Sabtu, 23 Oktober 2010

My President, My Hero


Indonesia butuh Gatot Kaca!”
Ungkapan tersebut adalah tulisan yang terbaca pada kaos oblong bertema nasionalisme yang diproduksi dan dipasarkan oleh sekelompok mahasiswa di Institut Pertanian Bogor (IPB). Ungkapan ini senada dengan quote Bertolt Brecht yang cukup terkenal, yaitu Unhappy the land that is in need of heroes”. Mencermati kedua ungkapan di atas, rasanya kita kembali diingatkan pada kondisi negara kita yang telah lebih dari satu dasawarsa mengalami guncangan dalam berbagai hal, tak terkecuali kepemimpinan. Hal ini dapat dilihat dari dinamika pemerintahan yang tidak stabil. Pada tahun 1998 hingga 2004, tercatat Indonesia memiliki tiga orang Presiden, hanya dalam kurun waktu enam tahun.
Ya, kita butuh pemimpin yang juga pahlawan!
Pasca runtuhnya rezim Orde Baru Soeharto, tampuk kepemimpinan bangsa Indonesia mengalami kegoyahan luar biasa. Praktek kepemimpinan diktatorial dan korupsi terselubung selama tiga puluh dua tahun perlahan terurai beberapa bagiannya sehingga menimbulkan reaksi kebencian masyarakat. Bahkan, pemuda dan mahasiswa tak jarang melakukan aksi frontal. Tak hanya itu, Orde Reformasi yang menggantikan Orde Baru tidak mendapat cukup mendapatkan trust dari masyarakat bangsa ini sehingga berakibat pada minimnya public respect terhadap pemerintahan yang sedang berjalan.
Faktanya dapat dilihat dari singkatnya masa jabatan Presiden pada tahun 1998 sampai 2004. Setelah Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, kursi Presiden diambil alih oleh B. J. Habibie hingga 20 Oktober 1999. Kemudian melalui Pemilu 1999, jabatan Presiden Republik Indonesia dipegang oleh K.H. Abdurrahman Wahid atau yang lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. Masa pemerintahan beliau pun tak genap lima tahun, pada 23 Juli 2001, beliau digantikan oleh Megawati Soekarnoputri hingga 20 Oktober 2004. Megawati kembali mencalonkan diri menjadi Presiden Indonesia pada Pemilu 2004, namun kalah oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang masih menjadi presiden Indonesia hingga kini sebab beliau kembali terpilih menjadi Presiden RI melalui Pemilu 2009.
Di antara keempat Presiden yang disebut terakhir, masa jabatan Presiden SBY terhitung paling lama. Presiden Habibie hanya menjabat selama satu tahun lima bulan. Gus Dur pun hanya menjabat kurang dari dua tahun karena mandatnya dicabut oleh MPR. Megawati menjabat selama tiga tahun tiga bulan.
Singkatnya masa jabatan Presiden Indonesia pada awal bergulirnya Orde Reformasi adalah akibat rendahnya kepercayaan masyarakat kepada Presiden dan kabinet bentukannya. Pemerintahan pada masa itu dinilai tidak dapat menjadi solusi atas permasalahan-permasalahan yang menimpa bangsa ini. Pemimpin tidak mampu menunjukkan kapabilitasnya untuk mengatasi permasalahan secara taktis dan strategis. Publik menilai rendahnya kredibilitas maupun integritas pemimpinnya. Ini menandakan bahwa pemimpin tertinggi bangsa ini tidak mampu menciptakan trust dari konstituen utamanya, yaitu masyarakat. Bahkan, kepemimpinan Presiden SBY yang bertahan cukup lama hingga saat ini pun tidak dapat menciptakan kepercayaan publik secara menyeluruh.
            “Mereka hanya bisa berjanji, tapi tak ada bukti!” keluh masyarakat.
            Maka, pahlawan yang dibutuhkan bangsa ini adalah pemimpin strategis dengan gaya kepemimpinan efektif. Lalu apa yang disebut dengan kepemimpinan yang efektif?
            Peter F. Drucker, menyatakan bahwa pondasi dari kepemimpinan yang efektif adalah memikirkan visi dan misi organisasi, mendefinisikannya, dan menegakkannya secara jelas dan nyata. Lebih lanjut, beliau menyatakan bahwa pemimpin efektif bukanlah pengkhotbah, mereka adalah pelaku.     
Artinya, pemimpin yang efektif bagi bangsa ini adalah pemimpin yang dapat menentukan arah, ke mana bangsa ini dibawa. Jika bangsa dan negara ini diibaratkan sebagai sebuah kapal, maka pemimpin adalah nahkoda. Hal ini tidak hanya berlaku bagi sebuah negara, tetapi juga bagi semua lembaga sampai organisasi terkecil yang berada di dalamnya. Sebab, eksisitensi sebuah negara didukung pula oleh eksistensi segala bentuk organisasi yang hidup pada negara tersebut. Jika manajemen dalam semua, atau minimal sebagian besar organisasi di Indonesia telah diperkuat oleh kepemimpinan yang efektif, maka optimisme menciptakan kepemimpinan efektif pada tingkat negara akan dapat diwujudkan.
            Setelah seorang pemimpin mampu menentukan arah, atau dalam hal ini lebih lazim disebut visi, ia pun harus dapat menentukan langkah-langkah apa saja yang perlu dilakukan untuk menuju visi tersebut, sesuai dengan prioritas yang harus dicapai. Langkah-langkah ini yang disebut sebagai misi organisasi. Setelah mengidentifikasi langkah-langkah yang hendak dilakukan, ia dapat melaksanakannya secara jelas dan nyata. Maka, pemimpin bukan hanya bicara, ia juga melakukan apa yang ia katakan, dalam kondisi tersulit sekalipun. Inilah yang disebut dengan pemimpin berintegritas.
            Visi yang dibentuk haruslah bersifat global dan strategis, sedangkan misi bersifat taktis. Penentuan visi dan identifikasi misi haruslah melihat kondisi kekinian, serta mempertimbangkan proyeksi kondisi di masa yang akan datang, beserta peluang dan ancaman yang mungkin muncul. Pemimpin yang diharapkan oleh bangsa kita saat ini adalah pemimpin yang mampu melihat di mana kita sekarang berada. bahwa saat ini sudah bukan masanya masyarakat dininabobokan dengan dongeng kekayaan alam Indonesia. Maka pemimpin harus mampu mengelola, tidak hanya sumber daya alam, tetapi juga manusia. Artinya, pemimpin idealnya mampu mentransformasikan basis pembangunan, dari natural resources capital menjadi human capital. Tidak hanya sebatas paradigma, tetapi juga melalui aksi nyata. Soekarno, Presiden pertama kita telah menyatakan hal ini berpuluh tahun lalu.
            Visi yang strategis, maksudnya adalah visi jangka panjang. Pemimpin efektif mampu merumuskan arah pembangunan bangsanya, bahkan setelah ia tak ada lagi di dunia ini. Karena sesungguhnya, salah satu tugas utama seorang pemimpin adalah menciptakan pemimpin-pemimpin baru. Hal ini terkait engan sistem yang dibangun. Bahwa seyogyanya, sistem dalam suatu negara tak perlu berubah tiap terjadi perubahan kepemimpinan. Cukuplah pemimpin baru bersikap “legowo” dengan melanjutkan sistem yang telah terbangun sebelumnya, ambil bagian baiknya dengan melakukan modifikasi dan optimalisasi pada poin-poin yang belum optimal. Sebab hal ini juga berkaitan langsung dengan fase-fase ketercapaian visi global dan strategis yang telah dibentuk.
Tentu saja, pemimpin yang menjadi pelaku bukan berarti harus melakukan segala tugas negara sendirian. Lagipula, ia tak akan mampu memiliki segala kompetensi untuk menyelesaikan segala tugas dan urusan tersebut. Maka ia harus mampu mendelegasikan berbagai tugas dan urusan tersebut kepada pihak-pihak yang kompeten serta memiliki kredibilitas dan integritas di bidangnya tanpa membuat mereka merasa terpaksa menjalankannya. Dengan kata lain, konstituen merasa passionate untuk bekerja bersama pemimpinnya. Pemimpin yang mampu menetapkan tujuan, menentukan prioritas, serta menetapkan dan memonitor standar dapat terjadi jika dan hanya jika ia telah memiliki trust and respect. Brecht menyatakan, “Ada banyak elemen dalam kampanya. Kepemimpinan adalah yang utama, selebihnya adalah nomor dua.” Drucker pun menjelaskan, “Kepemimpinan adalah melakukan hal-hal benar.
Kepemimpinan publik dibentuk melalui integrasi kepemimpinan individu. Hanya individu yang telah mampu memimpin dirinya sendiri yang mampu memimpin kelompok orang, terlebih, memimpin sebuah negara. Sistem yang dibentuk harus ditopang oleh individu-individu paripurna. Lebih jauh lagi, kita tentu menginginkan pemimpin yang bersih dan jujur. Bersih dari ambisi pribadinya, dan jujur pada suara hatinya sehingga mampu mendengar suara hati rakyatnya hingga bisikan terlirih mereka yang mengatakan, “Aku hanya butuh tempat di negeriku, untuk tidur malam ini.”
Kesimpulannya, efektivitas kepemimpinan dapat diraih melalui empat kata kunci, yaitu credibility and integrity to build trust and respect. Empat hal inilah yang harus dimiliki dan dibentuk oleh generasi muda Indonesia. Sebab pasti, suatu hari nanti tampuk kepemimpinan bangsa ini akan jatuh ke tangan generasi mudanya. Akhirnya, tentang nasionalisme pemimpin efektif sendiri saya kira dapat terangkum melalui perasaan cinta tanah air dan keberpihakan kepadanya, diwujudkan melalui perjuangan membebaskan tanah air dari cengkeraman penjajahan dalam bebagai wujud dan rupanya, menanamkan kehormatan dalam jiwa putra-putri bangsa, dan dilakukan dengan memperkuat ikatan kekeluargaan antara anggota masyarakat yang dipimpinnya.
Hidup Indonesiaku!
*gileee...mikir apa gue bisa nulis begini....tapi okelah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar