Sabtu, 13 November 2010

Menjemput Takdir Kepahlawanan

Judul yang impressive!

Ya begitulah, momentum kepahlawanan meman bukan untuk ditunggu, tapi diciptakan. Dan momentum itu sangat mungkin akan muncul di tengah jalan yang panjang, sepi, dan banyak rintangannya...

Tapi bukankah pahlawan memang seorang yang kuat, bahkan untuk menghadapi semua rintangan itu? Kuat jasadiyah, fikriyah, dan yang paling penting, ruhiyah... Lebih dari itu, pahlawan juga seorang yang ikhlas...
Maka kukatakan, "Aku siap menjemput takdir kepahlawanan itu. Bukan takdir kepahlawananku, tapi takdir kepahlawanan kolektif."
Dan prasyarat untuk berkata SIAP adalah kesanggupan untuk belajar jauh lebih cepat, jauh lebih keras, jauh lebih efektif, serta keteguhan untuk bertahan lebih lama atas segala lelah, berjuang melawan segala egoisme dan rasa malas...

Pun hari ini, kembali aku tertegun mendengar takdir kepahlawanan Jenderal Sudirman: indah, impresif, memukau! Bahwa di tengah kondisi paru-paru yang semakin tak kuat menampung udara, beliau mampu naik-turun gunung, merebut ibukota Yogyakarta untuk menunjukkan eksistensi Indonesia pada dunia, bahwa secara de facto bangsa ini masih ada, bahwa bangsa ini belum tertumpas mati, bangsa ini masih hidup dan tak mau terjajah, bangsa ini masih akan mewujudkan cita-cita kemerdekaannya...
Dan beliau mengajarkan pula tentang arti pentingnya menjaga ruhiyah, bahwa tiap Subuh beliau selalu minta diantar ke kampung untuk mendirikan sholat berjamaah bersama warga, untuk menyemangati bangsa ini bahwa mereka masih hendakbangkit, tak mau terkubur hidup-hidup begitu saja, dan terleebih, untuk menjaga kedekatannya dengan Sang Pencipta...

Sejarah mencatat nama beliau sebagai pahlawan. Coba lihat, nama dan kisah perjuangan beliau hidup hingga saat ini, 60 tahun setelah beliau meninggal. Bahkan akan hidup lebih lama lagi, mungkin hingga ratusan tahun nanti.
Sebab takdir seorang pahlawan memang tak pernah mati.
Jika ada yang mati, itu hanya jasadnya. Jika ada yang mati, pasti bukan semangat perjuangan dan kontribusinya yang terus menyala.

Maka kembali, apakah takdir seorang pahlawan itu ada di dalam takdir kita? Maka tak maukah segera bersiap? Masih enggankah menjemput takdir kepahlawanan itu?

Sudah kucukupkan dalam dua tahun yang berantakan.
Sudah kuperangi segala bentuk hawa nafsu, perasaan yang senantiasa berkecamuk, dan segala bentuk keengganan, juga kemalasan...
Dalam dua puluh empat purnama yang berantakan, kusyukuri segala keadaan.

Namun hari ini, detik ini, kumulai awal yang baru
Karena waktu-waktu yang berlalu, tak pernah tercenung dalam bisu
Ia berderak, bergerak, menghentak
Dan aku tak mau ditinggalkan waktu.
Sudah cukup dua puluh empat purnama tersia-siakan
Aku tak keberatan meski harus lebih lama menahan
Sesak, menahan perasaan yang terus berantakan
Tapi akupun ingat, manakala aku mulai berantakan, aku tetap akan kuat
Karena aku punya sumber dari segala sumber kekuatan
Laa hawla wa laa quwwata illaa billah

Sudah cukup pula air mata itu
Terlalu berharga untuk hal yang biasa saja
Kalau aku menangis, cukup semalam saja,
Karena esoknya, aku akan kembali tegar
Tak ada waktu untuk berlama-lama dengan air mata
Selelah apapun, seberantakan apapun

Tidak ada komentar:

Posting Komentar