Senin, 27 September 2010

Iltizam (Part II)

Al-Iltizam Bil Jamaah

a. Iltizam terhadap bai’ah.
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Qur'an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (QS 9: 111).
Satu-satunya ayat Al-Quran yang berkaitan dengan masalah harta dan jiwa, tetapi mendahulukan jiwa adalah ayat di atas. Dan transaksi ‘jual-beli’ antara Allah sebagai pembeli dan mukmin sebagai penjual ini erat kaitannya dengan masalah bai’ah. Sikap iltizam terhadap bai’ah yang telah diucapkan nampak jelas pada tokoh Anshar, Nusaibah binti Ka’ab dan Habibi bin Zaid. Nusaibah dengan bai’ah Aqabah II, bertempur mati-matian melindungi dan menjadi perisai Rasulullah di perang Uhud tatkala kebanyakan tentara Islam lain kocar-kacir panik terhadap serangan balik mendadak Khalid bin Walid. Atau Habib bin Zaid yang disiksa Musailamah Al-Kadzab karena tidak mau mengakuinya sebagai nabi, tidak rela menodai bai’ah yang telah Habib bin Zaid diucapkannya walaupun untuk itu ia harus menebusnya dengan nyawa. Tubuhnya dicabik-cabik dan disayat-sayat selagi masih hidup. Sekali kita mengucapkan bai’ah seumur hidup kita terikat untuk beriltizam kepadanya.

b. Komit terhadap ansyithah (kegiatan-kegiatan) baik yang kharijiah (eksternal) maupun dakhiliyah (internal). Seorang a’dha seyogianya memiliki komitmen terhadap semua ansyithah (kegiatan) dalam jamaah baik yang bersifat dakhiliyah (internal) maupun kharijiah (eksternal). Kegiatan internal seperti berusaha selalu hadir dengan tepat waktu dalam acara rutin liqa’ usari dan liqa’ tatsqifi serta daurah-daurah pembekalan dan pengayaan seperti daurah siyasi, daurah murabbi, jalasah ruhiyah dan lain-lain yang diadakan secara berkala. Kemudian bila jamaah terutama dalam era hizbiyah/kepartaian ini banyak melakukan manuver-manuver keluar seperti bakti sosial di daerah-daerah bencana, pengerahan logistik berupa nasi bungkus untuk acara ‘muzhaharah’, penggalangan masa atau demo, tentu saja semuanya harus diikuti pula dengan penuh semangat. Intensitas keterlibatan kita yang tinggi dengan semua kegiatan jama’ah insya Allah akan membuat iltizam kita kepada jamaah semakin kokoh.

c. Beriltizam terhadap wazhifah (tugas-tugas) yang dibebankan jamaah kepadanya. Iltizam atau komitmen terhadap tugas yang dipikulkan pada kita merupakan aspek yang pokok dan mendasar dalam hubungan struktural tanzhim, seorang a’dha harus menyesuaikan diri dengan segala tugas yang dipikulkan ke pundaknya. Baik tugas itu disukai atau tidak dan baik ia sedang rajin maupun malas. Bukan tugas atau wadzhifah yang harus disesuaikan dengan kondisi dirinya, melainkan a’dha tersebut yang harus menyesuaikan diri dengan tugas-tugas yang diamanahkan kepadanya. Sikap seorang a’dha dalam masalah wadzhifah tanzhimiyah hendaklah bijak. Ia tidak akan pernah mencari-cari atau meminta jabatan ataupun wadzhifah tanzhimiyah, namun bila kemudian diamanahi, ia tidak boleh mengelak atau menolak. Seperti Said bin Amir yang dimarahi oleh Umar bin Khathab karena tidak mau mengemban amanah sebagai gubernur di Himsh (Suriah sekarang). “Celaka engkau hai Said, kau bebankan di pundakku beban yang berat (dibaiah sebagai amirul mu’minin), tetapi kau tak mau membantuku “ Akhirnya barulah Said bin Amir mau menerima amanah tersebut.

d. Iltizam atau komit terhadap infaq, baik yang wajib maupun yang sunnah. Sahabat ada yang pernah meminta cuti atau dispensasi (keringanan) dalam hal jihad dan infaq. Rasulullah pun menjawab dengan sangat tajam, “Wa la shadaqah wa la jihadu fiima tadkhulul jannata araan? “Tidak mau bersedekah dan tidak berjihad, jadi dengan apa kalian akan memasuki surga“. Keutamaan berinfaq atau berjuang dengan harta dan jiwa (QS 9: 111, 61:10-11) sangat sering diungkapkan dalam firman-firman Allah. Bahwa ia akan membalasnya dengan beratus-ratus kali lipat, bahkan dengan surga. Bahkan contoh-contoh keutamaan Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdurahman bin Auf, Sa’ad bin Raby, Abu Thalhah dan Ummu Sulaim, Aisyah dan Asma binti Abu Bakar, Zainab binti Jahsy, Khadijah, dan lain-lain terukir indah dalam sejarah Islam. Maka suatu kewajaranlah bila kita yang telah berbaiat ini terikat untuk memenuhi kewajiban berinfaq, baik yang wajib maupun yang sunnah.

e. Beriltizam terhadap qararat (keputusan-keputusan) jamaah. Seorang a’dha muntadzim yang bukan hanya beriltizam terhadap syariat tetapi juga pada jamaah seharusnya selalu berada dalam shaf jamaah. Ia berusaha menjalankan tugasnya sebaik-baiknya di manapun ia diputuskan oleh jamaah untuk ditempatkan. Bahkan dalam hadits dikatakan, “Surga untuk seorang hamba jika ia mendapat bagian jaga ia berjaga dengan baik.” Ia pun akan komit pada kebijakan-kebijakan dan aturan-aturan jamaah dalam amal dan uslub dakwah. Ia terikat dengan keputusan-keputusan, kebijakan-kebijakan jamaah dengan perintah-perintah qiyadah. Sekalipun bertentangan dengan keinginan dan pendapat pribadi. Hendaknya kita harus selalu berprasangka baik bahwa keputusan tersebut adalah yang paling tepat untuk mendatangkan kemaslahatan. Kita bisa mengambil ibrah dari fiqhus shalat agar senantiasa taat dan husnuz zhan pada qiyadah. Dalam shalat bila kita sebagai ma’mum sedang membaca al-fatihah, tetapi imam sudah takbir akan ruku, kita harus segera mengikuti imam, walaupun kita belum siap atau belum selesai membaca al-fatihah.

f. Komit terhadap “tha’atul qiyadah” taat terhadap pemimpin. Ketaatan seorang muslim yang total, utuh dan bulat, memang hanya kepada Allah dan Rasul-Nya (QS 3: 31, 32, 132, 4: 59, 80). Namun di ayat 4: 59 itu pun disebutkan kewajiban taat kepada pemimpin atau ulil amri yang beriman sepanjang tidak dalam rangka kemaksiatan dijalan Allah. Karena laa thaata li makhluqin fi ma’siatil Khaliq’ (tidak ada kewajiban taat kepada makhluk dalam rangka maksiat kepada Sang Pencipta). Seorang a’dha yang telah mengucapkan bai’ah untuk taat dalam giat atau malas, suka atau tidak suka keadaan harus menaati qiyadahnya atau naqibnya sebagai sosok kepemimpinan dalam jamaah yang terdekat dengannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar