Pak
Sariman juga memperkenalkan sebuah sekolah yang paling istimewa bagi saya
hingga saat ini: SMA Negeri 2 Madiun. Bagi anak desa seperti saya, Madiun
adalah kota besar. Berani sekolah di kota itu berarti berani bersaing dengan
sekian ribu pelajar pintar, yang punya fasilitas lengkap, yang rajin les kesana-kemari. Dan saya, hanya anak
yang mengandalkan 5 jam belajar di sekolah. Namun Pak Sariman terus mendorong
saya dan mengatakan bahwa saya pasti bisa masuk sekolah terbaik di kawasan
Madiun-Ponorogo-Pacitan-Magetan-Ngawi, yang saat itu menduduki peringkat ketiga
terbaik se-Jawa Timur. Dalam mimpi pun saya nggak pernah berani mikir sekolah
di sana. Tapi saya pengen belajar, pengen kuliah di salah satu PTN terbaik
Indonesia. Aaah….
Saat saya kelas 5 SD, Pak Sariman
pernah berkata, “Kamu yang terbaik di sekolah ini. Kamu boleh melanjutkan SMP
di mana saja, tapi SMA nya harus di SMA 2 Madiun lho ya.”
“Belajar sungguh-sungguh, berdoa
banyak-banyak, tapi jangan terbebani. Bapak yakin kemampuanmu masuk sekolah itu
nggak perlu diragukan, yang penting mau,” lanjut beliau.
Akhirnya, saya turuti saran
beliau. Daaan… dengan menguatkan tekad, selepas mengetahui hasil UAN SMP saya
pun mendaftarkan diri ke SMA 2 Madiun. Alhamdulillah, semuanya lancaaar…
Sekolah ini istimewa. Di sini
saya menemukan jati diri, menemukan cita-cita, menemukan semangat, menemukan
cara bagaimana harus menjalani hidup. Ya, di sinilah saya bertemu sesosok
makhluk tak berwujud, tapi punya pengaruh sangat kuat dalam hidup, namanya
visi. Di sini juga pertama kaliya saya menemukan passion untuk melakukan
community development… di bidang pertanian pangan! Dan ini benar-benar
memotivasi saya untuk menjadi seorang Insinyur di bidang pertanian. Alhamdulillah,
beberapa tahun setelahnya Allah mengizinkan saya menjadi seorang Sarjana Teknologi
Pertanian, lulusan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB. Saat ini saya
bersama beberapa rekan dalam komunitas peduli inovasi pertanian berusaha
membantu petani dengan memperkenalkan inovasi-inovasi di bidang pertanian yang
mudah, murah, dan tepat guna. Semoga ilmu yang saya dapat bisa bermanfaat untuk
masyarakat luas nantinya, seperti cita-cita saya sedari dulu.
Tentu saja pencapaian saya hingga
saat ini tak lepas dari peran pak Sariman, seorang pahlawan tanpa tanda jasa
sejati. Begitu kuat motivasi beliau berikan, dan begitu banyak informasi beliau
sampaikan, membuat saya bisa melakukan apa yang saya kerjakan sekarang.
Guru kedua yang akan
sayaceritakan bernama Bu Marsi. Beliau ini guru Matematika sekalian IPS. Hebat
kan?? Bisa jago ilmu eksak dan sosial sekaligus lho. Beliau adalah guru yang entah
dengan cara bagaimana bisa membuat anak yang paling benci matematika jadi
telaten dan menyukai mata pelajaran itu. Nggak ada cerita siswa bosan menyimak
kelas beliau. Tapi, overall yang
paling berkesan buat saya adalah ketika beliau mengajarkan IPS khususnya
geografi. Lancar betul beliau menceritakan negara-negara di seluruh dunia,
seolah benar-benar pernah ke sana dan melihatnya langsung. Saya pun jadi merasa
seperti melihat langsung kota-kota dan negara-negara yang beliau ceitakan. Beliau
sering berpesan, para siswa harus memahami peta, supaya nggak ragu berpetualang
ke mana saja. Para siswa perlu menginjakkan kaki di berbagai belahan bumi agar
bisa belajar dan mengambil hikmah dari banyak hal di luar sana. Sebab dunia
nggak cuma selebar daun kelor. Sejak saat itu saya jadi bercita-cita keliling
dunia. “Merantaulah anak-anak, siapapun yang kalian temui di rantau adalah
keluarga.”
Sejak SMA, saya hidup merantau.
Tinggal jauh dari orang tua agar bisa belajar di SMA 2 Madiun, lalu melanjutkan
langkah ke tempat yang lebih jauh ke IPB akibat idealisme cinta pertanian,
sejauh 20 jam perjalanan darat dari rumah. Pesan itulah yang selalu menguatkan saya saat
merasa sendiri jauh dari keluarga, dan saya pun merasa jadi punya banyak sekali
keluarga di setiap tempat. Bahkan saat ke luar negeri pun saya jadi tidak
takut, sebab saya mempercayai kebenaran ucapan Bu Marsi, bahwa ke manapun
merantau, masih akan bisa bertemu tempat-tempat yang kita sebut rumah, dan
orang-orang yang kita sebut keluarga. Jujur, saya punya sisi manja yang merasa enggan
jauh dari keluarga, apalagi keluarga besar saya bukan tipe perantau. Tapi saat
teringat pesan ini, muncul keberanian dalam diri saya untuk mencapai sesuatu
yang ‘lebih’, dan berani berpetualang ke banyak tempat meski nggk ada seorang
pun yang dikenal di sana. terima kasih Bu Marsi.
Hmmm… Kalau semua guru yang
pernah menjadi inspirasi bagi saya diceritakan di sini, rasanya nggak akan
cukup. Jadi sementara ceritanya dua orang dulu ya, guru sejati yang bisa
benar-benar dituruti dan ditiru. Ini guruku, gimana gurumu?
Jumat, 21 September 2012
A Woman Teacher is A Woman Too
Sabtu kemarin, sekali lagi...ada lagi bapak2 yang bilang, "Seorang bapak atau suami boleh terpuruk, tapi seorang ibu atau istri tidak boleh. Saya makin menyadari, perempuan itu, di balik tampilan fisiknya yang lemah lembut, sebenarnya sangat kuat, jauh lebih kuat daripada laki-laki. Mental laki-laki nggak ada apa-apanya kalo nggak didukung perempuan, tapi mental perempuan bisa mandiri sendiri. Saya nggak tau gimana jadinya kehidupan manusa berlangsung kalau perempuan nggak dilahirkan memiliki kekuatan kuar bisa. Udah deh nggak usah ngomongin kehidupan semua manusia, kehidupan satu orang saja nggak akan berjalan. Bukan cuma karena perempuan membawa lahir manusia ke dunia, tapi juga dari tangan perempuanlah lahir karakter yang sesungguhnya."
Hmm... Menurut saya, ucapan bapak2 itu bukan cuma berarti, "Perempuan yang kuat adalah perempuan yang kuat mentalnya, mampu bangun setelah jatuh. Nggak sesederhana itu, tapi perempuan yang kuat harus benar orientasinya, juga prioritasnya."
Please, mental sama orientasi itu beda banget.
Nih saya cerita ya satu kisah nyata.
Saya pernah SD (iya dong, masa tiba2 sarjana?). Sewaktu SD saya punya teman. Pasti lah orang sekolahnya di SD negeri bukan home schooling. Mama dari salah satu teman saya adalah seorang guru SD yang karirnya meroket mengejar kursi kepala sekolah, ya...secara di sana masih jarang lho yang sarjana (di sana gak pandang universitasnya mana, yang penting sarjana udah keren, beda anget sama prinsip saya yang penting kampusnya keren, jurusannya juga ok, gelar sih gak penting2 amat euy). Yup, actually saya emang nggak tertarik sama status sosia yang diperoleh dari hasil pendidikan, jabatan, maupun kekayaan. Itu tanggung jawab boi bukan status gaya2an. pokoknya passion saya belajar. Titik. Dan selama belajar, saya harus dapat kualitas terbaik. Sama2 belajar, sama2 invest waktu, tenaga, pikiran, kenapa nggak nyari yang oke? Kuliah buat dapet gelar? How awful...
Btw, bukan berarti saya bilang mamanya temen saya nggak keren. Oh salah. Beliau keren, ambisinya besar (apapun di luar karir nggak boleh menghambat karir), disiplin luar biasa. Bahkan saking disiplinnya, saya bilang beliau: keras, minus toleransi....sama anak2nya.
Teman saya itu anak ketiga dari 3 bersaudara alias anak terakhir, tapi selama berteman di satu SD itu saya cuma pernah bertemu kakaknya yang nomor 2. Dia bilang kakak pertamanya sudah meninggal.
U know whaat? Temen saya juag meninggal sewaktu kelas 2 SD. Tiga hari sebelum meninggal saya masih maen ke rumahnya, nemenin dia yang temen2nya dipilihin sama mamanya biar nggak jadi anak bandel. Hff... padahal menurut saya usia segitu saatnya belajar bersosialisasi. Eh saya nggak bangga lho mamanya ngizinin saya berteman sama anaknya. Biasa aja soalnya emang semua anak di sekolah ya temen saya. Waktu kami maen, dia baik2 aja kok nggak kenapa2. Nah waktu dia meninggal saya kaget mama bilang dia pergi. Pikiran bocah kecil saya beranggapan kalo dia bakal pulang lagi ke rumah, tapi kata mama dia pergi selamanya buat ketemu Allah. Saya nggak sedih buat dia, karena mama selalu bilang Allah itu baik. Tapi saya sedih buat diri sendiri soalnya dia belum ngembaliin bola yang saya bawa maen ke rumahnya. Hehe...ego bocah banget ya. Btw, kami sama2 tomboy dulu, nggak maen boneka tapi maen bola, meskipun cuma boleh di dalem rumahnya sih. Bertahun kemudian, saya baru tahu kalo temen saya itu nggak punya riwayat penyakit, dia sehat wal'afiat secara jasmani. Tapi secara mental nggak, dia sakit, dia etakutan sama bentakan mamanya tiap kali nyuruh belajar. Teman saya ini memang sejak kelas 1 nilai peernya bagus2, bahkan nilai saya beberapa kali kalah tinggi sama dia. Saya juara 2 dan dia juara 1. Bedanya kami memang nggak setipe dalam belajar. Saya ngandelin penjelasan guru di sekolah. Pulang sekolah maen sama sore, sore ngaji, pulang ngaji makan, ngerjain peer seadanya trus tidur. Beda sama dia yang dipaksa belajar keras, jadwal teratur, target bacaan harus tuntas. Bisa dibilang saya tuh seadanya banget. Sampe lulus SD dunia saya masih maen2 hehe....
Back to the topic, ternyata teman saya itu sangat ketakutan sama ibunya. Sampai suatu ketika sebelum meninggal, habis maghrib itu dia harusnya ngerjain peer, tapi dibentak mamanya karena nggak bisa ngerjain soal perkalian & pembagian. Btw waktu kelas 2 SD saya juga mengalami kesulitan menyelesaikan soal perkalian, padahal saya suka banget matematika. Pernah satu kali ulangan saya nggak ngerjain sama sekali satu soal pun perkalian & pembagian. Akibatnya, pastilah nilai saya 0. Nol ditulis gedeeee... biasanya sih angka 10 dapet lah buat matematika. Hoho... Tapi itu cuma sekali kok, pas saya jenuh belajar. Parahnya saya kelas kepala, kalo udah jenuh efeknya nggak mau. Kalo nggak mau ya nggak bisa dipaksa buat mau hehe... Orang soalnya aja nggak dilihat gimana mau dikerjain. Ups...jangan ditiru ya. Nah saya ingat peer perkalian & pembagian waktu dari angka 6-9. Cukup susah memang, tapi kalo anak kesusahan mbok ya diajari, jangan dibentak, wong guru juga kok...
Setelah dibentak, temen saya yang lama menanggung beban mental itu nggak kuat, langsung step, kejang2, dianggap panas biasa sama orang tuanya. Dini hari temen saya kritis, langsung dirujuk ke rumah sakit, tapi menjelang paginya dia meninggal. Hmm...kalo saya yang cerita jadi nggak sedih ya hehe... Ini bener kisah nyata bukan gubahan dari novel salah asuhan.
Lanjut, suatu kali setelah kepergian teman saya itu, saya bertemu (maaf), orang gila di jalan, mentallity disorder, sakit mental stadium parah. Dia ngamuk2 di teras rumah kosong di depan rumah saya. Waktu malam dia ngomong sendiri keras2, siangnya cuma diem, duduk jongkok sepanjang hari kayak orang ngelamun. Kadang kalo emosinya naik bisa gawat, ngamuk2 sambil lempar2 batu. Ngeri? Iya. Saya tutup semua pintu rumah sambil berdoa kuat2 kalo dia ngamuk, takut tiba2 batunya mental ke kaca jendela rumah. Hff... Saya tanya mama siapa dia, mama cuma jawab dia orang yang mengalami gangguan kejiwaan, udah lama, tapi dulu masih mau nurut nggak ngamuk2 begini. Dulu dia sempet dirawat adik dari mbah putri saya di rumah beliau. Rumah mbah lik ada di balik rumah kosong itu. Mbah lik saya itu emang orangnya baik n penuh kasih sayang, cuma mbah lik yang bisa bikin reda amarah orang yang ngamuk2 itu. Tapi ternyata nggak ngefek setelah kematian temen saya. Selama ini saya nggak pernah tau kalo mbah lik ngangkat anak asuh, ternyata memang anak itu disembunyikan...supaya nggak ketemu orang tuanya!
Saat itu saya nggak pernah berpikir kalau ada hubungan dari 2 kejadian ini. Dua hal yang terpisah jauh dan benar2 beda. sampai suatu ketika saya tau bahwa temen saya pernah bohong, kakak pertamanya belum meninggal, masih hidup...tapi jadi seperti itu. Iya, faktanya orang yang ngamuk2 di rumah kosong depan rumah saya itu adalah kakak pertama dari temen saya. Dia disembunyikan mbah lik dari orang tuanya, terutama mamanya, karena dia punya dendam sama mamanya sendiri sejak masih sangat kecil, akibat didikan & bentakan yang keras. Dia akan ngamuk2 parah kalo ketemu mamanya. Usaha mbah lik cukup berhasil sampai suatu ketika dia juga mendengar kabar tentang kematian adiknya. Sejak saat itu mentalnya benar terganggu, nggak sembuh sampai sekarang, di usianya yang sudah 30 tahun lebih. Iya, kasihan. Kasihan untuk bocah dewasa dengan orang tua masih lengkap dan kaya-raya.
Cerita kakak kedua lain lagi. Saat masuk SMP dia juga memilih ikut orang lain, yang nggak lain adalah mbah lik saya. Nggak mau ikut sama orang tuanya sendiri. Bahkan nggak mau makan dari uang pemberian orang tua. Saat lebaran juga nggak pulang. Menyedihkan. Si anak ini, sempet putus sekolah waktu SMP. Ironi ya, padahal mamanya guru. Tapi ayah saya maksa dia sekolah lagi, maksa om & sepupu saya yang usianya sepantaran sama dia buat membujuk biar mau sekolah lagi. Alhamdulillah beres juga SMA meskipun hasilnya biasa2 saja. Dia marah sama orang tuanya, meskipun nggak sampai dendam. Dia nggak mau manggil mamanya dengan sebutan ibu atau mama, cuma manggil nama Bu X, meskipun masih manggil papanya bapak. Tapi setidaknya, dia masih bilang ke orang tuanya waktu ingin menikah. Tapi lagi2 orang tuanya bermasalah. Sang mama melarang anaknya menikah sebelum punya kerjaan tetap, gaji tetap. Maklum anak laki2. Mamanya melarang anaknya nikah karena anaknya itu cuma berprofesi montir musiman+tukang bangunan+kerja serabutan serabutan. Larangan orang tua lagi2 nggak tepat waktu. Anaknya marah, kabur lagi sampai sekarang, meskipun tetep nggak jadi nikah. Tapi pasti dia pergi membawa luka yang dalam. Tinggal orang tua tinggal sendiri tanpa anak. Si bapak yang kebetulan punya jasa rental kendaraan & alat2 pesta juga jarang di rumah, lebih sering pergi dari pesta ke pesta.
Nggak bermaksud ngomongin aib orang, cuma semoga bisa jadi pelajaran. Bahwa menjadi orang tua, terutama ibu, haruslah bijak. Nggak boleh terlalu keras sama anak. Anak bukan miniatur orang dewasa yang ngerti pikiran orang dewasa, janganlah disuruh2 dengan kalimat perintah serupa orang dewasa, apalagi ditambah bentakan alih2 kasih sayang yang lembut. Mungkin maksud hati pengen anak jadi superior jenius, apalagi ibunya dianggap "orang pinter", tapi kayaknya banyak kok cara yang lebih baik buat menggali potensi anak, bukan menyuruhnya mengikuti ambisi buta orang tua. Anak manapun akan kehilangan trust sama orang tuanya kalo gitu.
Apalagi profesi sang mama itu guru. Menurut saya profesi guru tugas utamanya bukan cekadar mengajar, tetapi mendidik juga, apalagi guru SD. Saat ini keinginan sang mama menjadi kepala sekolah sudah tercapai, reputasi guru galak di SDnya juga tetep nempel. Beliau hampir pensiun, dan mulai merasa kesepian. Saat ini beliau mencari anak asuh, tapi nggak ada yang mau jadi anak asuhnya. Miris. Kasihan. Semoga Allah Yang Mahabaik akan terus menyayanginya.
Guys n gals, kenapa saya ceritain ini? Sekali lagi bukan mau mengumbar keburukan, tapi saya mau cerita, bahwa perempuan yang kuat bukan perempuan yang besar ambisinya, apalagi untuk karir aja. Sekali seorang perempuan merelakan jatuh bangun demi karir dan reputasi di mata dunia saja, hampanya jiwa akan terasa. Prioritas seorang perempuan adalah rumahnya, keluarganya, orientasinya lurus lillahi ta'ala sebagai ibu dalam mendidik anak-anaknya supaya jadi anak sholih & sholihah yang nantinya bisa juga menjadi pembuka pintu surga bagi kedua orang tuanya, dan mengantar diri mereka sendiri serta keluarganya ke surga, selain juga menjalankan tugasnya dengan orientasi yang lurus sebagai istri, anak, warga negara, & anggota masyarakat. That's why, jadi perempuan harus tangguh...
Well, saya nggak pengen membahas soal gender kok. Pastinya itu kodrati. Nggak usah sok disetarakan karena memang yang adil bukan selalu berarti sama setara, tapi adil adalah tepat pada posisinya, pada waktunya, pada kapasitasnya. Sekian.
Hmm... Menurut saya, ucapan bapak2 itu bukan cuma berarti, "Perempuan yang kuat adalah perempuan yang kuat mentalnya, mampu bangun setelah jatuh. Nggak sesederhana itu, tapi perempuan yang kuat harus benar orientasinya, juga prioritasnya."
Please, mental sama orientasi itu beda banget.
Nih saya cerita ya satu kisah nyata.
Saya pernah SD (iya dong, masa tiba2 sarjana?). Sewaktu SD saya punya teman. Pasti lah orang sekolahnya di SD negeri bukan home schooling. Mama dari salah satu teman saya adalah seorang guru SD yang karirnya meroket mengejar kursi kepala sekolah, ya...secara di sana masih jarang lho yang sarjana (di sana gak pandang universitasnya mana, yang penting sarjana udah keren, beda anget sama prinsip saya yang penting kampusnya keren, jurusannya juga ok, gelar sih gak penting2 amat euy). Yup, actually saya emang nggak tertarik sama status sosia yang diperoleh dari hasil pendidikan, jabatan, maupun kekayaan. Itu tanggung jawab boi bukan status gaya2an. pokoknya passion saya belajar. Titik. Dan selama belajar, saya harus dapat kualitas terbaik. Sama2 belajar, sama2 invest waktu, tenaga, pikiran, kenapa nggak nyari yang oke? Kuliah buat dapet gelar? How awful...
Btw, bukan berarti saya bilang mamanya temen saya nggak keren. Oh salah. Beliau keren, ambisinya besar (apapun di luar karir nggak boleh menghambat karir), disiplin luar biasa. Bahkan saking disiplinnya, saya bilang beliau: keras, minus toleransi....sama anak2nya.
Teman saya itu anak ketiga dari 3 bersaudara alias anak terakhir, tapi selama berteman di satu SD itu saya cuma pernah bertemu kakaknya yang nomor 2. Dia bilang kakak pertamanya sudah meninggal.
U know whaat? Temen saya juag meninggal sewaktu kelas 2 SD. Tiga hari sebelum meninggal saya masih maen ke rumahnya, nemenin dia yang temen2nya dipilihin sama mamanya biar nggak jadi anak bandel. Hff... padahal menurut saya usia segitu saatnya belajar bersosialisasi. Eh saya nggak bangga lho mamanya ngizinin saya berteman sama anaknya. Biasa aja soalnya emang semua anak di sekolah ya temen saya. Waktu kami maen, dia baik2 aja kok nggak kenapa2. Nah waktu dia meninggal saya kaget mama bilang dia pergi. Pikiran bocah kecil saya beranggapan kalo dia bakal pulang lagi ke rumah, tapi kata mama dia pergi selamanya buat ketemu Allah. Saya nggak sedih buat dia, karena mama selalu bilang Allah itu baik. Tapi saya sedih buat diri sendiri soalnya dia belum ngembaliin bola yang saya bawa maen ke rumahnya. Hehe...ego bocah banget ya. Btw, kami sama2 tomboy dulu, nggak maen boneka tapi maen bola, meskipun cuma boleh di dalem rumahnya sih. Bertahun kemudian, saya baru tahu kalo temen saya itu nggak punya riwayat penyakit, dia sehat wal'afiat secara jasmani. Tapi secara mental nggak, dia sakit, dia etakutan sama bentakan mamanya tiap kali nyuruh belajar. Teman saya ini memang sejak kelas 1 nilai peernya bagus2, bahkan nilai saya beberapa kali kalah tinggi sama dia. Saya juara 2 dan dia juara 1. Bedanya kami memang nggak setipe dalam belajar. Saya ngandelin penjelasan guru di sekolah. Pulang sekolah maen sama sore, sore ngaji, pulang ngaji makan, ngerjain peer seadanya trus tidur. Beda sama dia yang dipaksa belajar keras, jadwal teratur, target bacaan harus tuntas. Bisa dibilang saya tuh seadanya banget. Sampe lulus SD dunia saya masih maen2 hehe....
Back to the topic, ternyata teman saya itu sangat ketakutan sama ibunya. Sampai suatu ketika sebelum meninggal, habis maghrib itu dia harusnya ngerjain peer, tapi dibentak mamanya karena nggak bisa ngerjain soal perkalian & pembagian. Btw waktu kelas 2 SD saya juga mengalami kesulitan menyelesaikan soal perkalian, padahal saya suka banget matematika. Pernah satu kali ulangan saya nggak ngerjain sama sekali satu soal pun perkalian & pembagian. Akibatnya, pastilah nilai saya 0. Nol ditulis gedeeee... biasanya sih angka 10 dapet lah buat matematika. Hoho... Tapi itu cuma sekali kok, pas saya jenuh belajar. Parahnya saya kelas kepala, kalo udah jenuh efeknya nggak mau. Kalo nggak mau ya nggak bisa dipaksa buat mau hehe... Orang soalnya aja nggak dilihat gimana mau dikerjain. Ups...jangan ditiru ya. Nah saya ingat peer perkalian & pembagian waktu dari angka 6-9. Cukup susah memang, tapi kalo anak kesusahan mbok ya diajari, jangan dibentak, wong guru juga kok...
Setelah dibentak, temen saya yang lama menanggung beban mental itu nggak kuat, langsung step, kejang2, dianggap panas biasa sama orang tuanya. Dini hari temen saya kritis, langsung dirujuk ke rumah sakit, tapi menjelang paginya dia meninggal. Hmm...kalo saya yang cerita jadi nggak sedih ya hehe... Ini bener kisah nyata bukan gubahan dari novel salah asuhan.
Lanjut, suatu kali setelah kepergian teman saya itu, saya bertemu (maaf), orang gila di jalan, mentallity disorder, sakit mental stadium parah. Dia ngamuk2 di teras rumah kosong di depan rumah saya. Waktu malam dia ngomong sendiri keras2, siangnya cuma diem, duduk jongkok sepanjang hari kayak orang ngelamun. Kadang kalo emosinya naik bisa gawat, ngamuk2 sambil lempar2 batu. Ngeri? Iya. Saya tutup semua pintu rumah sambil berdoa kuat2 kalo dia ngamuk, takut tiba2 batunya mental ke kaca jendela rumah. Hff... Saya tanya mama siapa dia, mama cuma jawab dia orang yang mengalami gangguan kejiwaan, udah lama, tapi dulu masih mau nurut nggak ngamuk2 begini. Dulu dia sempet dirawat adik dari mbah putri saya di rumah beliau. Rumah mbah lik ada di balik rumah kosong itu. Mbah lik saya itu emang orangnya baik n penuh kasih sayang, cuma mbah lik yang bisa bikin reda amarah orang yang ngamuk2 itu. Tapi ternyata nggak ngefek setelah kematian temen saya. Selama ini saya nggak pernah tau kalo mbah lik ngangkat anak asuh, ternyata memang anak itu disembunyikan...supaya nggak ketemu orang tuanya!
Saat itu saya nggak pernah berpikir kalau ada hubungan dari 2 kejadian ini. Dua hal yang terpisah jauh dan benar2 beda. sampai suatu ketika saya tau bahwa temen saya pernah bohong, kakak pertamanya belum meninggal, masih hidup...tapi jadi seperti itu. Iya, faktanya orang yang ngamuk2 di rumah kosong depan rumah saya itu adalah kakak pertama dari temen saya. Dia disembunyikan mbah lik dari orang tuanya, terutama mamanya, karena dia punya dendam sama mamanya sendiri sejak masih sangat kecil, akibat didikan & bentakan yang keras. Dia akan ngamuk2 parah kalo ketemu mamanya. Usaha mbah lik cukup berhasil sampai suatu ketika dia juga mendengar kabar tentang kematian adiknya. Sejak saat itu mentalnya benar terganggu, nggak sembuh sampai sekarang, di usianya yang sudah 30 tahun lebih. Iya, kasihan. Kasihan untuk bocah dewasa dengan orang tua masih lengkap dan kaya-raya.
Cerita kakak kedua lain lagi. Saat masuk SMP dia juga memilih ikut orang lain, yang nggak lain adalah mbah lik saya. Nggak mau ikut sama orang tuanya sendiri. Bahkan nggak mau makan dari uang pemberian orang tua. Saat lebaran juga nggak pulang. Menyedihkan. Si anak ini, sempet putus sekolah waktu SMP. Ironi ya, padahal mamanya guru. Tapi ayah saya maksa dia sekolah lagi, maksa om & sepupu saya yang usianya sepantaran sama dia buat membujuk biar mau sekolah lagi. Alhamdulillah beres juga SMA meskipun hasilnya biasa2 saja. Dia marah sama orang tuanya, meskipun nggak sampai dendam. Dia nggak mau manggil mamanya dengan sebutan ibu atau mama, cuma manggil nama Bu X, meskipun masih manggil papanya bapak. Tapi setidaknya, dia masih bilang ke orang tuanya waktu ingin menikah. Tapi lagi2 orang tuanya bermasalah. Sang mama melarang anaknya menikah sebelum punya kerjaan tetap, gaji tetap. Maklum anak laki2. Mamanya melarang anaknya nikah karena anaknya itu cuma berprofesi montir musiman+tukang bangunan+kerja serabutan serabutan. Larangan orang tua lagi2 nggak tepat waktu. Anaknya marah, kabur lagi sampai sekarang, meskipun tetep nggak jadi nikah. Tapi pasti dia pergi membawa luka yang dalam. Tinggal orang tua tinggal sendiri tanpa anak. Si bapak yang kebetulan punya jasa rental kendaraan & alat2 pesta juga jarang di rumah, lebih sering pergi dari pesta ke pesta.
Nggak bermaksud ngomongin aib orang, cuma semoga bisa jadi pelajaran. Bahwa menjadi orang tua, terutama ibu, haruslah bijak. Nggak boleh terlalu keras sama anak. Anak bukan miniatur orang dewasa yang ngerti pikiran orang dewasa, janganlah disuruh2 dengan kalimat perintah serupa orang dewasa, apalagi ditambah bentakan alih2 kasih sayang yang lembut. Mungkin maksud hati pengen anak jadi superior jenius, apalagi ibunya dianggap "orang pinter", tapi kayaknya banyak kok cara yang lebih baik buat menggali potensi anak, bukan menyuruhnya mengikuti ambisi buta orang tua. Anak manapun akan kehilangan trust sama orang tuanya kalo gitu.
Apalagi profesi sang mama itu guru. Menurut saya profesi guru tugas utamanya bukan cekadar mengajar, tetapi mendidik juga, apalagi guru SD. Saat ini keinginan sang mama menjadi kepala sekolah sudah tercapai, reputasi guru galak di SDnya juga tetep nempel. Beliau hampir pensiun, dan mulai merasa kesepian. Saat ini beliau mencari anak asuh, tapi nggak ada yang mau jadi anak asuhnya. Miris. Kasihan. Semoga Allah Yang Mahabaik akan terus menyayanginya.
Guys n gals, kenapa saya ceritain ini? Sekali lagi bukan mau mengumbar keburukan, tapi saya mau cerita, bahwa perempuan yang kuat bukan perempuan yang besar ambisinya, apalagi untuk karir aja. Sekali seorang perempuan merelakan jatuh bangun demi karir dan reputasi di mata dunia saja, hampanya jiwa akan terasa. Prioritas seorang perempuan adalah rumahnya, keluarganya, orientasinya lurus lillahi ta'ala sebagai ibu dalam mendidik anak-anaknya supaya jadi anak sholih & sholihah yang nantinya bisa juga menjadi pembuka pintu surga bagi kedua orang tuanya, dan mengantar diri mereka sendiri serta keluarganya ke surga, selain juga menjalankan tugasnya dengan orientasi yang lurus sebagai istri, anak, warga negara, & anggota masyarakat. That's why, jadi perempuan harus tangguh...
Well, saya nggak pengen membahas soal gender kok. Pastinya itu kodrati. Nggak usah sok disetarakan karena memang yang adil bukan selalu berarti sama setara, tapi adil adalah tepat pada posisinya, pada waktunya, pada kapasitasnya. Sekian.
Kamis, 26 Juli 2012
jalan juang
"Dek, kenapa mau ngurusin mas?"
"Karena mas perlu dikurusin hehe..."
Ooops salah, ini benernya:
"Karena ngurus suami adalah jihadnya istri ^^"
Alhamdulillah, Allah telah melapangkan jalan juang ini, semoga makin menambah berkah, makin muntijah langkah kita menggapai mardhotillah...
Makasih utk doa2 yg nggak pernah putus sayang...
"Karena mas perlu dikurusin hehe..."
Ooops salah, ini benernya:
"Karena ngurus suami adalah jihadnya istri ^^"
Alhamdulillah, Allah telah melapangkan jalan juang ini, semoga makin menambah berkah, makin muntijah langkah kita menggapai mardhotillah...
Makasih utk doa2 yg nggak pernah putus sayang...
Rabu, 25 Juli 2012
tentang hidup
Hidup bukanlah tentang berkarir di masa muda lalu berderma di masa tua. Karena kita tidak ernah tau kapan umur kan berujung. Sempat bertemukah kita dengan usia tua. Dan aku berjanji padamu, insya Allah kau akan berhenti tumbuh menjadi orang besar saat kau mulai memikirkan dirimu sendiri saja, karena orang besar tidak melakukannya, mereka berjuang agar umurnya bermanfaat, tidak hanya untuk dirinya sendiri, bahkan tidak hanya untuk orang di sampingnya,, tetapi untuk banyak orang dalam lingkup yang lebih luas. Maka hidup adalah tentang janji suci, "Alastu birobbikum? Qoou bala syahidna." (QS. Al-A'raf: 172)
Sebodo amat pandangan orang, bukankah yang terpenting pendapat-Nya?
Sebodo amat pandangan orang, bukankah yang terpenting pendapat-Nya?
Selasa, 24 Juli 2012
Two Voices One Song
It’s so rare to find a friend like you
Somehow when you’re around
The sky is always blue
The way we talk
The things you say
The way you make it all okay
And how you know
All of my jokes
But you laugh anyway
Somehow when you’re around
The sky is always blue
The way we talk
The things you say
The way you make it all okay
And how you know
All of my jokes
But you laugh anyway
If I could wish for one thing
I take the smile that you bring
Wherever you go in this world
I’ll come around
Together we dream the same dream
Forever I’m here for you
You’re here for me
Oh~ Two voices one song
I take the smile that you bring
Wherever you go in this world
I’ll come around
Together we dream the same dream
Forever I’m here for you
You’re here for me
Oh~ Two voices one song
And anywhere you are, you know I’ll be around
And when you call my name, I’ll listen for the sound
And when you call my name, I’ll listen for the sound
Senin, 23 Juli 2012
Tentang anak2
Saat ini aku ingin bicara, tentang orang tua2 kita, tentang kita, dan tentang anak2 kita. Aku ingin bercerita tentang sebuah kisah sedih yang mungkin tidak membuatmu menangis. Tahukah kau berapa banyak orang tua yang didurhakai anaknya? Atau tahukah kau bagaimana rasanya? Ah entahlah, aku sendirir belum tau kapan akan benar2 menjadi orang tua, tp aku tau, saat ini aku pun sudah bertugas menimang peradaban. Dan aku pun seorang anak, yang tentu tidak sepenuhnya mengerti tentang orang tuaku sebelum aku menjadi seperti mereka. Tapi memang ironis bukan melihat anak durhaka pada orang tuanya?
Seorang anak seperti sinar matahari bukan? Tapi bagaimana jika ketika ia tumbuh besar tiba2 tumbuh pula potensi kenakalannya. Entah nasehat apapun tak dipedulikannya. Ayat2 Al-Qur'an? Apalagi.... Orang tua jengkel alang-kepalang, Namun sampai pada titik tertentu, orang tua normalnya belajar, dan bermuhasabah. Mungkin, bukan soal perhatian dan kasih sayang kurang mereka berikan, karena banyak anak yatim piatu tumbuh sebaik seharusnya, tapi mungkin, anak2 mereka pernah makan uang riba. Mungkin, di dalam darah mereka mengalir sumber haram. Atau mungkin, orang tua memang terlambat memerhatikan aspek ruhiyah anak2nya. Tak jarang aku mendengar seorang ibu berkata, "Nanti anak yang ini mau saya masukkan pesantren saja, biar nggak kayak masnya."
Jadi anak sholih memang nggak harus masuk pesantren, dan masuk pesantren belum tentu sholih. Tapi orang tua mana yg nggak pengen punya anak sholih? Bagus memang bisa belajar dari pengalaman, tapi soal pengalaman yg nggak menyenangkan, nggak perlu dialami sendiri kan? Cukup belajar dari orang lain. Jadi mari pelajari anak2, semoga tidak terlambat kita memerhatikan segala keperluannya, termasuk kebutuhan ruhiyahnya. Nanti, aku mau jadi pengasuh anak2ku sampai mereka berumur 7 tahun. Sampai saat itu mereka akan belajar tentang akhlak, dan belajar bersosialisasi di tempat2 resmi. Nanti setelahnya, ayo cari pesantren tahfidz yg diakui setara SD, atau kalau terpaksa belum nemu yg akreditasinya memenuhi syarat, bikin program sekolah & nyantri saja, yg penting si anak enjoy. Semoga, kita nggak terlambat memperkenalkan Al-Qur'an pada anak2. Semoga kasus ibu di atas nggak semakin banyak, dan semoga...kitapun termasuk anak2 sholih bagi orang tua kita......
Seorang anak seperti sinar matahari bukan? Tapi bagaimana jika ketika ia tumbuh besar tiba2 tumbuh pula potensi kenakalannya. Entah nasehat apapun tak dipedulikannya. Ayat2 Al-Qur'an? Apalagi.... Orang tua jengkel alang-kepalang, Namun sampai pada titik tertentu, orang tua normalnya belajar, dan bermuhasabah. Mungkin, bukan soal perhatian dan kasih sayang kurang mereka berikan, karena banyak anak yatim piatu tumbuh sebaik seharusnya, tapi mungkin, anak2 mereka pernah makan uang riba. Mungkin, di dalam darah mereka mengalir sumber haram. Atau mungkin, orang tua memang terlambat memerhatikan aspek ruhiyah anak2nya. Tak jarang aku mendengar seorang ibu berkata, "Nanti anak yang ini mau saya masukkan pesantren saja, biar nggak kayak masnya."
Jadi anak sholih memang nggak harus masuk pesantren, dan masuk pesantren belum tentu sholih. Tapi orang tua mana yg nggak pengen punya anak sholih? Bagus memang bisa belajar dari pengalaman, tapi soal pengalaman yg nggak menyenangkan, nggak perlu dialami sendiri kan? Cukup belajar dari orang lain. Jadi mari pelajari anak2, semoga tidak terlambat kita memerhatikan segala keperluannya, termasuk kebutuhan ruhiyahnya. Nanti, aku mau jadi pengasuh anak2ku sampai mereka berumur 7 tahun. Sampai saat itu mereka akan belajar tentang akhlak, dan belajar bersosialisasi di tempat2 resmi. Nanti setelahnya, ayo cari pesantren tahfidz yg diakui setara SD, atau kalau terpaksa belum nemu yg akreditasinya memenuhi syarat, bikin program sekolah & nyantri saja, yg penting si anak enjoy. Semoga, kita nggak terlambat memperkenalkan Al-Qur'an pada anak2. Semoga kasus ibu di atas nggak semakin banyak, dan semoga...kitapun termasuk anak2 sholih bagi orang tua kita......
Senin, 02 Juli 2012
New Life
"Maybe it's true that life is like a book. Once we put an end to a chapter, it only means that we're ready to open another one. Till it reaches the very end of all chapters."
Alhamdulillah, hari ini genap 16 hari aku menyandang status baru: jadi seorang istri, genap 16 hari pula aku punya keluarga baru, keluarga yg sangat hangat, bahkan aku merasa sudah bertahun2 ada dalam keluarga ini. Sekarang aku puya 2 mama, punya nenek lagi, dan punya 3 kakak (mau nambah jadi 4 :D). Bahagia, alhamdulillah........ genap 8 hari tinggal di rumah baru. Oh iya, sebelumnya minta maaf kalau teman2 kampus maupun orang lain di luar keluarga nggak dilibatkan dalam acara walimahan (kecuali ratih n pandu utk ngurus perjalanan), sengaja, utk menghargai keluarga besar yg sangat excited dg kabar ini, terutama ayah dan mama yg dg bahagia menerima menantu (saat itu calon), padahal anaknya nggak pernah ngenalin cowok, ngekost sejak SMA dan tiba2 bgitu pulang ngajuin calon suami hehe. Semoga Allah membalas kebaikan seluruh keluarga besar Gutomo Parto Suwiryo dan keluarga besar Atmo Suwito Yadi. Btw, kalo ada yg kaget, saya punya pendapat: orang lain aja kaget, apalagi yg jalanin, kaget berlipat2 :D
Yup, tapi jodoh urusan Allah, dan aku bersyukur atas kehendak-Nya, memberikan suami yg luar biasa baik dan sayang sama keluarga, ditambah keluarga baru yg nggak cukup dibilang dg istilah: hebat!
Mmm..sedikit jd perhatianku, ada yg bilang ini nikahan keluarga besar militer (ah ayahku bukan orang militer kok...). Ada juga yg bilang nikahan anak sm keponakan pejabat magetan (plis deh, itu kan temporary). Whatever, insya Allah kesediaan kami menikah adalah karena punya iman, dan ingin diridhoi atas setiap langkah. Alhamdulillah, semua lancarr meskipun setiap kebutuhan ditangani sendiri (tanpa jasa WO/catering, cuma dekor ma rias aja nyewa). Hoho..pegel juga cz tamunya 3000an, acara dari jam 9 pagi sampe jam 9 malem. Anyway, barakallah for us :)
Nanti, mungkin akan kusambung cerita tentang suamiku yang (hmm..apa ya? simpen aja buat diri sendiri deh, rasanya istilah pengertian nggak cukup), mama mertuaku yg luar biasa, nenek dan kakak2 ipar yg penyayang sekali, om, tante, sepupu2 baru yg super baiiik.. plus keponakan2 baru (esp: dzaky yg maunya nempel terus sama tante barunya), awas om ari nanti cemburu :D
Aku senang bisa pulang ke dekat rumah, aku betah di surabaya, senang sekali. Di perumahan ini nggak kerasa panas, tempatnya juga dekat masjid agung Al-Akbar mungkin cuma sekilo, jadi mas ari rajin ngajak ta'lim di sana. Yup, kan tetep harus belajar banyak ilmu syar'i. Lingkungan kami juga baik, teman2 baru (tmn maen n tmn ngaji) juga menyenangkan. So much welcoming :). Oya, awalnya aku bisa ngerjain semua urusan rumah, kecuali masak hehe... Sekarang, bisa bikin masakan2 yg ngangenin lho hehe...u'll never know till u've tried deh.
Hmm...sementara, ceritanya dicukupkan dg hamdallah dulu: alhamdulillah... Lain kali, semoga akan dilanjutkan
Selasa, 15 Mei 2012
Kalah Sama Semut?
Suatu siang, ketika berjalan di kampus, ada sesuatu yang menarik perhatian. Ada dua mahasiswa berjalan di belakang saya sambil ngobrol. Salah satu di antara mereka mengeluh kecapean bawa tanaman hasil panen, sementara yang satu lagi bilang, "Jangan dikit2 ngeluh, tau nggak lo semut aja bisa ngangkat beban sebesar 48-50 kali beratnya? Tuh masa' kalah smaa semut?" Trus yang satu lagi nyaut, "Emang lo pernah liat apa ada orang bisa ngangkat beban sebesar 50 kali berat badannya?"
Interesting, pikir saya. Kebayang nggak 1 orang ngangkat beban setara 50 kali berat badannya? Kawaiiii... Mau nggak mau pembicaraan mereka membuat saya teringat tentang daya pikul, atau quwwatu tahammul. Lalu saya pikir, memang dimensi manusia pasti beda dengan semut. Begini, semut mengangkat beban sampai 50 kali berat tubuhnya itu, kira2 karena memang beban yang harus diangkutnya hanya punya dimensi fisik saja. Nah manusia, tentu nggak cuma ngangkat beban yang sifatnya fisik, tapi juga beban2 lain yang didistribusikan pada ruh dan fikirnya. Dan ini semua membuat manusia mempunyai aset yang disebut kapasitas.
Good news, nggak ada yang membantah kalau dinyatakan bahwa kapasitas ini bisa diupgrade. Itulah salah satu kelebihan ciptaan Allah yang disebut manusia ini. Hebatnya lagi, dengan beban yang didistribusikan dalam berbagai dimensi itu, manusia jadi bisa mengangkat beban fisik sampai ratusan kali beban tubuhnya. Misalnya, manusia mampu menginvensi alat bantu untuk mengangkat, apapun itu bentuknya, termasuk truck dan kontainer. Hehe... ini cuma pikiran iseng saya aja sih, tapi menarik.
Ujung2nya, saya jadi nanya, sebenarnya sudah seberapa besar potensi kapasitas diri yang sudah saya manfaatkan? Hufft... masa' masih kalah sama semut? Masa' masih mau ikutan ngeluh?
Yatta! Karena udah punya banyak dimensi gini, harus bisa manfaatin dong. So, let's just move on! :)
Rabu, 09 Mei 2012
Naik Gunung
Ooooo...for once in a lifetime, i really..really..really..wanna climb a mount!
Gede Pangrango please...kayak apa sih Mandalawangi tuh? *kemakan Gie
Hmm..dulu aku hampir ngedaki Puncak lawu, tapi apa daya ijin gak didapet. Aku juga pengen ke 3S di Jateng, meskipun agak ngeri juga sih denger pamornya. Pengen ke Bromo...tapi more than those all...pengen bangeeettt ke Mahameru n Rinjani...can i? kalo carstensz pyramid mah...hmmm...
Anw, mendaki gunung tu kayak belajar ya. kalo sampe di puncak (pemahaman), kita bisa lebih ngerti indahnya (alam semesta n ilmu pengetahuan)
Gede Pangrango please...kayak apa sih Mandalawangi tuh? *kemakan Gie
Hmm..dulu aku hampir ngedaki Puncak lawu, tapi apa daya ijin gak didapet. Aku juga pengen ke 3S di Jateng, meskipun agak ngeri juga sih denger pamornya. Pengen ke Bromo...tapi more than those all...pengen bangeeettt ke Mahameru n Rinjani...can i? kalo carstensz pyramid mah...hmmm...
Anw, mendaki gunung tu kayak belajar ya. kalo sampe di puncak (pemahaman), kita bisa lebih ngerti indahnya (alam semesta n ilmu pengetahuan)
transisi
All i feel now is about transition. From student (being a univ student was truly an honour to me) to "ordinary" citizen, from a childish girl to a (little bit) mature woman, from west Java to East Java. Semuanya tentang transisi, perubahan status mahasiswa jadi umum, dari dapat kiriman jadi cari sendiri hehehe... tapi yang paling kerasa adalah perubahan tarbawi. Ternyata transisi ini menimbulkan pergeseran peran yg sangat signifikan, dari kampus ke desa... Subhanallah...
Kuatkan..kuatkan..kuatkan Ya Rabb...
Dan suatu ketika, saat kau tenggelam memikirkan banyak hal, menyusun langkah menapaki dunia barumu, tia2 sms seseorang menyapamu, "Dek apa kabar? Ada yg bisa mbak bantu?"
Saat itu kau merasa semua urusanmu beres, padahal sebenarnya tidak terjadi apa2, kau masih harus menyelesaikan segalanya, tapi kau merasa sangat terbantu. Lebih dari itu, kau merasa...dicintai. Ya, saat kau hanya butuh ekstra time, kau mendapat lebih: kasih sayang, ketulusan, cinta saudaramu, etc...
Lalu saat itu juga kau mengerti, bahwa di bawah belahan langit bagian sana, ada orang yang punya tujuan sama denganmu, dengan langkah berbeda, cara yang beda, tapi cita2nya sama denganmu. bahkan mungkin, mereka berjuang jauh lebih keras, lebih sungguh2, dengan pengrbanan yang pasti jauh lebih besar dibandingkan yg kau beri. Bukan cuma infak uang, waktu, tenaga, pikiran, seluruh diri dan keluarga mereka pun telah diwakafkan. Demi indahnya balasan yang lebih tak ternilai besarnya. Lalu bagaimana denganmu?
*Terima kasih untuk cinta, ketulusan, dan pengorbanan guru2ku
dedicated to: murobbiyah2ku
Kuatkan..kuatkan..kuatkan Ya Rabb...
Dan suatu ketika, saat kau tenggelam memikirkan banyak hal, menyusun langkah menapaki dunia barumu, tia2 sms seseorang menyapamu, "Dek apa kabar? Ada yg bisa mbak bantu?"
Saat itu kau merasa semua urusanmu beres, padahal sebenarnya tidak terjadi apa2, kau masih harus menyelesaikan segalanya, tapi kau merasa sangat terbantu. Lebih dari itu, kau merasa...dicintai. Ya, saat kau hanya butuh ekstra time, kau mendapat lebih: kasih sayang, ketulusan, cinta saudaramu, etc...
Lalu saat itu juga kau mengerti, bahwa di bawah belahan langit bagian sana, ada orang yang punya tujuan sama denganmu, dengan langkah berbeda, cara yang beda, tapi cita2nya sama denganmu. bahkan mungkin, mereka berjuang jauh lebih keras, lebih sungguh2, dengan pengrbanan yang pasti jauh lebih besar dibandingkan yg kau beri. Bukan cuma infak uang, waktu, tenaga, pikiran, seluruh diri dan keluarga mereka pun telah diwakafkan. Demi indahnya balasan yang lebih tak ternilai besarnya. Lalu bagaimana denganmu?
*Terima kasih untuk cinta, ketulusan, dan pengorbanan guru2ku
dedicated to: murobbiyah2ku
alif kecil
Sekali lagi.. inget para alif kecil itu. Anak2 kampung cinangneng yang biasa jualan donat & gorengan di kampus. Sekaran nggak ada mereka lagi, tapi akhir2 ini ada anak2 Badoneng melakukan hal serupa.
My head's a little fulfilled with anything that i merely think about myself, and they've opened my eyes (again). There's so many things to do. Wake up soon if u really wanna be thankful of everything u've got. Hff...still thinkig of them.
-tbc-
My head's a little fulfilled with anything that i merely think about myself, and they've opened my eyes (again). There's so many things to do. Wake up soon if u really wanna be thankful of everything u've got. Hff...still thinkig of them.
-tbc-
Senin, 07 Mei 2012
jalan...
Sore hari, udara dingin, di bawah sinar lampu jalanan kota.
Trotoar di sana lebih ramai dibandingkan jalan rayanya. Ya, karena lebih banyak pejalan kaki dan pengendara sepeda dibandingkan kendaraan bermotor. Jalanan di perumahannya juga menenangkan. Bantaran sungai, jangan tanya, bersih, sejuk, harum udaranya, jernih airnya...
Everyone walks here... But personally, i think there's something different. Ada kesan yang unik saya rasakan dari jalanannya, sejuk, tenang. Entah mengapa damai sekali rasanya. Ada sebuah perasaa penuh nilai dan hikmah. mungkin kata yang mewakilinya bernama betah. Ternyata saya bahagia pernah berjalan di kota ini. Terima kasih Kyoto
Trotoar di sana lebih ramai dibandingkan jalan rayanya. Ya, karena lebih banyak pejalan kaki dan pengendara sepeda dibandingkan kendaraan bermotor. Jalanan di perumahannya juga menenangkan. Bantaran sungai, jangan tanya, bersih, sejuk, harum udaranya, jernih airnya...
Everyone walks here... But personally, i think there's something different. Ada kesan yang unik saya rasakan dari jalanannya, sejuk, tenang. Entah mengapa damai sekali rasanya. Ada sebuah perasaa penuh nilai dan hikmah. mungkin kata yang mewakilinya bernama betah. Ternyata saya bahagia pernah berjalan di kota ini. Terima kasih Kyoto
Kamis, 26 April 2012
jadi...
sebenarnya saya ingin menuliskan tiap pengalaman, karena terlalu banyak pengalaman yang dapat dituliskna untuk diambil maknanya. apalagi, saya nggak suka cerita pakai lisan, mungkin cerita lisan cuma ke 1 atau 2 orang, selebihnya lebih suka saya tulis, meskipun nggak semuanya dipublish... so, welcome to blogspot (again)!!
jadi perempuan harus kuat
Sabtu kemarin, sekali lagi...ada lagi bapak2 yang bilang, "Seorang bapak atau suami boleh terpuruk, tapi seorang ibu atau istri tidak boleh. Saya makin menyadari, perempuan itu, di balik tampilan fisiknya yang lemah lembut, sebenarnya sangat kuat, jauh lebih kuat daripada laki-laki. Mental laki-laki nggak ada apa-apanya kalo nggak didukung perempuan, tapi mental perempuan bisa mandiri sendiri. Saya nggak tau gimana jadinya kehidupan manusa berlangsung kalau perempuan nggak dilahirkan memiliki kekuatan kuar bisa. Udah deh nggak usah ngomongin kehidupan semua manusia, kehidupan satu orang saja nggak akan berjalan. Bukan cuma karena perempuan membawa lahir manusia ke dunia, tapi juga dari tangan perempuanlah lahir karakter yang sesungguhnya."
Hmm... Menurut saya, ucapan bapak2 itu bukan cuma berarti, "Perempuan yang kuat adalah perempuan yang kuat mentalnya, mampu bangun setelah jatuh. Nggak sesederhana itu, tapi perempuan yang kuat harus benar orientasinya, juga prioritasnya."
Please, mental sama orientasi itu beda banget.
Nih saya cerita ya satu kisah nyata.
Saya pernah SD (iya dong, masa tiba2 sarjana?). Sewaktu SD saya punya teman. Pasti lah orang sekolahnya di SD negeri bukan home schooling. Mama dari salah satu teman saya adalah seorang guru SD yang karirnya meroket mengejar kursi kepala sekolah, ya...secara di sana masih jarang lho yang sarjana (di sana gak pandang universitasnya mana, yang penting sarjana udah keren, beda anget sama prinsip saya yang penting kampusnya keren, jurusannya juga ok, gelar sih gak penting2 amat euy). Yup, actually saya emang nggak tertarik sama status sosia yang diperoleh dari hasil pendidikan, jabatan, maupun kekayaan. Itu tanggung jawab boi bukan status gaya2an. pokoknya passion saya belajar. Titik. Dan selama belajar, saya harus dapat kualitas terbaik. Sama2 belajar, sama2 invest waktu, tenaga, pikiran, kenapa nggak nyari yang oke? Kuliah buat dapet gelar? How awful...
Btw, bukan berarti saya bilang mamanya temen saya nggak keren. Oh salah. Beliau keren, ambisinya besar (apapun di luar karir nggak boleh menghambat karir), disiplin luar biasa. Bahkan saking disiplinnya, saya bilang beliau: keras, minus toleransi....sama anak2nya.
Teman saya itu anak ketiga dari 3 bersaudara alias anak terakhir, tapi selama berteman di satu SD itu saya cuma pernah bertemu kakaknya yang nomor 2. Dia bilang kakak pertamanya sudah meninggal.
U know whaat? Temen saya juag meninggal sewaktu kelas 2 SD. Tiga hari sebelum meninggal saya masih maen ke rumahnya, nemenin dia yang temen2nya dipilihin sama mamanya biar nggak jadi anak bandel. Hff... padahal menurut saya usia segitu saatnya belajar bersosialisasi. Eh saya nggak bangga lho mamanya ngizinin saya berteman sama anaknya. Biasa aja soalnya emang semua anak di sekolah ya temen saya. Waktu kami maen, dia baik2 aja kok nggak kenapa2. Nah waktu dia meninggal saya kaget mama bilang dia pergi. Pikiran bocah kecil saya beranggapan kalo dia bakal pulang lagi ke rumah, tapi kata mama dia pergi selamanya buat ketemu Allah. Saya nggak sedih buat dia, karena mama selalu bilang Allah itu baik. Tapi saya sedih buat diri sendiri soalnya dia belum ngembaliin bola yang saya bawa maen ke rumahnya. Hehe...ego bocah banget ya. Btw, kami sama2 tomboy dulu, nggak maen boneka tapi maen bola, meskipun cuma boleh di dalem rumahnya sih. Bertahun kemudian, saya baru tahu kalo temen saya itu nggak punya riwayat penyakit, dia sehat wal'afiat secara jasmani. Tapi secara mental nggak, dia sakit, dia etakutan sama bentakan mamanya tiap kali nyuruh belajar. Teman saya ini memang sejak kelas 1 nilai peernya bagus2, bahkan nilai saya beberapa kali kalah tinggi sama dia. Saya juara 2 dan dia juara 1. Bedanya kami memang nggak setipe dalam belajar. Saya ngandelin penjelasan guru di sekolah. Plang sekolah maen sama sore, sore ngaji, pulang ngaji makan, ngerjain peer seadanya trus tidur. Beda sama dia yang dipaksa belajar keras, jadwal teratur, target bacaan harus tuntas. Bisa dibilang saya tuh seadanya banget. Sampe lulus SD dunia saya masih maen2 hehe....
Back to the topic, ternyata teman saya itu sangat ketakutan sama ibunya. Sampai suatu ketika sebelum meninggal, habis maghrib itu dia harusnya ngerjain peer, tapi dibentak mamanya karena nggak bisa ngerjain soal perkalian & pembagian. Btw waktu kelas 2 SD saya juga mengalami kesulitan menyelesaikan soal perkalian, padahal saya suka banget matematika. Pernah satu kali ulangan saya nggak ngerjain sama sekali satu soal pun perkalian & pembagian. Akibatnya, pastilah nilai saya 0. Nol ditulis gedeeee... biasanya sih angka 10 dapet lah buat matematika. Hoho... Tapi itu cuma sekali kok, pas saya jenuh belajar. Parahnya saya kelas kepala, kalo udah jenuh efeknya nggak mau. Kalo nggak mau ya nggak bisa dipaksa buat mau hehe... Orang soalnya aja nggak dilihat gimana mau dikerjain. Ups...jangan ditiru ya. Nah saya ingat peer perkalian & pembagian waktu dari angka 6-9. Cukup susah memang, tapi kalo anak kesusahan mbok ya diajari, jangan dibentak, wong guru juga kok...
Setelah dibentak, temen saya yang lama menanggung beban mental itu nggak kuat, langsung step, kejang2, dianggap panas biasa sama orang tuanya. Dini hari temen saya kritis, langsung dirujuk ke rumah sakit, tapi menjelang paginya dia meninggal. Hmm...kalo saya yang cerita jadi nggak sedih ya hehe... Ini bener kisah nyata bukan gubahan dari novel salah asuhan.
Lanjut, suatu kali setelah kepergian teman saya itu, saya bertemu (maaf), orang gila di jalan, mentallity disorder, sakit mental stadium parah. Dia ngamuk2 di teras rumah kosong di depan rumah saya. Waktu malam dia ngomong sendiri keras2, siangnya cuma diem, duduk jongkok sepanjang hari kayak orang ngelamun. Kadang kalo emosinya naik bisa gawat, ngamuk2 sambil lempar2 batu. Ngeri? Iya. Saya tutup semua pintu rumah sambil berdoa kuat2 kalo dia ngamuk, takut tiba2 batunya mental ke kaca jendela rumah. Hff... Saya tanya mama siapa dia, mama cuma jawab dia orang yang mengalami gangguan kejiwaan, udah lama, tapi dulu masih mau nurut nggak ngamuk2 begini. Dulu dia sempet dirawat adik dari mbah putri saya di rumah beliau. Rumah mbah lik ada di balik rumah kosong itu. Mbah lik saya itu emang orangnya baik n penuh kasih sayang, cuma mbah lik yang bisa bikin reda amarah orang yang ngamuk2 itu. Tapi ternyata nggak ngefek setelah kematian temen saya. Selama ini saya nggak pernah tau kalo mbah lik ngangkat anak asuh, ternyata memang anak itu disembunyikan...supaya nggak ketemu orang tuanya!
Saat itu saya nggak pernah berpikir kalau ada hubungan dari 2 kejadian ini. Dua hal yang terpisah jauh dan benar2 beda. sampai suatu ketika saya tau bahwa temen saya pernah bohong, kakak pertamanya belum meninggal, masih hidup...tapi jadi seperti itu. Iya, faktanya orang yang ngamuk2 di rumah kosong depan rumah saya itu adalah kakak pertama dari temen saya. Dia disembunyikan mbah lik dari orang tuanya, terutama mamanya, karena dia punya dendam sama mamanya sendiri sejak masih sangat kecil, akibat didikan & bentakan yang keras. Dia akan ngamuk2 parah kalo ketemu mamanya. Usaha mbah lik cukup berhasil sampai suatu ketika dia juga mendengar kabar tentang kematian adiknya. Sejak saat itu mentalnya benar terganggu, nggak sembuh sampai sekarang, di usianya yang sudah 30 tahun lebih. Iya, kasihan. Kasihan untuk bocah dewasa dengan orang tua masih lengkap dan kaya-raya.
Cerita kakak kedua lain lagi. Saat masuk SMP dia juga memilih ikut orang lain, yang nggak lain adalah mbah lik saya. Nggak mau ikut sama orang tuanya sendiri. Bahkan nggak mau makan dari uang pemberian orang tua. Saat lebaran juga nggak pulang. Menyedihkan. Si anak ini, sempet putus sekolah waktu SMP. Ironi ya, padahal mamanya guru. Tapi ayah saya maksa dia sekolah lagi, maksa om & sepupu saya yang usianya sepantaran sama dia buat membujuk biar mau sekolah lagi. Alhamdulillah beres juga SMA meskipun hasilnya biasa2 saja. Dia marah sama orang tuanya, meskipun nggak sampai dendam. Dia nggak mau manggil mamanya dengan sebutan ibu atau mama, cuma manggil nama Bu X, meskipun masih manggil papanya bapak. Tapi setidaknya, dia masih bilang ke orang tuanya waktu ingin menikah. Tapi lagi2 orang tuanya bermasalah. Sang mama melarang anaknya menikah sebelum punya kerjaan tetap, gaji tetap. Maklum anak laki2. Mamanya melarang anaknya nikah karena anaknya itu cuma berprofesi montir musiman+tukang bangunan+kerja serabutan serabutan. Larangan orang tua lagi2 nggak tepat waktu. Anaknya marah, kabur lagi sampai sekarang, meskipun tetep nggak jadi nikah. Tapi pasti dia pergi membawa luka yang dalam. Tinggal orang tua tinggal sendiri tanpa anak. Si bapak yang kebetulan punya jasa rental kendaraan & alat2 pesta juga jarang di rumah, lebih sering pergi dari pesta ke pesta.
Nggak bermaksud ngomongin aib orang, cuma semoga bisa jadi pelajaran. Bahwa menjadi orang tua, terutama ibu, haruslah bijak. Nggak boleh terlalu keras sama anak. Anak bukan miniatur orang dewasa yang ngerti pikiran orang dewasa, janganlah disuruh2 dengan kalimat perintah serupa orang dewasa, apalagi ditambah bentakan alih2 kasih sayang yang lembut. Mungkin maksud hati pengen anak jadi superior jenius, apalagi ibunya dianggap "orang pinter", tapi kayaknya banyak kok cara yang lebih baik buat menggali potensi anak, bukan menyuruhnya mengikuti ambisi buta orang tua. Anak manapun akan kehilangan trust sama orang tuanya kalo gitu.
Apalagi profesi sang mama itu guru. Menurut saya profesi guru tugas utamanya bukan cekadar mengajar, tetapi mendidik juga, apalagi guru SD. Saat ini keinginan sang mama menjadi kepala sekolah sudah tercapai, reputasi guru galak di SDnya juga tetep nempel. Beliau hampir pensiun, dan mulai merasa kesepian. Saat ini beliau mencari anak asuh, tapi nggak ada yang mau jadi anak asuhnya. Miris. Kasihan. Semoga Allah Yang Mahabaik akan terus menyayanginya.
Guys n gals, kenapa saya ceritain ini? Sekali lagi bukan mau mengumbar keburukan, tapi saya mau cerita, bahwa perempuan yang kuat bukan perempuan yang besar ambisinya, apalagi untuk karir aja. Sekali seorang perempuan merelakan jatuh bangun demi karir dan reputasi di mata dunia saja, hampanya jiwa akan terasa. Prioritas seorang perempuan adalah rumahnya, keluarganya, orientasinya lurus lillahi ta'ala sebagai ibu dalam mendidik anak-anaknya supaya jadi anak sholih & sholihah yang nantinya bisa juga menjadi pembuka pintu surga bagi kedua orang tuanya, dan mengantar diri mereka sendiri serta keluarganya ke surga, selain juga menjalankan tugasnya dengan orientasi yang lurus sebagai istri, anak, warga negara, & anggota masyarakat. That's why, jadi perempuan harus tangguh...
Well, saya nggak pengen membahas soal gender kok. Pastinya itu kodrati. Nggak usah sok disetarakan karena memang yang adil bukan selalu berarti sama setara, tapi adil adalah tepat pada posisinya, pada waktunya, pada kapasitasnya. Sekian.
Hmm... Menurut saya, ucapan bapak2 itu bukan cuma berarti, "Perempuan yang kuat adalah perempuan yang kuat mentalnya, mampu bangun setelah jatuh. Nggak sesederhana itu, tapi perempuan yang kuat harus benar orientasinya, juga prioritasnya."
Please, mental sama orientasi itu beda banget.
Nih saya cerita ya satu kisah nyata.
Saya pernah SD (iya dong, masa tiba2 sarjana?). Sewaktu SD saya punya teman. Pasti lah orang sekolahnya di SD negeri bukan home schooling. Mama dari salah satu teman saya adalah seorang guru SD yang karirnya meroket mengejar kursi kepala sekolah, ya...secara di sana masih jarang lho yang sarjana (di sana gak pandang universitasnya mana, yang penting sarjana udah keren, beda anget sama prinsip saya yang penting kampusnya keren, jurusannya juga ok, gelar sih gak penting2 amat euy). Yup, actually saya emang nggak tertarik sama status sosia yang diperoleh dari hasil pendidikan, jabatan, maupun kekayaan. Itu tanggung jawab boi bukan status gaya2an. pokoknya passion saya belajar. Titik. Dan selama belajar, saya harus dapat kualitas terbaik. Sama2 belajar, sama2 invest waktu, tenaga, pikiran, kenapa nggak nyari yang oke? Kuliah buat dapet gelar? How awful...
Btw, bukan berarti saya bilang mamanya temen saya nggak keren. Oh salah. Beliau keren, ambisinya besar (apapun di luar karir nggak boleh menghambat karir), disiplin luar biasa. Bahkan saking disiplinnya, saya bilang beliau: keras, minus toleransi....sama anak2nya.
Teman saya itu anak ketiga dari 3 bersaudara alias anak terakhir, tapi selama berteman di satu SD itu saya cuma pernah bertemu kakaknya yang nomor 2. Dia bilang kakak pertamanya sudah meninggal.
U know whaat? Temen saya juag meninggal sewaktu kelas 2 SD. Tiga hari sebelum meninggal saya masih maen ke rumahnya, nemenin dia yang temen2nya dipilihin sama mamanya biar nggak jadi anak bandel. Hff... padahal menurut saya usia segitu saatnya belajar bersosialisasi. Eh saya nggak bangga lho mamanya ngizinin saya berteman sama anaknya. Biasa aja soalnya emang semua anak di sekolah ya temen saya. Waktu kami maen, dia baik2 aja kok nggak kenapa2. Nah waktu dia meninggal saya kaget mama bilang dia pergi. Pikiran bocah kecil saya beranggapan kalo dia bakal pulang lagi ke rumah, tapi kata mama dia pergi selamanya buat ketemu Allah. Saya nggak sedih buat dia, karena mama selalu bilang Allah itu baik. Tapi saya sedih buat diri sendiri soalnya dia belum ngembaliin bola yang saya bawa maen ke rumahnya. Hehe...ego bocah banget ya. Btw, kami sama2 tomboy dulu, nggak maen boneka tapi maen bola, meskipun cuma boleh di dalem rumahnya sih. Bertahun kemudian, saya baru tahu kalo temen saya itu nggak punya riwayat penyakit, dia sehat wal'afiat secara jasmani. Tapi secara mental nggak, dia sakit, dia etakutan sama bentakan mamanya tiap kali nyuruh belajar. Teman saya ini memang sejak kelas 1 nilai peernya bagus2, bahkan nilai saya beberapa kali kalah tinggi sama dia. Saya juara 2 dan dia juara 1. Bedanya kami memang nggak setipe dalam belajar. Saya ngandelin penjelasan guru di sekolah. Plang sekolah maen sama sore, sore ngaji, pulang ngaji makan, ngerjain peer seadanya trus tidur. Beda sama dia yang dipaksa belajar keras, jadwal teratur, target bacaan harus tuntas. Bisa dibilang saya tuh seadanya banget. Sampe lulus SD dunia saya masih maen2 hehe....
Back to the topic, ternyata teman saya itu sangat ketakutan sama ibunya. Sampai suatu ketika sebelum meninggal, habis maghrib itu dia harusnya ngerjain peer, tapi dibentak mamanya karena nggak bisa ngerjain soal perkalian & pembagian. Btw waktu kelas 2 SD saya juga mengalami kesulitan menyelesaikan soal perkalian, padahal saya suka banget matematika. Pernah satu kali ulangan saya nggak ngerjain sama sekali satu soal pun perkalian & pembagian. Akibatnya, pastilah nilai saya 0. Nol ditulis gedeeee... biasanya sih angka 10 dapet lah buat matematika. Hoho... Tapi itu cuma sekali kok, pas saya jenuh belajar. Parahnya saya kelas kepala, kalo udah jenuh efeknya nggak mau. Kalo nggak mau ya nggak bisa dipaksa buat mau hehe... Orang soalnya aja nggak dilihat gimana mau dikerjain. Ups...jangan ditiru ya. Nah saya ingat peer perkalian & pembagian waktu dari angka 6-9. Cukup susah memang, tapi kalo anak kesusahan mbok ya diajari, jangan dibentak, wong guru juga kok...
Setelah dibentak, temen saya yang lama menanggung beban mental itu nggak kuat, langsung step, kejang2, dianggap panas biasa sama orang tuanya. Dini hari temen saya kritis, langsung dirujuk ke rumah sakit, tapi menjelang paginya dia meninggal. Hmm...kalo saya yang cerita jadi nggak sedih ya hehe... Ini bener kisah nyata bukan gubahan dari novel salah asuhan.
Lanjut, suatu kali setelah kepergian teman saya itu, saya bertemu (maaf), orang gila di jalan, mentallity disorder, sakit mental stadium parah. Dia ngamuk2 di teras rumah kosong di depan rumah saya. Waktu malam dia ngomong sendiri keras2, siangnya cuma diem, duduk jongkok sepanjang hari kayak orang ngelamun. Kadang kalo emosinya naik bisa gawat, ngamuk2 sambil lempar2 batu. Ngeri? Iya. Saya tutup semua pintu rumah sambil berdoa kuat2 kalo dia ngamuk, takut tiba2 batunya mental ke kaca jendela rumah. Hff... Saya tanya mama siapa dia, mama cuma jawab dia orang yang mengalami gangguan kejiwaan, udah lama, tapi dulu masih mau nurut nggak ngamuk2 begini. Dulu dia sempet dirawat adik dari mbah putri saya di rumah beliau. Rumah mbah lik ada di balik rumah kosong itu. Mbah lik saya itu emang orangnya baik n penuh kasih sayang, cuma mbah lik yang bisa bikin reda amarah orang yang ngamuk2 itu. Tapi ternyata nggak ngefek setelah kematian temen saya. Selama ini saya nggak pernah tau kalo mbah lik ngangkat anak asuh, ternyata memang anak itu disembunyikan...supaya nggak ketemu orang tuanya!
Saat itu saya nggak pernah berpikir kalau ada hubungan dari 2 kejadian ini. Dua hal yang terpisah jauh dan benar2 beda. sampai suatu ketika saya tau bahwa temen saya pernah bohong, kakak pertamanya belum meninggal, masih hidup...tapi jadi seperti itu. Iya, faktanya orang yang ngamuk2 di rumah kosong depan rumah saya itu adalah kakak pertama dari temen saya. Dia disembunyikan mbah lik dari orang tuanya, terutama mamanya, karena dia punya dendam sama mamanya sendiri sejak masih sangat kecil, akibat didikan & bentakan yang keras. Dia akan ngamuk2 parah kalo ketemu mamanya. Usaha mbah lik cukup berhasil sampai suatu ketika dia juga mendengar kabar tentang kematian adiknya. Sejak saat itu mentalnya benar terganggu, nggak sembuh sampai sekarang, di usianya yang sudah 30 tahun lebih. Iya, kasihan. Kasihan untuk bocah dewasa dengan orang tua masih lengkap dan kaya-raya.
Cerita kakak kedua lain lagi. Saat masuk SMP dia juga memilih ikut orang lain, yang nggak lain adalah mbah lik saya. Nggak mau ikut sama orang tuanya sendiri. Bahkan nggak mau makan dari uang pemberian orang tua. Saat lebaran juga nggak pulang. Menyedihkan. Si anak ini, sempet putus sekolah waktu SMP. Ironi ya, padahal mamanya guru. Tapi ayah saya maksa dia sekolah lagi, maksa om & sepupu saya yang usianya sepantaran sama dia buat membujuk biar mau sekolah lagi. Alhamdulillah beres juga SMA meskipun hasilnya biasa2 saja. Dia marah sama orang tuanya, meskipun nggak sampai dendam. Dia nggak mau manggil mamanya dengan sebutan ibu atau mama, cuma manggil nama Bu X, meskipun masih manggil papanya bapak. Tapi setidaknya, dia masih bilang ke orang tuanya waktu ingin menikah. Tapi lagi2 orang tuanya bermasalah. Sang mama melarang anaknya menikah sebelum punya kerjaan tetap, gaji tetap. Maklum anak laki2. Mamanya melarang anaknya nikah karena anaknya itu cuma berprofesi montir musiman+tukang bangunan+kerja serabutan serabutan. Larangan orang tua lagi2 nggak tepat waktu. Anaknya marah, kabur lagi sampai sekarang, meskipun tetep nggak jadi nikah. Tapi pasti dia pergi membawa luka yang dalam. Tinggal orang tua tinggal sendiri tanpa anak. Si bapak yang kebetulan punya jasa rental kendaraan & alat2 pesta juga jarang di rumah, lebih sering pergi dari pesta ke pesta.
Nggak bermaksud ngomongin aib orang, cuma semoga bisa jadi pelajaran. Bahwa menjadi orang tua, terutama ibu, haruslah bijak. Nggak boleh terlalu keras sama anak. Anak bukan miniatur orang dewasa yang ngerti pikiran orang dewasa, janganlah disuruh2 dengan kalimat perintah serupa orang dewasa, apalagi ditambah bentakan alih2 kasih sayang yang lembut. Mungkin maksud hati pengen anak jadi superior jenius, apalagi ibunya dianggap "orang pinter", tapi kayaknya banyak kok cara yang lebih baik buat menggali potensi anak, bukan menyuruhnya mengikuti ambisi buta orang tua. Anak manapun akan kehilangan trust sama orang tuanya kalo gitu.
Apalagi profesi sang mama itu guru. Menurut saya profesi guru tugas utamanya bukan cekadar mengajar, tetapi mendidik juga, apalagi guru SD. Saat ini keinginan sang mama menjadi kepala sekolah sudah tercapai, reputasi guru galak di SDnya juga tetep nempel. Beliau hampir pensiun, dan mulai merasa kesepian. Saat ini beliau mencari anak asuh, tapi nggak ada yang mau jadi anak asuhnya. Miris. Kasihan. Semoga Allah Yang Mahabaik akan terus menyayanginya.
Guys n gals, kenapa saya ceritain ini? Sekali lagi bukan mau mengumbar keburukan, tapi saya mau cerita, bahwa perempuan yang kuat bukan perempuan yang besar ambisinya, apalagi untuk karir aja. Sekali seorang perempuan merelakan jatuh bangun demi karir dan reputasi di mata dunia saja, hampanya jiwa akan terasa. Prioritas seorang perempuan adalah rumahnya, keluarganya, orientasinya lurus lillahi ta'ala sebagai ibu dalam mendidik anak-anaknya supaya jadi anak sholih & sholihah yang nantinya bisa juga menjadi pembuka pintu surga bagi kedua orang tuanya, dan mengantar diri mereka sendiri serta keluarganya ke surga, selain juga menjalankan tugasnya dengan orientasi yang lurus sebagai istri, anak, warga negara, & anggota masyarakat. That's why, jadi perempuan harus tangguh...
Well, saya nggak pengen membahas soal gender kok. Pastinya itu kodrati. Nggak usah sok disetarakan karena memang yang adil bukan selalu berarti sama setara, tapi adil adalah tepat pada posisinya, pada waktunya, pada kapasitasnya. Sekian.
Rabu, 25 April 2012
kuliah (lagi)
Hmmm... 2 atau 3 tahun mendatang... pengen berstatus jadi mahasiswa lagi...postgrade yeay! Bismillah...
Saya nggak pengen kuliah di Indonesia, bener ini bukan soal gengsi, insya Allah nggak gitu.
Saya pikir, kalau di luar negeri beasiswa lebih gampang (dan besar hehe...), birokrasinya nggak susah selama bisa mempertahankan status akademik, dan yang pasti... lolos kualifikasi awal. Kalo di dalam negeri, harus diakui beasiswa ada juga tapi lebih rumit untuk jumlah segitu...
Buat saya, alasan "Kalo di dalam negeri kan bisa ngerjain lebih banyak amal..." itu bukan excuse buat saya. Sama aja kok, soalnya beban pendidikan master di Indonesia berat. Butuh banyak waktu buat kuliah, praktikum, ngerjain tugas, berkolaborasi dengan network2 akademik. Sama aja mau di sini atau di luar ya sama aja kalo gitu sih, selama jadi mahasiswa, amal khidami belum akan jadi prioritas. Iya, mungkin sebagian orang bisa seimbang, tapi 2,5 tahun belakangan saya amati, jauuuuhhh....lebih banyak yang nggak. Jadi selama ada izin dan kesempatan kuliah di luar negeri, akan saya perjuangkan insya Allah.
Saya nggak pengen kuliah di Indonesia, bener ini bukan soal gengsi, insya Allah nggak gitu.
Saya pikir, kalau di luar negeri beasiswa lebih gampang (dan besar hehe...), birokrasinya nggak susah selama bisa mempertahankan status akademik, dan yang pasti... lolos kualifikasi awal. Kalo di dalam negeri, harus diakui beasiswa ada juga tapi lebih rumit untuk jumlah segitu...
Menurut saya pribadi, sama2 belajar, sama2 makan waktu, sama2 'makan pikiran', jadi kalo bisa elajar lebih banyak dari luar sana, kenapa harus di sini aja? Lebih banyak, maksud saya bukan substansi materi kuliahnya, atau praktikumnya, atau fasilitasnya. Hmm...gak sekecil itu. Bumi ini tempat belajar, sobat! Kalo cuma di sini sayang kesempatan belajarmu! Kalau di luar negeri, kamu akan belajar jauh lebih banyak, garis besarnya akan belajar 2 hal besar yg mungkin perlu bertahun2 kuliah kalo nggak diicipi langsung: geografi dan demografi (plus turunan2nya...demografi ini jauh lebih banyak turunannya, bukan cuma culture, bahkan sampai psikologi juga).
Sampai waktu itu, saya ingin mengabdi, beramal dulu di masyarakat. Please, jangan bilang saya kerja. saya gak suka istilah kerja, lebih baik berkontribusi.
Selasa, 24 April 2012
kuliah kehidupan
Hff...
Hari ini kuliah kehidupan (lagi), di klinik ditmawa, dengan dosen yang sama.
Kata2 ajaib hari ini: enterpreneurship itu bukan tentang uang, tapi tentang bagaimana memberi...
Soal rejeki, bukan cuma soal uang, banyak...network, keluarga, saudara, teman... itu justru rejeki yang sering terlalu dianggap biasa.
"Saya baru nerima gaji 2,5 juta sejak tahun 2010, sebelumnya, gaji saya cuma 1,5 juta. Coba kamu bayangin gimana saya bisa punya rumah di Yasmin dengan gaji segitu? Buat makan keluara aja logikanya susah kan?"
Gaji cuma buat nyicil rumah, buat makan saya nerima uang jalan kalau ada tugas dari kampus, trus kalo pergi kemana2 saya nggak pernah keluar uang, syukur2 digaji 500 ribu. Uang itu cukup buat makan. Kalo saya kemana2, akomodasinya ditanggung sama network saya di sana. Kalo kamu punya uang tapi nggak punya network deket, mana mungkin ada yang mau bayarin? Bayar hotel, makan, keliling kota, mahal kan? Nah, network itu rejeki."
"Saya mulai menyadari, bisnis yang sesungguhnya adalah memberi, bukan soal berapa banyak keuntungan finansial yang bisa didapat. Saya senang dengan mahasiswa. Saya lebih baik selalu komunikasi dengan mahasiswa daripada ngerjain project2. Mengembangkan inspirasi mahasiswa untuk menghasilkan solusi yang elegan dan penuh makna adalah passion saya. Insya Allah saya nggak pernah pamrih, tapi tanpa saya sadari, itulah bisnis saya."
"Para mahasiswa itu mulai mengenal saya. Sampai kapanpun, mereka ingat saya. Dan mereka adalah network sejati saya.
Buat saya sendiri, rejeki juga bukan soal limpahan harta. Saya, misalnya punya kehidupan bahagia bersama orang tua dan adik2, saya sehat sehingga bisa menikmati waktu itu. Tentu itu adalah rejeki saya. Bisa ngobrol rata2 sejam sehari sama keluarga di rumah, di saat banyak oorang menghabiskan seluruh waktunya bersama karir, terasa menyenangkan.
Membangun impian juga rejeki, bahkan sebelum rejeki itu benar2 sampai ke tangan kita. Sebenarnya, apapun yang kita miliki adalah rejeki, hanya saja seringkali kita menganggapnya barang rongsokan.
Dosen yang sama bilang, "Setiap kali ketemu mahasiswa, saya tanya mereka ke kampus naik apa. Sebagian besar menjawab jalan kaki. Lalu saya tanya lagi apa mereka punya sepeda. Nggak sedikit lho yang jawab punya, tapi sepedanya sepeda tua jadi mereka malu. Kenapa malu? Lalu saya minta mereka besoknya bersepeda ke Kota Bogor naik sepeda itu. Awalnya mereka bilang, 'Ngapain pak? Malu2in...'. Tapi saya tetep maksa mereka sampai mau. Setelah mereka melakukannya, saya tanya, 'Gimana kemarin di Bogor? Lihat apa aja?' Jawaban mereka macem2, dan ketika saya minta bercerita, saya tau mereka sudah belajar banyak hal dari perjalanan itu. Lalu saya tanya lagi, 'Kalau jalan kaki, paling jauh sampai mana?' Mereka jawab, 'Kampus pak, FKH' Nah saya tanya, 'Kalo jalan kaki, cuma sampe kampus kan nggak nyampe Kota Bogor, nah kalo naik sepeda bututmu itu, nyampe juga ke Kota Bogor, kamu bisa cerita ini-itu'. Dari situ saya baru menjelaskan pada mereka, apapun potensi yang kita miliki, meskipun kelihatannya kayak barang rongsokan nggak ada harganya, tapi itu bisa membuat kita mendapatkan lebih banyak hal: belajar, pengalaman, dll... Itu yang namanya rejeki. Berkah."
"Kamu tau lagunya film Petualangan Sherina?"
"Yang mana pak?"
"Lihatlah Lebih Dekat. Kamu tau itu ciptaan siapa?"
"Hmm...Elva Secioria ya pak?"
"Nah iya, kamu inget lirik yang banyak diulang?"
"Lihat segalanya lebih dekat. Dan kau akan mengerti."
"Kamu harus tau kalo Bung Elva dapet lirik itu setelah belajar surat Ar-Rahman. Fabi ayyi aalaa irobbikumaa tukadzdzibaan. Makanya lirik itu diawali pertanyaan2, 'Mengapa bintang bersinar, mengapa air mengalir dsb'. Itu bahasa lagu Lihatlah Lebih Dekat untuk ayat2 di dalam Al-Qur'an, 'Maka apakah kamu tidak melihat?'. Jadi, istilah lihatlah segalanya lebih dekat, dan kau akan mengerti itu maksudnya supaya kita belajar bersyukur sama nikmat Allah. Nikmat itu rejeki. Rejeki bukan cuma uang. Seluruh alam semesta ini rejeki."
-kuliah ditutup dengan hamdallah-
Hari ini kuliah kehidupan (lagi), di klinik ditmawa, dengan dosen yang sama.
Kata2 ajaib hari ini: enterpreneurship itu bukan tentang uang, tapi tentang bagaimana memberi...
Soal rejeki, bukan cuma soal uang, banyak...network, keluarga, saudara, teman... itu justru rejeki yang sering terlalu dianggap biasa.
"Saya baru nerima gaji 2,5 juta sejak tahun 2010, sebelumnya, gaji saya cuma 1,5 juta. Coba kamu bayangin gimana saya bisa punya rumah di Yasmin dengan gaji segitu? Buat makan keluara aja logikanya susah kan?"
Gaji cuma buat nyicil rumah, buat makan saya nerima uang jalan kalau ada tugas dari kampus, trus kalo pergi kemana2 saya nggak pernah keluar uang, syukur2 digaji 500 ribu. Uang itu cukup buat makan. Kalo saya kemana2, akomodasinya ditanggung sama network saya di sana. Kalo kamu punya uang tapi nggak punya network deket, mana mungkin ada yang mau bayarin? Bayar hotel, makan, keliling kota, mahal kan? Nah, network itu rejeki."
"Saya mulai menyadari, bisnis yang sesungguhnya adalah memberi, bukan soal berapa banyak keuntungan finansial yang bisa didapat. Saya senang dengan mahasiswa. Saya lebih baik selalu komunikasi dengan mahasiswa daripada ngerjain project2. Mengembangkan inspirasi mahasiswa untuk menghasilkan solusi yang elegan dan penuh makna adalah passion saya. Insya Allah saya nggak pernah pamrih, tapi tanpa saya sadari, itulah bisnis saya."
"Para mahasiswa itu mulai mengenal saya. Sampai kapanpun, mereka ingat saya. Dan mereka adalah network sejati saya.
Buat saya sendiri, rejeki juga bukan soal limpahan harta. Saya, misalnya punya kehidupan bahagia bersama orang tua dan adik2, saya sehat sehingga bisa menikmati waktu itu. Tentu itu adalah rejeki saya. Bisa ngobrol rata2 sejam sehari sama keluarga di rumah, di saat banyak oorang menghabiskan seluruh waktunya bersama karir, terasa menyenangkan.
Membangun impian juga rejeki, bahkan sebelum rejeki itu benar2 sampai ke tangan kita. Sebenarnya, apapun yang kita miliki adalah rejeki, hanya saja seringkali kita menganggapnya barang rongsokan.
Dosen yang sama bilang, "Setiap kali ketemu mahasiswa, saya tanya mereka ke kampus naik apa. Sebagian besar menjawab jalan kaki. Lalu saya tanya lagi apa mereka punya sepeda. Nggak sedikit lho yang jawab punya, tapi sepedanya sepeda tua jadi mereka malu. Kenapa malu? Lalu saya minta mereka besoknya bersepeda ke Kota Bogor naik sepeda itu. Awalnya mereka bilang, 'Ngapain pak? Malu2in...'. Tapi saya tetep maksa mereka sampai mau. Setelah mereka melakukannya, saya tanya, 'Gimana kemarin di Bogor? Lihat apa aja?' Jawaban mereka macem2, dan ketika saya minta bercerita, saya tau mereka sudah belajar banyak hal dari perjalanan itu. Lalu saya tanya lagi, 'Kalau jalan kaki, paling jauh sampai mana?' Mereka jawab, 'Kampus pak, FKH' Nah saya tanya, 'Kalo jalan kaki, cuma sampe kampus kan nggak nyampe Kota Bogor, nah kalo naik sepeda bututmu itu, nyampe juga ke Kota Bogor, kamu bisa cerita ini-itu'. Dari situ saya baru menjelaskan pada mereka, apapun potensi yang kita miliki, meskipun kelihatannya kayak barang rongsokan nggak ada harganya, tapi itu bisa membuat kita mendapatkan lebih banyak hal: belajar, pengalaman, dll... Itu yang namanya rejeki. Berkah."
"Kamu tau lagunya film Petualangan Sherina?"
"Yang mana pak?"
"Lihatlah Lebih Dekat. Kamu tau itu ciptaan siapa?"
"Hmm...Elva Secioria ya pak?"
"Nah iya, kamu inget lirik yang banyak diulang?"
"Lihat segalanya lebih dekat. Dan kau akan mengerti."
"Kamu harus tau kalo Bung Elva dapet lirik itu setelah belajar surat Ar-Rahman. Fabi ayyi aalaa irobbikumaa tukadzdzibaan. Makanya lirik itu diawali pertanyaan2, 'Mengapa bintang bersinar, mengapa air mengalir dsb'. Itu bahasa lagu Lihatlah Lebih Dekat untuk ayat2 di dalam Al-Qur'an, 'Maka apakah kamu tidak melihat?'. Jadi, istilah lihatlah segalanya lebih dekat, dan kau akan mengerti itu maksudnya supaya kita belajar bersyukur sama nikmat Allah. Nikmat itu rejeki. Rejeki bukan cuma uang. Seluruh alam semesta ini rejeki."
-kuliah ditutup dengan hamdallah-
Senin, 23 April 2012
Time again
Time elapses...
Yes, time again.
Cause time could be medicine.
As it could separate hearts away.
People come and run,
But we don't wanna lose anything,
Even just one moment.
For every single second.
Yes, time again.
Cause time could be medicine.
As it could separate hearts away.
People come and run,
But we don't wanna lose anything,
Even just one moment.
For every single second.
blogku...
Time goes by, as the wind flies...
Rasanya hambar mau nulis blog lagi...
Hai blog, apa kabar?
Hfff....
Kemarin, aku mengisimu dengan sejuta rasa dalam satu rotasi bumi. Sekarang... bukannya aku nggak punya rasa, bahkan banyak... Tapi aku cukup diajari untuk memendam rasa (halah...), jadi kalo semua aku ceritain ke kamu, sama aja nyebar rasa dong? Hehe... Hey, padahal kamu juga "rumah"ku.
Blogku... hey sebenarnya aku tu nggak suka menumpahan banyak pemikiran ke kamu, lebih suka banyak rasa aja. So, I don't care lah mau yang baca komen apa. Hihi... aku merasa orang yang baca kamu mengharapkan banyak inspirasi, tapi aku lebih seneng sesuatu yang jujur sama perasaan. Dan itu sastra. Biar orang lain nggak ngerti sastraku yang penting aku ngerti (sama si tiko juga ngerti kayaknya...). jadi blog, membaca coretanku di atasmu, cukup memberi inspirasi. Aku toh sebenernya nggak peduli berapa banyak yang baca kamu, yang penting kamu buatku. Aihh...
Kangen kamu, blog...
Jangan bosen ya dicoret-coret
Rasanya hambar mau nulis blog lagi...
Hai blog, apa kabar?
Hfff....
Kemarin, aku mengisimu dengan sejuta rasa dalam satu rotasi bumi. Sekarang... bukannya aku nggak punya rasa, bahkan banyak... Tapi aku cukup diajari untuk memendam rasa (halah...), jadi kalo semua aku ceritain ke kamu, sama aja nyebar rasa dong? Hehe... Hey, padahal kamu juga "rumah"ku.
Blogku... hey sebenarnya aku tu nggak suka menumpahan banyak pemikiran ke kamu, lebih suka banyak rasa aja. So, I don't care lah mau yang baca komen apa. Hihi... aku merasa orang yang baca kamu mengharapkan banyak inspirasi, tapi aku lebih seneng sesuatu yang jujur sama perasaan. Dan itu sastra. Biar orang lain nggak ngerti sastraku yang penting aku ngerti (sama si tiko juga ngerti kayaknya...). jadi blog, membaca coretanku di atasmu, cukup memberi inspirasi. Aku toh sebenernya nggak peduli berapa banyak yang baca kamu, yang penting kamu buatku. Aihh...
Kangen kamu, blog...
Jangan bosen ya dicoret-coret
Pergi
Pergi...
mungkin akan meninggalkan kesedihan bagi beberapa banyak hati
tapi juga membawa mimpi pada tempat baru yang akan disinggahi
Pergi, tidak selamanya meninggalkan
kadang menjadi sebuah jawaban,
menabur pupuk pada pohon harapan,
yang kau tanam dengan sepenuh cinta dan berjuta pengharapan
mungkin akan meninggalkan kesedihan bagi beberapa banyak hati
tapi juga membawa mimpi pada tempat baru yang akan disinggahi
Pergi, tidak selamanya meninggalkan
kadang menjadi sebuah jawaban,
menabur pupuk pada pohon harapan,
yang kau tanam dengan sepenuh cinta dan berjuta pengharapan
Kamis, 12 April 2012
sekali lagi
Hari ini,
Sekali lagi kau telah berusaha menjadikan dirimu seorang pejuang,
Dan pejuang sejati takkan pernah mau berhenti
sampai syahid menjemput raga
Sekali lagi kau telah berusaha menjadikan dirimu seorang pejuang,
Dan pejuang sejati takkan pernah mau berhenti
sampai syahid menjemput raga
Langganan:
Postingan (Atom)