Sabtu, 23 Oktober 2010

Mahasiswa Cerdas, Masyarakat Mandiri Pangan


Manusia bukan tumbuhan yang memiliki klorofil untuk berfotosintesis. Perjalanan hidup manusia tak dapat dipisahkan dari kebutuhan akan pangan. Meski demikian, wacana “pangan sebagai hak asasi manusia” pada akhirnya hanya menjadi sebuah dialektika. Sebab jika pangan menjadi hak asasi, artinya setiap individu berhak memerolehnya secara cuma-cuma, tak akan ada lagi industri yang bergerak di bidang pangan sehingga hal ini tentu saja akan menimbulkan kerugian tak terhingga bagi praktisi industri pangan. Maka hingga hari ini, pangan tetap menjadi komoditas komersil. Sayangnya, banyak masyarakat, khususnya di negara-negara berkembang seperti Indonesia yang masih mengalami berbagai permasalahan pangan. Bagi mereka, mungkin keamanan pangan adalah faktor nomor sekian yang akan dipertimbangkan dalam memilih makanan, karena bahkan memenuhi standar kecukupan jumlah pangan pun masih sulit.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1996 tentang pangan menyebutkan bahwa “Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau”. Istilah “rumah tangga” dalam undang-undang ini tentu saja dimaksudkan untuk merepresentasikan individu-individu yang terdapat di dalamnya. Undang-undang ini pun menyatakan bahwa istilah “pangan yang cukup” tidak hanya mengacu pada jumlahnya, tetapi juga mutu, keamanan, dan keterjangkauannya oleh masyarakat. Artinya, melalui undang-undang ini sebenarnya pemerintah berusaha menjamin kecukupan pangan masyarakatnya.

Lalu mengapa masih banyak kasus kelaparan maupun malnutrisi di kalangan masyarakat Indonesia, khususnya pada skala ekonomi menengah ke bawah? Padahal berbagai program subsidi pangan telah dijalankan, minimal masyarakat miskin dapat merasakan program raskin (beras untuk rakyat miskin) setiap bulannya? Jawabannya adalah, karena konsepsi ketahanan pangan itu sendiri belum terwujud di negara kita. Ironisnya, upaya mewujudkan ketahanan pangan ini seolah jalan di tempat. Mengapa? Karena hanya segelintir orang yang benar-benar memerhatikannya.

Kemudian pertanyaan berikutnya adalah, “Bagaimana menyukseskan upaya mewujudkan ketahanan pangan ini sehingga dengan pangan yang cukup, aman, dan bermutu, dapat mengentaskan masyarakat dari bahaya kelaparan dan malnutrisi?” Tentu saja hal ini akan menuntut sinergi peran dari banyak pihak, pemerintah, masyarakat umum, akademisi, bahkan pihak-pihak swasta. Maka pertanyaan terpentingnya adalah, “Sebagai mahasiswa, apa yang dapat kita lakukan untuk menjadi bagian dari solusi permasalahan bangsa ini?”

Mahasiswa adalah kalangan yang dianggap sebagai kaum intelektual oleh masyarakat. Oleh karena itu, segala bentuk tindakan yang diambil mahasiswa untuk berkontribusi dalam membantu mengatasi permasalahan pangan bangsa ini tentunya harus berdasarkan keilmuan dan pemikiran yang logis. Mahasiswa dapat mengkritisi kebijakan pemerintah manakala sikap kritis itu dapat menjadi pertimbangan untuk merumuskan kebijakan yang lebih berpihak pada kesejahteraan masyarakat, misalnya dengan mengkaji, “Apakah program raskin cukup dapat membantu masyarakat miskin memenuhi kebutuhan pangannya? Bagaimana mereka bisa mendapatkan bahan pangan pokok lainnya? Apakah kandungan raskin cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi mereka sehingga peluang malnutrisi dapat diminimalkan? Kalau tidak, bgaaimana seharusnya kebijakan yang dibuat?” Jawaban dari pertanyaan terakhir haruslah solutif.

Lebih dari sekadar mengkritisi kebijakan, mahasiswa harus lebih membuktikan dengan tindakan nyata, misalnya dengan belajar ilmu-ilmu yang berkaitan dengan pangan dan gizi. Ilmu-ilmu yang dipelajari ini tentu saja tidak akan terlalu bermanfaat jika belum ditransformasi dalam tindakan-tindakan nyata membantu masyarakat. Dengan memanfaatkan ilmu-ilmu pangan, mahasiswa dapat memberi pembinaan dan penyuluhan kepada masyarakat di daerah-daerah rawan kelaparan dan malnutrisi untuk memanfaatkan potensi sumber daya pangan apapun yang terdapat di daerah-daerah tersebut menjadi bentuk pangan yang lebih bergizi dan memiliki nilai tambah. Hal ini dalam jangka pendek akan membantu masyarakat memenuhi kebutuhan pangan yang cukup dan bergizi dalam skala kecil, yaitu skala masyarakat itu sendiri. Dalam jangka panjang, mahasiswa dapat membantu masyarakat membangun kemandirian usaha berbasis pangan loksal yang pada gilirannya juga dapat membantu mewujudkan ketahanan pangan nasional. Penulis yakiin, kegiatan-kegiatan mahasiswa semacam ini akan banyak mendapat dukungan, baik dari pihak universitas, pemerintah, maupun organisasi-organisasi swasta yang peduli pada kondisi pangan bangsa.

Jika hal ini dilakukan di banyak tempat, proyeksi berhasilnya program akan jauh lebih besar, namun sebelumnya diperlukan model pengembangan di beberapa tempat terlebih dahulu. Tidak hanya mahasiswa pangan dan gizi yang dapat melakukan hal ini, mahasiswa dengan basis bidang keilmuan lain pun dapat membantu asalkan mau sedikit mempelajari ilmunya. Tak akan terlalu rumit, hanya butuh niat yang lurus dan tekad yang utuh serta usaha yang konsisten.

Mari berjuang secara cerdas untuk wujudkan kejayaan pangan bangsa. Hidup mahasiswa!!! Hidup pangan Indonesia!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar